Napak Tilas Jejak Sejarah
Melihat polemik seputar suksesi tahta sultan ini, menjadi menarik ditelisik kembali apa penyebabnya. Jika melihat dinamikanya, memang Kesultanan Cirebon ini memiliki perjalanan sejarah yang dinamis sejak berdirinya, masa perluasan wilayah, sampai masuknya penjajahan Belanda hingga masa kemerdekaan dan pascakemerdekaan saat ini.
Tahun 2011 lalu penulis pernah melakukan penelitian terkait dinamika Kesultanan Kasepuhan ini dengan judul Dinamika Kekuasaan dan Kedudukan Keraton di Kota Cirebon: Studi Fenomenologi tentang Keraton Kasepuhan (2011). Fokusnya pada bagaimana konstruksi kekuasaan yang terbentuk serta dinamika atau perjalanan kekuasaan itu sampai era sekarang.
Dari hasil penelusuran sejarah, informasi, dokumen-dokumen, hasil-hasil penelitian terdahulu, buku-buku, bahkan wawancara ke beberapa narasumber baik kalangan masyarakat umum, pihak keraton, pemerintah daerah, pemerhati budaya Cirebon, kiyai pondok pesantren, termasuk wawancara langsung dengan Sultan Arief Natadiningrat menemukan bahwa perkembangan jaman telah menyebabkan perubahan fungsi, kedudukan, dan kekuasaan Keraton Kasepuhan (juga Keraton lain yang ada di Cirebon seperti Kanoman dan Kacirebonan).
Perubahan fungsi, kedudukan, dan kekuasaan Kesultanan Cirebon, khususnya Keraton Kasepuhan sebagai salah satu kesultanan yang masih berdiri, dipengaruhi faktor historis pada masa penjajahan Belanda. Adanya depolitisasi, demiliterisasi akibat hasutan dan perjanjian kerjasama dengan Belanda menjadi awal mula keruntuhan kekuasaan Kesultanan. Ini juga yang mungkin menyebabkan polemik seputar suksesi tahta sultan.
Akibat dari itu, Kesultanan Cirebon tidak hanya kehilangan kekuasaan politik, tetapi juga ekonomi. Contohnya dalam pengelolaan Pelabuhan Muara Jati yang dikuasai VOC.
Intervensi Belanda lewat VOC yang terlalu jauh ke dalam turut menyebabkan perpecahan di lingkungan internal. Beberapa memilih keluar dari keraton dan berjuang serta berdakwah dari luar dengan membangun pedukuhan, padepokan, dan pondok-pondok pesantren, salah satunya adalah Pondok Pesantren Buntet dan Gedongan.Â
Beberapa yang lain juga memang ada yang ditugaskan menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat luas. Dari dua pesantren tersebut melahirkan beberapa pesantren lain yang masih memiliki hubungan darah dengan kesultanan, diantaranya Pondok Pesantren Bendakerep.
Menurut "Dagh Register Anno 1680" atau catatan harian VOC (untuk salinan aslinya bisa akses di https://sejarah-nusantara.anri.go.id/hathi28/) yang dikutip Edi, S. Ekadjati dalam bukunya Penyebaran Islam di Jawa Barat (1975), pada tanggal 17 Maret 1680, Sultan Sepuh (Sultan Raja Syamsudin) mengadakan hubungan dengan Sultan Haji yang merupakan Sultan Banten (diperkirakan melalui utusan khusus). Selanjutnya beberapa waktu kemudian, setelah kontak dengan Sultan Haji, Sultan Sepuh menulis surat kepada Gubernur Jenderal VOC.
Surat Sultan Sepuh segera dibalas oleh Direktur Jenderal VOC Cornelis Spellman. Isi surat Sultan Sepuh itu ialah meminta bantuan VOC terhadap gangguan dan ancaman pasukan Banten.
Pada bulan Januari 1681, perjanjian persahabatan (Verdrag ofte Overeenkoms) antara sultan-sultan Cirebon dengan VOC ditandatangani oleh Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Sultan Cirebon (Pangeran Wangsakerta/Panembahan Toh Pati) dalam suatu upacara di alun-alun. Dari pihak VOC ditandatangani oleh Commissaris Van Dyck.