Lagipula, menurut tradisi lama Jawa, penguasa mengumpulkan di sekeliling dirinya benda atau orang apapun yang dianggap mempunyai atau mengandung kekuasaan. Kratonnya tidak saja dipenuhi oleh koleksi benda-benda pusaka tradisional, seperti keris, tombak, alat-alat musik suci, kereta, dan benda-benda keramat lainnya, tetapi juga oleh berbagai macam manusia luar biasa seperti orang bule (albino), pelawak, orang kerdil, dan ahli nujum.Â
Oleh karena tinggal bersama di dalam keraton dengan penguasa itu, maka kek uasaan atau kekuatan yang dimiliki benda-benda atau orang itu diserap dan ditambahkan pada kekuasaan penguasa. Kalau benda itu atau orang itu hilang dengan cara bagaimanapun juga, maka ini dianggap berkurangnya kekuasan raja, dan sering dianggap sebagai peratanda datangnya kehancuran dinasti yang sedang berkuasa.
Secara singkat, kekuasaan raja yang besar dapat ditandai oleh:
1. luas wilayah kerajaannya;
2. luasnya daerah atau kerajaan taklukan dan berbagai barang persembahan yang disampaikan oleh para raja taklukan;
3. kesetian para bupati dan punggawa lainnya dalam menunaikan tugas kerajaan dan kehadiran mereka dalam paseban yang diselenggarakan pada hari-hari tertentu;
4. kebesaran dan kemeriahan upacara kerajaan dan banyaknya pusaka serta perlengkapan upacara yang nampak dalam upacara itu;
5. besarnya tentara dengan segala jenis perlengkapannya;
6. kekayaan, gelar-gelar yang disandang dan kemashurannya;
7. seluruh kekuasaan menjadi satu ditangannya, tanpa ada yang menyamai dan menandingi.
Dalam konsep kekuasaan Jawa, kekuasaan yang besar tadi harus diimbangi dengan kewajiban yang dirumuskan dalam kalimat "berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta" (budi luhur mulia dan bertindak adil terhadap sesamanya). Raja yang dikatakan baik, adal ah raja yang menjalankan kekuasaanya dalam keseimbangan antara wewenangnya yang besar dengan kewajiban yang besar pula. Kekuasaan yang besar di satu pihak dan kewajiban yang seimbang di lain pihak, merupakan inti konsep kekuasaan