Dengan perkataan lain, persoalan pokok untuk kelompok paham terakhir ini, ialah "legitimasi" (legitimacy) atau "pembenaran" dari "dasar" kekuasaan. Sebagaimana dirumuskan oleh Parsons: "legitimasi dari pengawasan demikian itu mempunyai arti yang penting untuk kedudukan kekuasaan dalam masyarakat dalam hubungannya dengan sistem tujuan-tujuannya"
Sekalipun ada banyak pandangan yang berbeda mengenai kekuasaan, akan tetapi agaknya ada satu inti yang terlihat dalam semua perumusan itu, yaitu bahwa kekuasaan dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi orang lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.
Kekuasaan dalam Budaya Jawa
Sependapat dengan Anderson, kalau kita mempelajari kepustakaan Jawa klasik dan tingkah-laku politik Jawa dewasa ini; maka kita akan mengetahui, bahwa salah satu kunci untuk memahami teori politik Jawa mungkin adalah tafsiran secara tradisional tentang apa yang dinamakan kekuasaan oleh ilmu sosial.Â
Hal ini disebabkan karena konsepsi Jawa berbeda secara radikal dari konsepsi yang telah berkembang di Barat sejak Zaman Pertengahan. Dari perbedaan inilah sudah logis timbul pandangan-pandangan yang berbeda pula mengenai cara-cara berjalannya politik dan sejarah.
Menurut Sartono, konsep kekuasaan atau otoritas kharismatik di dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat Jawa pada khususnya, mempunyai denotasi pengertian kesaktian. Namun berbeda dengan penjelasan Ben Anderson, dalam uraiannya soal konsep kekuasaan Jawa perlu di utarakan di sini, bahwa konsep Jawa mengenai kekuasaan berdimensi empat sesuai dengan konsep pewayangan: sakti-mandraguna, mukti-wibawa.Â
Mandraguna menunjukkan kepada kecakapan, kemampuan, ataupun ketrampilan dalam satu atau beberapa bidang, seperti olah senjata, kesenian, pengetahuan, dan sebagainya. Mukti lebih berhubungan dengan kedudukan yang penuh dengan kesejahteraan. Wibawa berarti kedudukan terpandang (prestise) yang membawa pengaruh besar (Kartodirdjo, 1984: viii).
Penerapan Konsep Kekuasan Jawa pada Masa Pemerintahan Raja-Raja Mataram
Sebelum masuknya Hindu ke Indonesia, dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sudah dikenal adanya hirarki sosial. Mereka beranggapan, bahwa dalam hubungan sosial terdapat stratifikasi sosial dan sifatnya kosmis-klasifikatoris hirarkis. Nilai-nilai kesatuan dan harmoni dilengkapi dengan hirarki. Manusia secara kodrati tidak sederajat.
Semua hubungan sosial secara hirarkis diatur oleh nuansa-nuansa halus perbedaan kedudukan. Hirarki sosial semacam ini semakin dipertegas lagi setelah masuknya agama Hindu ke Indonesia. Agama Hindu mengajarkan bahwa strata sosial seseorang tidaklah sama. Ketidaksamaan ini disebabkan karena seseorang dilahirkan dari asal keturunan yang berbeda. Perbedaan ini berlangsung terus-menerus, sehingga seseorang akan hidup dan mati dalam strata sosialnya, yang dalam agama Hindu disebut kasta.
Selain memperkenalkan hirarki sosial yang semakin tegas, Agama Hindu juga memperkenalkan dewa-dewa sebagai penguasa tertinggi yang harus dihormati dan sekaligus dipuja. Dengan sendirinya, raja sebagai kepala pemerintahan harus pula menghormati dewa - dewanya.