Adanya kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan keagamaan semacam ini, sudah tentu dianggap memperlemah kedudukan raja. Oleh karena itu dengan berbagai cara, raja berusaha memperkuat kedudukanya. Cara yang ditempuh, adalah dengan pendekatan yang bersifat "legitimasi."Â
Melalui para pendeta, pujangga, maupun pegawai istana yang ahli dibidangnya, dibuatlah hikayat, pantun, mitos, babad, silsilah, serta lain-lainnya, yang pada dasarnya berisi penjelasan guna melegitimasikan kekuasaan raja. Salah satu di antaranya adanya ajaran, bahwa para raja adalah keturunan, penjelmaan, atau pengantara dewa-dewa (konsep dewa-raja).
Eratnya atribut kekuasaan dengan atribut keagamaan menunjukkan adanya ikatan yang selalu terdapat diantaranya; sejarah cenderung memutuskan ikatan ini, namun tidak berhasil. Tulisan para sejarawan dan antropolog tentang kekuasaan tertinggi yang disatukan dengan pribadi raja, ritus dan upacara pelantikan raja, peraturan-peraturan yang mempertahankan jarak antara raja dan rakyatnya, dan akhirnya pernyataan legitimasi merupakan bukti yang sangat terang ketidakmungkinan hancurnya hubungan tersebut.
Kesakralan kekuasaan juga terungkap dalam perasaan-perasaan yang mengikat rakyat pada rajanya; misalnya suatu penghormatan atau kepatuhan total yang tidak dapat diterangkan oleh akal budi, atau rasa takut untuk tidak patuh yang mengandung sifat pelanggaran terhadap hal sakral.
Bagi masyarakat Jawa, khususnya yang menganut mistik, para raja dianggap termasuk unsur-unsur mistik di bumi ini yang amat penuh kuasa, yang mewadahi kekuatan kosmis. Kekuasaan duniawi mereka, adalah pertanda wahyu, berkat adikodrati, dan eratnya hubungan mereka dengan sumber-sumber kekuatan asali dianggap memancarkan kekuatan magis yang berasal dari pribadi raja, memberkati dan menjamin kesejahteraan para warga.
Kraton dibangun dengan mencontoh gambaran kosmos, melambangkan kedudukan raja di dunia ini selaku pusat semesta (Manggeng, 2004: 42). Nama-nama dari dua raja yang masih dapat ditemukan di Jawa, yakni Paku Buwono di Solo dan Paku Alam di Yogyakarta, yang sama-sama berarti "poros dunia".
Usaha raja-raja Mataram di dalam melegitimasikan kekuasaannya, bahwa dia bukan hanya sebagai pimpinan pemerin tahan, tetapi juga sebagai pimpinan keagamaan dapat kita lihat dari gelar Pangeran Mangkubumi yang menggunakan gelar kerajaan "Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati Ing Alaga Ngabdurrah man Sayidin Panatagama Kalipatullah," yang secara singkat hanya gelar ketiga yang selalu disebut-disebut dalam babad,yaitu Hamengkubuwana. Kerajaannya diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dari gelar dan nama kerajaannya, jelas sultan Hamengkubuwana I mengidentifikasikan dirinya dengan Wisnu, sebab Hamengkubuwana berarti "Yang Memelihara Dunia," dimana itu adalah sifat Dewa Wisnu. Ngayogyakarta Adiningrat berarti "Ayodya Yang Makmur, Yang Indah di Dunia." Ayodya adalah nama ibukota kerajaan Rama, dan Rama adalah inkarnasi Wisnu. Dalam babad-babad, Sultan Hamengkubuwana sering dikatakan sebagai Wisnu yang sedang turun ke bumi.
Gelar "Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalipatullah" berarti, bahwa Pangeran Mangkubumi juga seorang pimpinan dan pelindung agama Islam. Gelar yang bersifat Hinduistis dan Islam ini, jelas dimaksudkan agar dia diakui dan dihormati sebagai pimpinan agama Hindu dan sekaligus sebagai pimpinan agama Islam.Â
Hal ini bisa dimengerti, bahwa pada masa itu masyarakat Jawa yang semula menganut agama Hindu, sudah banyak pula yang menganut kepercayaan baru, yakni agama Islam. Di samping itu gelar "Senapati Ing Alaga," menunjukkan bahwa dia juga sebagai seorang panglima perang, yang mahir dalam bidang peperangan.
Legitimasi kekuasaan ini juga dapat kita lihat dari silsilah raja-raja Mataram yang menunjukkan keunggulan trah, karena dari pihak ibu, Senapati sebagai pendiri dinasti, adalah keturunan para "wali." Sementara itu dari pihak ayah, dia adalah keturunan raja Majapahit. Dengan demikian orang mendapat kesan, bahwa dinasti Mataram memang berhak dan layak memerintah kerajaan. Dalam penyusunan silsilah ini, besarlah peranan pujangga kerajaan sebagai penulis babad.