Beberapa kebijakan atau undang-undang produk pemerintah republik, secara langsung maupun tidak, telah memperlemah eksistensi kekuasaan keraton. Contoh nyata adalah adanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang semakin membuat keraton kehilangan sebagian besar tanahnya yang merupakan sumber utama pemasukan keraton. Akibat undang-undang itu, banyak tanah keraton yang sedikit demi sedikit lepas. Penyebab yang paling jelas adalah akibat keraton tidak memiliki sertifikasi yang jelas, padahal tanah keraton ini merupakan pendukung paling utama untuk mempertahankan eksistensi keraton.
Tanah-tanah milik keraton saat ini banyak yang menjadi sengketa dengan pihak pemerintah. Banyak tanah-tanah keraton yang dikalim oleh pemerintah tanpa ada persetujuan dari pihak keraton dan tanpa kompensasi atas pemanfaatan tanah tersebut. Meskipun demikian, hampir setiap persengketaan tanah keraton dengan pemerintah, pihak keraton selalu memenangi gugatan.[11]
Tanah-tanah yang dimiliki keraton sebenarnya merupakan aset utama untuk menciptakan legitimasi kekuasaan keraton. Hubungan kesetiaan yang tercipta antara keraton dengan masyarakat melalui proses penggarapan tanah keraton oleh petani merupakan modal utama bagi keraton untuk menggalang dukungan dari masyarakat luas. Keadaan politik yang tidak menguntungkan ini membuat struktur pemerintahan tradisional yang ada di keraton pun menjadi tidak berjalan. Posisi keraton yang tidak jelas juga turut menjadi penyebabnya.
Akibatnya, struktur organisasi tradisional keraton hanya bersifat formalitas. Bahkan menurut Sultan Arief Natadiningrat, selaku Sultan Keraton Kasepuhan saat ini, mengakui bahwa keraton sudah tidak memiliki struktur kesultanan. Hanya perangkat-perangkat tradisi yang masih ada, misalnya penghulu keraton, khotib agung, kaum, juru kunci situs milik keraton.[12]
Untuk menjalankan aktivitas keraton sehari-hari, saat ini Keraton Kasepuhan memiliki lembaga formal atau organisasi modern berupa Badan Pengelola Keraton Kasepuhan untuk mengurusi sehari-hari Keraton Kasepuhan sebagai obyek wisata. Selain badan pengelola keraton, ada juga Badan Pengurus Taman Air Gua Sunyaragi yang mengelola situs Gua Sunyaragi, Badan Pengelola SMKI yang mengurusi sekolah atau lembaga pendidikan kesenian milik keraton. Untuk bidang keagamaan, dibentuk Badan Pengelola Madrasah dan TK Nur Hidayah.
Selain organisasi pengelola situs-situs atau wewengkon, Keraton Kasepuhan juga memiliki beberapa yayasan, yaitu Yayasan Keraton Kasepuhan yang didirikan pada tahun 1988 dan Yayasan Amparan Jati. Struktur organisasi yang lebih bersifat modern ini sebagai upaya menjaga eksistensinya dalam mengelola Keraton Kasepuhan beserta aset-asetnya.
Penutup
Berkembangnya zaman saat ini menyebabkan berubahnya fungsi, kedudukan dan kekuasaan Keraton, tak terkecuali Keraton Kasepuhan. Dinamika kekuasaan dan kedudukan Keraton Kasepuhan ini dipengaruhi faktor historis sejak zaman penjajahan Belanda. Adanya depolitisasi, demiliterisasi akibat hasutan dan perjanjian kerjasama dengan Belanda menyebabkan hilangnya kekuasaan politik bahkan ekonomi Kesultanan Cirebon pada saat itu. Karena dianggap mendukung Belanda dan kurang mendukung perjuangan kemerdekaan, kondisi hilangnya kekuasaan politik seperti ini terus berlanjut hingga zaman setelah kemerdekaan, dan Kesultanan Cirebon, termasuk Kasepuhan berada di bawah kekuasaan pemerintah NKRI tanpa ada hak istimewa seperti yang terjadi di Yogyakarta.
Jika kekuasaan secara normatif, rasionalitas, dan legalitas seperti yang disebutkan Weber, Keraton Kasepuhan tidak memiliki kedudukan itu. Meskipun tidak memiliki kekuasaan dan kedudukan politik secara formal, Keraton Kasepuhan masih cukup memiliki kekuasaan secara secara kultural di mata masyarakat. Kekuasaan dan pengaruh ini dikonstruksi oleh beberapa hal, yaitu budaya dan agama, peran keagamaan dan relasinya dengan kalangan agama, silsilah, serta kharisma dari para leluhurnya yang juga diinternalisasi melalui pendidikan dan gemblengan oleh kalangan internal keraton kepada putra mahkotanya.
__
 [1] Sunardjo, Unang. 1983, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809, Penerbit Tarsito, Bandung. Hal 158-159 Â