Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pudarnya Otoritas Politik Kesultanan Cirebon

24 Juni 2020   15:13 Diperbarui: 24 Juni 2020   16:12 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Bambang Wibiono
_


Saat ini kondisi keraton yang masih ada di Indonesia banyak yang sangat memprihatinkan. Biar bagaimana pun Keraton atau kerajaan yang masih ada saat ini adalah sebuah institusi peninggalan masa lalu dan juga sekaligus sebagai bukti peradaban bangsa. Perjalanan politiknya di masa lalu, khususnya ketika jaman penjajahan Belanda membuat posisi dan kedudukannya berubah saat ini. Dominasi dan pencabutan hak politik atau depolitisasi oleh kolonial turut mempengaruhi perjalanan kerajaan dan kondisinya saat ini. Kondisi ini juga yang mempengaruhi kekuasaan dan kedudukan Keraton Kasepuhan sebagai hasil dari perpecahan Kesultanan Cirebon.

Keraton atau Kesultanan Kasepuhan merupakan institusi tradisional yang secara fakta masih ada di Indonesia, khususnya di Cirebon. Keberadaan kraton di Cirebon memiliki warna tersendiri bagi kehidupan sosial politik dan ketatanegaraan di daerah itu.

Pada masa lalu, kraton adalah simbol kekuasaan dan struktur pemerintahan bagi masyarakat. Dengan berkembangnya jaman modern saat ini, serta berubahnya sistem pemerintahan, mengakibatkan fungsi formal dari institusi kerajaan yang masih ada perlu dipertanyakan kembali. Atas alasan itulah tulisan ini akan mengulas sedikit mengenai bagaimana dinamika kekuasaan dan kedudukan keraton di Kota Cirebon.

Masa Kolonial

Menurut "Dagh Register Anno 1680" (catatan harian VOC) yang dikutip Edi, S. Ekadjati,[1] pada tanggal 17 Maret 1680, Sultan Sepuh (Sultan Raja Syamsudin) mengadakan hubungan dengan Sultan Haji yang merupakan Sultan Banten (diperkirakan melalui utusan khusus). Selanjutnya beberapa waktu kemudian, setelah kontak dengan Sultan Haji, Sultan Sepuh menulis surat kepada Gubernur Jenderal VOC. Surat Sultan Sepuh segera dibalas oleh Direktur Jenderal VOC Cornelis Spellman. Isi surat Sultan Sepuh itu ialah meminta bantuan VOC terhadap gangguan dan ancaman pasukan Banten. 

Beberapa waktu kemudian datanglah pasukan yang dipimpin oleh kapten Jochum Michielsen ke Cirebon untuk merundingkan materi perjanjian persahabatan dengan sultan-sultan di Cirebon dan mengusir pasukan Banten yang mengacau di Cirebon. Pada tanggal 23 Januari 1681, perjanjian persahabatan antara sultan-sultan Cirebon dengan VOC ditandatangani oleh Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Sultan Cirebon (pangeran Wangsakerta/Panembahan Toh pati) dalam suatu upacara di alun-alun. Dari pihak VOC ditandatangani oleh Commissaris Van Dyck.

Peristiwa penandatanganan perjanjian persahabatan ini merupakan awal dari surutnya eksistensi Cirebon yang pada saat itu sudah berdiri sejak 202 tahun lamanya dan dipertahankan dengan gigih dengan berbagai cara oleh para leluhur Cirebon yang juga leluhur Banten. Perjanjian persahabatan ini sebenarnya merupakan implementasi dan strategi politik VOC yang ingin menguasai Cirebon yang sebelumnya berhasil menguasai Mataram.

Menurut Unang Sunardjo, dalam bukunya Meninjau Sepintas Panggung Sejarah (Penerbit Tarsito, 1983), perjanjian persahabatan ini merupakan dorongan dari Sultan Haji (putra Sultan Ageng Tirtayaasa yang memberontak dan bersekutu dengan VOC) yang meyakinkan sultan-sultan di Cirebon mengenai keuntungan bersahabat dengan VOC.

Selain itu Sultan Haji khawatir jika para pimpinan masyarakat dan pemerintahan di Cirebon yang masih sangat setia kepada Sultan Ageng, masih tetap membantu gerilya laut Banten yang mengganggu VOC di sebelah Timur Batavia, sehingga harus dicari akal untuk menjelekkan pasukan Sultan Ageng yang masih ada di sekitar perairan Cirebon dan di Kota Cirebon. Penandatanganan perjanjian persahabatan itu menimbulkan perpecahan di kalangan para pembesar pemerintahan di Cirebon. Pro dan kontra ini tidak sampai menimbulkan pertumpahan darah.

Setelah penandatanganan perjanjian itu, terjadi proses likuidasi kekuatan politik di Banten. Menurut beberapa sumber, pada masa Panembahan Girilaya beserta putra mahkotanya ditahan oleh Mataram dan terjadi kekosongan pemerintahan di Cirebon, Kesultanan Banten memiliki andil yang besar dalam membantu dan melindungi Cirebon dari ancaman Mataram dan VOC. Bahkan Pangeran Wangsakerta dinobatkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk memimpin Cirebon selama Sultan dan Putra Mahkota tidak ada.

Dari kondisi pada saat itu, dapat diambil kesimpulan secara logis bahwa ketika Banten dalam kondisi terpuruk akibat pemberontakan yang dilakukan oleh Sultan Haji yang dibantu VOC, dan Cirebon yang kekuasaannya terpecah di tangan tiga sultan, serta tidak adanya kekuatan militer, maka wajar jika Cirebon mudah dihasut oleh Banten yang pada saat itu telah dikuasai oleh Sultan Haji.

Sampai akhirnya Cirebon meminta bantuan kepada VOC dalam hal pengamanan.  Selain itu, keruntuhan Cirebon pun dikarenakan para Sultan yang memerintah tidak mengetahui kondisi Cirebon sebelumnya saat mendapat ancaman dari Mataram dan VOC selama kekosongan pemerintahan, karena pada saat itu kedua Putra Mahkota ditahan oleh Sunan Amangkurat I atau Sunan Tegal Arum di Mataram.

Seperti awal pendiriannya, sistem kekuasaan yang digunakan oleh Keraton Kasepuhan adalah sistem kesultanan. Pada sistem kesultanan ini, keraton tidak hanya memiliki otoritas atau kekuasaan di bidang "keduniawian" saja, seperti bidang sosial, politik, ekonomi, tetapi juga memiliki otoritas dalam bidang keagamaan. Yang memegang otoritas atau kekuasaan itu adalah Sultan selaku pemimpin pemerintahan atau pemimpin negara pada saat itu. Walaupun demikian, otoritas agama secara khusus dipegang oleh kaum masjid di bawah koordinasi kyai penghulu dan ketib agung.

Sistem Kesultanan Kasepuhan dalam sejarahnya tidak berjalan normal. Sejak awal kepemimpinan hingga sekarang, kekuasaan Keraton Kasepuhan telah kehilangan otoritas politiknya seperti yang diceritakan di atas. Sistem kekuasaan yang diterapkan hingga saat ini merupakan sistem kesultanan yang telah diadaptasi dengan situasi dan kondisi di sekitarnya.

Ketika masuknya Belanda dengan VOC sebagai kongsi dagangnya, Kesultanan Cirebon mulai diintervensi. Sekitar tahun 1678-1679, atas intervensi Mataram dan VOC serta Banten, akhirnya Kesultanan Cirebon terpecah menjadi dua, yaitu Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Kanoman dibentuk sekitar  tahun 1679, dan kemudian tahun berikutnya berdiri Keraton Kasepuhan.[2] Ketika itu pihak kesultanan membuat perjanjian dengan VOC yang akhirnya berimplikasi pada demiliterisasi dan depolitisasi. Sejak saat itulah Kesultanan Kasepuhan hanya sebagai penguasa adat.

Sebagai sebuah institusi Negara, kesultanan tidak mampu berbuat apa-apa dalam hal pengelolaan sumberdaya yang ada karena sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh VOC. Untuk menjalankan rumah tangga keraton, pihak VOC yang memberikan gaji. Termasuk juga dalam hal pengelolaan pelabuhan, langsung ditangani Pemerintah Kolonial. Atas hal ini, keraton mendapatkan persentase atau semacam bagi hasil yang diberikan per bulan atau per tahun.[3]

Akibat situasi seperti itu, orang-orang VOC ditempatkan sedemikian rupa dan mendapat penghormatan dari keraton. Berdasarkan penuturan beberapa informan dan juga beberapa hasil penelitian, menceritakan bahwa pada saat itu, setiap kali suksesi, yang mengukuhkan seorang Sultan adalah dari pihak Belanda, yaitu Gubernur Jenderal atau pemerintah kolonial. Setiap kali Sultan meninggal, mahkotanya akan diambil oleh VOC ataupun Pemerintah Kolonial. Mau tidak mau, pihak keraton harus menjaga hubungan baik dan memanjakan orang-orang VOC.

Menurut Sulistiyono,[4] setelah VOC bubar tahun 1799, kekuasaan politik Keraton Cirebon baik terhadap hinterland maupun Kota Cirebon diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Daendels menempatkan Cirebon sebagai salah satu Karesidenan dan para Sultan di Cirebon disejajarkan dengan kedudukan Bupati yang harus mengabdi kepada pemerintah Hindia Belanda. Kontrol dan intervensi Belanda begitu kuat sampai pada kebijakan dan internal keraton seperti soal suksesi.

Contoh lain yang terjadi pada saat itu adalah diturunkannya Sultan Sepuh V oleh Belanda karena kelakuannya yang tidak menyenangkan pihak Belanda. Sebagai penggantinya ditunjuk saudaranya sebagai Sultan Sepuh VI.[5] Ini memperlihatkan intervensi dan kontrol Belanda terhadap kehidupan internal kesultanan. Sharon Siddiq menggambarkan kondisi seperti ini makin diperparah dengan adanya dominasi ekonomi oleh VOC sejak tahun 1681.[6]

Mulai pada tahun itu, dimulailah sebuah perjanjian perekonomian yang menempatkan kompeni mendapatkan hak monopoli impor pakaian, kapas, opium, dan monopoli ekspor seperti lada, kayu, gula, beras, dan produk lain apapun yang dikehendaki yang semuanya itu bebas dari bea impor, yang sebelumnya pernah dikenakan oleh keraton sebesar 2% dari nilai barang.

Perjanjian itu juga mengatur bahwa pelayaran pribumi harus mendapatkan lisensi dari VOC dan sangat dibatasi. Implikasi dari semua itu adalah bahwa secara politis maupun militer, Cirebon telah berada di bawah perlindungan langsung dari kompeni. Kontrol terhadap pelabuhan juga dipegang oleh Belanda. Bahkan menurut Imron Heriyanto dalam sebuah penelitiannya menyebutkan, pada tahun 1800-an, Sultan Cirebon menjadi pegawai pemerintah, dianggap sebagai bagian pemerintah dan para Sultan dinyatakan sebagai abdi negara Hindia Timur serta kekuasaan politik yang masih ada pada mereka ditempatkan di bawah pengawasan Belanda.[7]

Jadi otomatis kedudukannya di bawah Gubernur Jenderal. Ini menyebabkan kedudukan para penguasa Cirebon hanya sebagai perantara antara Belanda dengan masyarakat desa di pedalaman. Namun posisi ini juga lambat laun dirampas oleh Belanda yang membuat posisi kesultanan semakin memprihatinkan. Kehadiran VOC di Cirebon telah mengganggu stabilitas kekuasaan para Sultan.

Menurut Suleiman,[8] disebutkan bahwa pada tahun 1681 Sultan-Sultan Cirebon terpaksa menandatangani perjanjian dengan VOC. Substansi perjanjian tersebut telah menempatkan Cirebon di bawah perlindungan langsung VOC, baik dalam urusan dalam maupun luar Kesultanan Cirebon. Materi perjanjian tersebut antara lain tentang pencabutan gelar Sultan dengan mengembalikannya menjadi panembahan; menetapkan wilayah VOC yang meliputi Kandanghaur, Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan Cirebon sendiri; dan VOC mempunyai hak untuk membangun benteng-benteng di Cirebon dan Cirebon diharuskan untuk membantu VOC dalam berperang menghadapi musuh-musuhnya.  

Pada masa pendudukan Inggris di bawah kekuasaan Raffles yang menggantikan Gubernur Jenderal Belanda, kondisi kesultanan di Cirebon baik Kasepuhan maupun Kanoman tidak jauh berbeda. Kedudukan Sultan secara politis telah dihapuskan. Walaupun secara politis kekuasaan Sultan dihapuskan, namun Sultan mendapat gaji sebesar 18.000 gulden setahun, dan pada masa Raffles mendapat 8000 rupee.

Perubahan politik seperti itu berjalan seiring dengan perkembangan eksploitasi ekonomi yang sangat pesat di daerah pedalaman Cirebon. Penghapusan kekuasaan politik para Sultan sejak penguasaan oleh Belanda, memungkinkan kesultanan untuk mencurahkan perhatiannya kepada pengembangan kebudayaan, atau lebih berorientasi ke dalam (inward orientation).

Aktivitas keraton mulai mengembangkan aspek kebudayaan, kesenian, kerohanian dan gaya hidup keraton yang adiluhung dengan landasan ekonomi agraris yang berpusat di keraton, yang walaupun basis ekonomi ini makin lama makin dirampas lagi. Akibat dari campur tangan VOC dan intensitas hubungan VOC dengan keraton yang seperti ini, akhirnya gaya hidup di dalam keraton pun mengikuti gaya-gaya londo,[9] misalnya mabuk-mabukan sambil tayuban.[10] Bahkan dahulu Keraton Kasepuhan memiliki sekolah ronggeng.

Pengembangan aspek-aspek budaya ini terlihat dalam upacara-upacara tradisi dan keagamaan yang diadakan keraton. Misalnya saja upacara panjang jimat yang diselenggarakan secara besar-besaran adalah untuk membuktikan bahwa Sultan masih memiliki kharisma di mata masyarakatnya dengan dibuktikan dengan banyaknya pengunjung yang ingin bersilaturahmi dengan Sultan. Ini menunjukkan bahwa simbol-simbol upacara tradisi tidak hanya memiliki makna religius, namun juga memiliki makna politis. Selain pengembangan kebudayaan istana, tetapi juga mendorong munculnya kebudayaan di desa-desa penggarap tanah keraton. Pada aspek inilah yang mampu mengembalikan sebagian pengaruh dan kewibawaan keluarga keraton di mata masyarakat.

Pasca Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan Indonesia, eksistensi kekuasaan politik Keraton Kasepuhan dan keraton-keraton yang ada di Cirebon pada umumnya tetap saja stagnan. Berdasarkan faktor historis dan sumber-sumber yang ada serta membandingkan dengan dinamika politik keraton lain seperti Yogyakarta dan Surakarta, dapat disimpulkan bahwa hilangnya kekuasaan politik keraton pada masa setelah kemerdekaan dikarenakan hubungan keraton-keraton dengan kolonial.

Keraton-keraton yang kurang dan bahkan tidak mendukung terhadap perjuangan kemerdekaan umumnya tidak mendapatkan kekuasaan politik berupa hak istimewa setelah NKRI terbentuk. Dapat dibenarkan alasan ini, mengingat sejarah Kesultanan Cirebon, khususnya setelah terpecah, keraton-keraton yang ada menjalin hubungan dengan VOC dan Belanda seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelum ini.

Perlawanan-perlawanan terhadap penjajah lebih gencar dilakukan oleh orang-orang di luar keraton, meskipun itu dilakukan oleh orang yang masih memiliki hubungan dengan keraton. Hal ini memberikan implikasi pencabutan hak politik dan juga "nasionalisasi" aset berupa tanah keraton oleh negara.

Selain karena faktor tersebut, hilangnya kekuasaan ini dikarenakan kebijakan politik yang diambil oleh pemerintah RI adalah kebijakan politik negara kesatuan. Sempat ada keinginan dari keraton untuk mengembalikan kekuasaan politiknya seperti masa lalunya. Namun keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki serta beberapa sumber ekonomi keraton seperti tanah mulai menipis didorong kuatnya kebijakan politik pemerintahan RI, mengakibatkan posisi keraton tidak berdaya.

Beberapa kebijakan atau undang-undang produk pemerintah republik, secara langsung maupun tidak, telah memperlemah eksistensi kekuasaan keraton. Contoh nyata adalah adanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang semakin membuat keraton kehilangan sebagian besar tanahnya yang merupakan sumber utama pemasukan keraton. Akibat undang-undang itu, banyak tanah keraton yang sedikit demi sedikit lepas. Penyebab yang paling jelas adalah akibat keraton tidak memiliki sertifikasi yang jelas, padahal tanah keraton ini merupakan pendukung paling utama untuk mempertahankan eksistensi keraton.

Tanah-tanah milik keraton saat ini banyak yang menjadi sengketa dengan pihak pemerintah. Banyak tanah-tanah keraton yang dikalim oleh pemerintah tanpa ada persetujuan dari pihak keraton dan tanpa kompensasi atas pemanfaatan tanah tersebut. Meskipun demikian, hampir setiap persengketaan tanah keraton dengan pemerintah, pihak keraton selalu memenangi gugatan.[11]

Tanah-tanah yang dimiliki keraton sebenarnya merupakan aset utama untuk menciptakan legitimasi kekuasaan keraton. Hubungan kesetiaan yang tercipta antara keraton dengan masyarakat melalui proses penggarapan tanah keraton oleh petani merupakan modal utama bagi keraton untuk menggalang dukungan dari masyarakat luas. Keadaan politik yang tidak menguntungkan ini membuat struktur pemerintahan tradisional yang ada di keraton pun menjadi tidak berjalan. Posisi keraton yang tidak jelas juga turut menjadi penyebabnya.

Akibatnya, struktur organisasi tradisional keraton hanya bersifat formalitas. Bahkan menurut Sultan Arief Natadiningrat, selaku Sultan Keraton Kasepuhan saat ini, mengakui bahwa keraton sudah tidak memiliki struktur kesultanan. Hanya perangkat-perangkat tradisi yang masih ada, misalnya penghulu keraton, khotib agung, kaum, juru kunci situs milik keraton.[12]

Untuk menjalankan aktivitas keraton sehari-hari, saat ini Keraton Kasepuhan memiliki lembaga formal atau organisasi modern berupa Badan Pengelola Keraton Kasepuhan untuk mengurusi sehari-hari Keraton Kasepuhan sebagai obyek wisata. Selain badan pengelola keraton, ada juga Badan Pengurus Taman Air Gua Sunyaragi yang mengelola situs Gua Sunyaragi, Badan Pengelola SMKI yang mengurusi sekolah atau lembaga pendidikan kesenian milik keraton. Untuk bidang keagamaan, dibentuk Badan Pengelola Madrasah dan TK Nur Hidayah.

Selain organisasi pengelola situs-situs atau wewengkon, Keraton Kasepuhan juga memiliki beberapa yayasan, yaitu Yayasan Keraton Kasepuhan yang didirikan pada tahun 1988 dan Yayasan Amparan Jati. Struktur organisasi yang lebih bersifat modern ini sebagai upaya menjaga eksistensinya dalam mengelola Keraton Kasepuhan beserta aset-asetnya.

Penutup

Berkembangnya zaman saat ini menyebabkan berubahnya fungsi, kedudukan dan kekuasaan Keraton, tak terkecuali Keraton Kasepuhan. Dinamika kekuasaan dan kedudukan Keraton Kasepuhan ini dipengaruhi faktor historis sejak zaman penjajahan Belanda. Adanya depolitisasi, demiliterisasi akibat hasutan dan perjanjian kerjasama dengan Belanda menyebabkan hilangnya kekuasaan politik bahkan ekonomi Kesultanan Cirebon pada saat itu. Karena dianggap mendukung Belanda dan kurang mendukung perjuangan kemerdekaan, kondisi hilangnya kekuasaan politik seperti ini terus berlanjut hingga zaman setelah kemerdekaan, dan Kesultanan Cirebon, termasuk Kasepuhan berada di bawah kekuasaan pemerintah NKRI tanpa ada hak istimewa seperti yang terjadi di Yogyakarta.

Jika kekuasaan secara normatif, rasionalitas, dan legalitas seperti yang disebutkan Weber, Keraton Kasepuhan tidak memiliki kedudukan itu. Meskipun tidak memiliki kekuasaan dan kedudukan politik secara formal, Keraton Kasepuhan masih cukup memiliki kekuasaan secara secara kultural di mata masyarakat. Kekuasaan dan pengaruh ini dikonstruksi oleh beberapa hal, yaitu budaya dan agama, peran keagamaan dan relasinya dengan kalangan agama, silsilah, serta kharisma dari para leluhurnya yang juga diinternalisasi melalui pendidikan dan gemblengan oleh kalangan internal keraton kepada putra mahkotanya.

__

 [1] Sunardjo, Unang. 1983, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809, Penerbit Tarsito, Bandung. Hal 158-159  

[2] Mengenai pendirian Keraton Kanoman dan Kasepuhan masih belum ada kesamaan pendapat. Ada yang menyebutkan bahwa Keraton Kanoman berdiri tahun 510 saka atau 1588 masehi, sedangkan Kasepuhan berdiri tahun 1529 masehi. Berdasarkan sumber dari Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman berdiri pada tahun 1679 oleh Pangeran Kertawijaya yang bergelar Sultan Anom dan setelah itu kemudian Keraton Pakungwati berganti nama menjadi Kasepuhan.

[3] Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bidang Kebudayaan, Disporbudpar Kota Cirebon pada tanggal 8 April 2011

[4] Sulistiyono. 1994, "Perkembangan Pelabuhan Cirebon dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Cirebon 1859-1930." Tesis Program Studi Sejarah, Pascasarjana UGM, Yogyakarta. hal. 143

[5] Imron Heriyanto. 2000, "Upacara Panjang Jimat: Suatu Kajian Tentang Keraton Kasepuhan Cirebon Masa Kini" Tesis Pascasarjana UI, Jakarta. Hal. 82.

[6] Sharon Siddique, dalam Sulistiyono, op. cit. hal. 140.

[7] Dalam Heriyanto. op. cit. hal. 105.

[8] Dalam Heriyanto. Ibid. hal 105.

[9] Pada awalnya londo berasal dari sebutan kepada Belanda, namun pada perkembangannya sebutan itu tidak hanya untuk bangsa Belanda. Londo adalah sebutan masyarakat terhadap orang asing selain Arab dan Cina, khususnya sebutan terhdap orang-orang kulit putih seperti Belanda, Inggris, Portugis.

[10] Berdasarkan penjelasan salah seorang informan, tayuban merupakan sebuah kesenian atau tarian tradisional yang dahulu sering ditampilkan di keraton berkaitan dengan acara-acara pesta.

[11] Berdasarkan bukti-bukti putusan maupun surat gugatan yang dimenangkan oleh keraton terhadap persengketaan tanah keraton yang ada di arsip keraton.

[12] Berdasarkan wawancara tanggap 12 Agustus 2011 dengan Sultan PRA Arief Natadiningrat, Sultan Kasepuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun