Tergesa-gesa pagi itu aku menyalakan motorku. Terasa pagi itu benar-benar tidak beres. Bahkan kopi yang aku teguk seperti menyangkut di tenggorokan. Meskipun sempat tiga tegukan, tetap saja berasa tak beres, karena baru menyalakan rokok, istri sudah berteriak, "Bang, mau antar tidak, sih?"
Kepala seperti ditiban palu mendengar teriakannya. Makin berasa sakit ketika aku lihat istriku berteriak dari depan pagar.
Sedetik terlambat menghampirinya, harga diriku sebagai suami jempolan akan turun. Persis harga rupiah turun beberapa poin terhadap dolar.
Dan persis juga dengan rupiah, menaikkan harganya kembali amatlah susah. Begitulah harga diriku sebagai suami kalau sempat turun.
Beruntunglah aku, hanya dapat pelototan mata istriku. Harga diriku tak sempat turun, bahkan aku anggap naik.
"Sinar matamu benar-benar menghangatkan pagi!" kataku pada istriku setelah nyaman membonceng motor butut dan tunggalku.
"Sudah kalau mau ngomong, ya, ngomong saja. Penting tidak penting, aku dengar!"
"O, tidak. Aku hanya mau bicara mengenai matamu saja yang benar-benar kinclong tadi!" kataku tak disahut oleh istriku.
Seketika aku sadar. Benar katanya, ia mendengar apa saja yang aku bicarakan. Tetapi menyahut, atau merespon pembicaraanku adalah masalah yang berbeda.
Dan aku benar-benar seperti katak dalam tempurung yang tak tahu mesti bagaimana. Terlalu banyak kalimat yang harus aku ungkapkan dan butuh didengar, tetapi istriku benar-benar tak butuh ceritaku.Â
Ia hanya butuh diantarkan sampai ke kantor tempatnya bekerja. Tak terlalu jauh sebenarnya, tetapi benar-benar menjadi perjalanan yang cukup meresahkan.