Mohon tunggu...
Wiatmo Nugroho
Wiatmo Nugroho Mohon Tunggu... -

hamemayu hayuning Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Pohon Beringin Roboh Itu Bukan Hoaks

29 Agustus 2018   11:08 Diperbarui: 3 September 2018   11:54 2707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tak menduga akan begitu cepat pembersihan pohon roboh itu. Tetapi hal itu malah membuatku bertanya-tanya bahwa pohon beringin itu roboh, memang iya roboh. Jika pohon beringin itu roboh karena hujan dan angin, itulah pendapat awalku.

Tetapi setelah melihat tetua membersihkan pohon itu sedemikian cepat, aku berpendapat lain. Pohon beringin itu roboh karena dengan cara itu alam mengatakan pada pakde tetua; sudah cukup dalam berkuasa di kelurahan. Meskipun memang bukan dia yang berkuasa lagi, tetapi anak-anaknya lah yang memenangkan pilihan, berulang-ulang.

Ya, setahun lagi akan diadakan pemilihan lurah.

Dengan cerita bahwa pohon itu roboh, istriku tak tertarik sama sekali. Apalagi ditambah dengan cerita yang berhubungan dengan pakde tetua. Terlebih lagi, aku selalu pulang pagi demi mengejarnya. 

Baginya pohon beringin itu roboh atau tidak roboh, tidak penting, bahkan tidak untuk sekedar menjadi obrolan minum kopi, atau sekedar mengiringi menonton sinetron kegemarannya. Ia tak peduli.

Ia lebih suka dengan suami yang pagi hari siap dengan baju rapi dan bau wangi mengantarnya ke kantor. Tetapi naluriku ingin menyelesaikan cerita pohon yang roboh seketika setelah hujan dan angin malam itu. 

Teman-teman di warung pangkalan kaget ketika membaca ceritaku ada di koran lokal. Mereka mulai berpikir aku memanfaatkan kejadian itu untuk kepentinganku semata. Mereka tak peduli dengan kebenaran dari ceritaku. Mereka tak ingin akan ada keramaian sebelum waktunya seperti di tempat lain. Kalau memang informasiku benar, mereka minta aku melihat situasi dan kondisinya.

Entah mengapa aku merasa aku tak menyalahi aturan. Aku tak menyalahi situasi dan kondisi di desaku. Dan aku juga tidak membuat permusuhan dengan pakde tetua. Tak ada yang perlu aku musuhi dari orang tua itu, juga dengan anak-anaknya.

Lalu mengapa aku harus memotret pohon beringin roboh itu? Aku berpikir, karena itu semata-mata terjadi; memang ada pohon roboh, memang pohon itu di rumah pakde tetua, dan memang tahun depan akan ada pilihan lurah.  

Aku tak mengira bahwa ceritaku yang sangat obyektif malah berbalik menjadi bahan serangan balik buat aku sendiri. Entah dari mana sumbernya, cerita mengenai pohon roboh itu selalu dibumbui oleh saksi-saksi mata yang membelokkan cerita bahwa orang yang menulis di awalnya adalah seorang yang kurang layak dipercaya. Bahkan aku dikatakan sebagai orang yang kurang bahagia hanya karena aku belum punya anak. Memang benar aku belum punya anak. Tetapi aku bahagia, meskipun sering pulang pagi.

Istriku menjadi semakin diam karena dia juga membaca. Kalau toh, dia tidak membaca, pasti teman-teman sekantornya menyodorkan isu ini di depan wajahnya. Dia pasti juga tidak mau membaca. Aku yakin. Tetapi berita mengenai pohon roboh itu sudah cukup bisa dimengerti dari judulnya saja. Ya, paling mungkin istriku cukup membaca judul itu saja karena sudah terlihat jelas. Berita penjelasnya sepertinya sudah sangat terwakili oleh judul berita; pohon roboh, berita plintiran oleh orang yang tak jelas; beringin roboh tersebar istri malah terlantar. Pergunjingan malah menyusul pohon beringin yang tiba-tiba roboh itu. Karena itu istriku semakin menjadi pendiam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun