Entah dari mana asalnya, orang-orang di warung pangkalan dengan baik hati mengingatkan, sudah tidak perlu melanjutkan berita itu. Kalau toh memang benar, tetapi apa guna keluargaku diotak-atik, dengan demikian kasihan istri yang tidak tahu apa-apa. Tidak ada untungnya menyebarkan berita yang membuat panas orang. Apalagi orang yang punya kekuasaan. Cari lagi tema lain; misalnya sudah menjelang panen, apa benar harga gabah turun seperti di berita-berita itu. Masih banyak cerita, berita yang bisa dimasukkan ke koran lokal. Kata-kata mereka seperti palu yang memukul-mukul santai di dada.
Entah bagaimana, aku berpikir mereka semua benar. Tetapi aku juga merasa benar. Aku yakin istriku juga merasa benar.
Akhirnya, aku jadi berpikir untuk mengakhiri cerita itu. Pohon beringin roboh, pakde tetua dan anak turunnya yang senantiasa berkuasa, akan aku akhiri. Mau tidak mau. Setiap hari berkasak-kusuk demi kebenaran pun ternyata melelahkan. Dan kadang terlintas di pikiranku kebenaran sudah kabur, tak jelas, karena semua orang merasa benar.Â
Semua sumber benar, semua penyanggah benar. Aneh mereka saling bertentangan, tetapi kenapa semua tampak sama-sama benar? Bahkan aku sendiri yang sudah terbiasa dengan pertentangan berita, tetap akhirnya bingung-bingung juga. Kebenaran menjadi kebingungan, bagaimana mungkin?
Pulang dari warung pangkalan aku memilih untuk tidur saja, mengikuti kata-kata istriku. Rasanya tak enak juga jika tiap hari minum kopi tetapi menyangkut di leher, juga tidak enak melihat matahari pagi digantikan oleh tatapan mata istri.Â
Sembari menyalakan teve melihat semacam sinetron kegemaran istri, aku melelapkan diri, menyiapkan diri andai bertemu kebenaran meskipun hanya di dalam mimpi.Â
Menjelang sore setelah tebangun, aku menyusul istri di kantornya, menjemput. Kembangan senyumanku tak ada arti buat istriku, persis berita beringin roboh baginya. Bahkan ketika aku tawarkan untuk makan bakso di perempatan dekat alun-alun, dia memilih pulang cepat. Jangan-jangan bakso perempatan itu juga tak benar adanya, pikiranku melantur, melancong seenak sendiri.Â
Setelah itu aku sengaja merehatkan diri. Mungkin malah bersembunyi. Mungkin bermain petak umpet dengan kebenaran itu. Jika hari-hari kemarin kebenaran memperlihatkan diri kepada semua orang dalam bentuk yang semau-maunya, hari ini, jika ia mau, ia bisa mencariku dan menampakkan diri. Meskipun bersembunyi, rasanya aku terlalu mudah untuk ditemui.Â
Bahkan aku tak peduli, dengan pohon beringin muda yang sudah tumbuh di tempat pohon roboh kemarin. Aku hanya melihatnya saja sekelebat, tak hendak mencari terusan atau lanjutan si pohon muda itu. Tetapi tetap saja aku melihat pohon itu tampak segar, dan terlihat hijau benar daun-daunnya tanda terawat. Jadi benarlah kata orang, memang pakde tetua sudah mau memotong pohon roboh itu, karena ia sudah punya beringin muda yang ditanam baru tetapi sudah tampak besar. Aku bingung, dari mana pakde tetua mencabut beringin sebesar itu dan dipindahkan di pekarangannya.
Namun sekelebatan, pikiranku seperti segar kembali setelah melancong sebentar ke alam mimpi diantar sinetron kegemaran istri. Untuk apa aku mengabarkan pohon roboh itu? Karena aku tak ada benci sama sekali, malah aku menjadi yang dibenci. Lalu kenapa aku menulis lanjutan bahwa pohon roboh adalah bahasa alam yang mengingatkan pak tetua yang sudah bertahun-tahun berkuasa? Aku baru sadar ternyata itu semata-mata karena aku juga mencintai pakde tetua. Mungkin benar jika aku juga tak enak melihat dia selalu berkuasa. Tetapi dia juga tidak semena-mena, tidak kelewatan. Aku mencintai kampungku, tempat padi menguning di sisi kali. Tempat para petani gelisah menjelang hari menuai panenan padi, karena biasanya harga dipegang oleh tengkulak seenak sendiri. Toh, semuanya tetap hidup dan padi tetap akan menguning meskipun kata tivi harga pupuk melambung tinggi.Â
Terakhir kali, mengenai beringin roboh itu aku tuliskan untuk terakhir kali.