Mohammad MaksunÂ
Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam
 Perkawinan merupakan bagian dari dimensi kehidupan yang bernilai ibadah sehingga menjadi
sangat penting, Manusia yang telah dewasa, dan sehat jasmani serta rohaninya pasti membutuhkan
teman hidup untuk mewujudkan ketenteraman, kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup
berumah tangga. Dengan perkawinan itu pula manusia dapat membentuk keluarga, masyarakat dan
bahkan bangsa. Karena begitu pentingnya institusi perkawinan tersebut sehingga agama-agama
yang ada di dunia ini ikut mengatur masalah perkawinan itu, bahkan adat masyarakat serta institusi
negara pun turut mengambil bagian dalam pengaturan masalah perkawinan.
 Perkawinan beda agama memang bukan merupakan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia
yang multikultural. Perkawinan tersebut telah terjadi di kalangan masyarakat (di berbagai dimensi
sosialnya) dan sudah berlangsung sejak lama. Namun demikian, tidak juga berarti bahwa persoalan
perkawinan beda agama tidak dipermasalahkan, bahkan cenderung selalu menuai kontroversi di
kalangan masyarakat. Ada anggapan bahwa penyebabnya adalah keberadaan UU No. 1 Tahun 1974
yang tidak mengakomodir persoalan perkawinan beda agama, karena perkawinan campur yang
dimaksud dalam Pasal 57 UUP adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaran, bukan karena perbedaan agama.
Sementara keberadaan Pasal 2 ayat (1) UUP yang berisi perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, dianggap menutup kesempatan
untuk terjadinya perkawinan beda agama di Indonesia, sehingga dalam perkembangannya,
keberadaan Pasal 2 ayat (1) UUP dalam proses penggugatan dan diajukan judicial review ke
Mahkamah Konstitusi.
Bagi masyarakat muslim Indonesia, kontroversi dan polemik seputar perkawinan beda agama
selalu menghangat karena beberapa hal: 1) sejak dikeluarkannya Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam, dimana dalam Buku I KHI Pasal 40 huruf (c) menegaskan bahwa seorang
wanita yang tidak beragama Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria muslim. Padahal
dalam literatur klasik (kitab-kitab tafsir dan fikih) cenderung membolehkan perkawinan seorang pria
muslim dengan wanita ahli kitab; 2) adanya fatwa MUI Pusat tahun 2005 yang kembali menegaskan
tentang keharaman perkawinan beda agama, baik perkawinan antara seorang wanita muslimah
dengan non muslim, maupun perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab. Hal
lain yang menjadikan kontroversi dan polemik tersebut semakin menghangat yaitu dengan semakin
maraknya praktek perkawinan beda agama yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, khususnya
dikalangan artis yang masih ngetrend dari dulu sampai saat ini
Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam
 Dalam literatur klasik tidak dikenal kata Perkawinan Beda Agama Secara literal dan tidak
ditemukan pembatasan pengertian secara jelas, namun Pembahasan yang terkait dengan masalah
tersebut dimasukkan pada bagian pembahasan mengenai wanita yang haram dinikahi atau
pernikahan yang diharamkan, yang antara lain disebut sebagai az-zawaj bi al-kitabiyat, az-zawaj bi al-
musyrikat atau az-zawaj bi ghair al-muslimah (perkawinan dengan wanita-wanita ahli Kitab yaitu
perkawinan dengan wanita-wanita Yahudi dan Nashrani), perkawinan dengan wanita-wanita musyrik
(orang-orang musyrik) dan perkawinan dengan non muslim.
 Dalam pembahasan hukum Islam, khususnya dalam literatur fiqh klasik, Perkawinan Beda Agama
dapat dibedakan menjadi tiga kategori: pertama,Perkawinan antara seorang pria muslim dengan
seorang wania musyrik; kedua,Perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab; dan ketiga,Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim (sama adanya musyrik
atau ahli kitab) (Zuhdi, 1994: 4 & Syarifudin, 2006: 133-135).
Pertama, perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang wanita Musyrik dan sebaliknya.
Para ulama sepakat bahwa seorang pria muslim Diharamkan menikah dengan seorang wanita
musyrikah. Pendapat ini Didasarkan pada QS. Al-Baqarah (2), 221: "Dan janganlah kamu nikahi
perempuan musyrik, sebelum mereka Beriman. Sungguh hamba sahaya perempuan yang beriman
lebih baik Daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan Janganlah kamu
nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan Yang beriman) sebelum mereka berima.
Sungguh, hamba sahaya laki-Laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia
Menarik hatimu, mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah Mengajak ke surge dan
ampunandengan izin-Nya. (Allah) menerangkan Ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka
mengambil pelajaran."
Imam Ath-Thabari dalam tafsirnya menafsirkan "jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-
benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami
mereka)" bahwa para wanita telah mengakui dan membuktikan keimanan dan keislaman mereka
ketika diuji, maka janganlah mereka dikembalikan kepada suami mereka yang kafir, meskipun isi
perjanjian Hudaibiyah yang terjadi antara nabi dan orang-orang musyrik Quraisy mengharuskan
mengembalikan orang-orang Quraisy yang datang kepada Nabi Muhammad, perjanjian itu
diperuntukkan untuk kaum prianya yang beriman. Sehingga syarat yang diajukan dalam perjanjian
damai itu tidak berlaku bagi wanita-wanita yang berhijrah kepada nabi yang mereka diuji dan
membuktikan keimanan dan keislaman mereka. Mereka tidak boleh dikembalikan pada suami-suami
mereka, karena tidaklah halal wanita-wanita mukmin itu bagi orang-orang kafir, dan tidaklah halal
pria kafir bagi wanita-wanita mukminat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H