Hal ini diperkuat dengan pembenaran yang dilakukan oleh beberapa tokoh public/politik, terutama di Twitter sehingga imbasnya adalah masyarakat luas menjadi percaya akan kebohongan tersebut.Â
Lebih parahnya lagi media-media digital memanfaatkan situasi tersebut dengan memproduksi masal berita ini dengan judul-judul provokatif agar para pembaca mengklik situs web tersebut supaya para produsen mendapatkan profit dari iklan yang ditayangkan dalam berita itu. Dampaknya adalah ketika berita tersebut diproduksi secara berulang-ulang, maka ia berpotensi menjadi kebenaran yang dibangun di atas kebohongan.Â
Julian Matthers (2019) dari Monash University memaparkan dalam artikelnya bahwa "Paparan berulang kali dapat meningkatkan anggapan seseorang bahwa informasi yang salah itu benar. Pengulangan akan menciptakan persepsi kelompok yang dapat menghasilkan ingatan kolektif yang salah, yaitu sebuah fenomena yang disebut Efek Mandela".
Selain itu, backfire effect juga sangat berpengaruh dalam mempengaruhi seseorang terhadap berita yang dibacanya. "Morten Tolboll, menyebutkan backfire effect adalah respons ganjil seseorang ketika menemukan fakta yang bertentangan dengan keyakinannya; alih-alih terbuka dengan kemungkinan bahwa fakta itu benar dan mengubah pandangannya, orang itu justru semakin teguh berpegang pada keyakinannya" (Naviri. Org, 2018). Hal ini berkaitan dengan          keyakinan maupun kepercayaan seseorang terhadap suatu ideologi tertentu, ,maka seringkali mereka sangat mudah untuk terpapar berita palsu.
"Istilah backfire effect digunakan pertama kali oleh Profesor Dartmouth College Brendan Nyhan dan Profesor University of Exeter Jason Reifler" (Abdulsalam, 2018). Dalam rangka mencari tahu faktor-faktor penyebab backfire effect tersebut Nyhan dan Reifler dalam penelitiannya menyodorkan sebuah cuplikan berita mengenai senjata pemusnah massal yang berada di Irak kepada setiap subjek penelitiannya.Â
Dalam prosesnya responden dibagi menjadi dua, yaitu pertama, kelompok konservatif yang mendukung perang Amerika Serikat di Irak ketika dihadapkan pada cuplikan yang disajikan justru menolak fakta tersebut. Sedangkan, kedua, kepada subjek lainnya disajikan cuplikan berbedah yang menyebutkan bahwa pemerintah Amerika Serikat menyangkal dan membantah terkait adanya senjata pemusnah masal di Irak.Â
Ternyata hasilnya sangat mengejutkan karena kelompok liberal yang menentang perang Amerika Serikat di Irak justru menerima fakta penyangkalan yang dilakukan dalam cuplikan tersebut. Menurut Nyhan dan Reifler dari hasil tersebut kelompok konservatif menjadi semakin yakin bahwa pemerintah Irak menyimpan atau menghancurkan senjata pemusnah masal tersebut.
Dari kedua kelompok subjek penelitian diatas dapat dikatakan bahwa ketika subjek dihadapkan pada kontradiksi fakta dengan keyakinan ideologis mereka justru keyakinan mereka menjadi menguat. Sebuah penyangkalan justru semakin menambah mispersepsi antar kelompok karena mengancam pandangan filosofis mereka. Sehingga mereka hanya ingin mengakses berita yang mendukung ideologi maupun pandangan mereka, sedangkan hal-hal yang bertentangan dengan keyakinan mereka menjadi sangat sulit untuk diterima karena mengancam eksistensi dan keyakinannya.Â
Hal ini juga berkaitan dengan bagaimana sebuah mekanisme otak bekerja ketika subjek mengakses sebuah informasi, maka si subjek akan lebih cenderung memilih membaca informasi yang mudah untuk dicerna sehingga kemudian otak akan melepaskan hormon dopamine ketika si subjek berhasil memahami suatu informasi atau fakta tertentu.Â
Dalam hal ini dopamine bertanggungjawab untuk membuat si subjek merasa positif, bahagia, dan nyaman. Sedangkan, ketika si subjek dihadapkan pada berita yang sulit untuk dicerna dan dipahami justru kerja otak akan mengatur rasa sakit dan muak serta bosan yang lebih dominan (Anindyaputri, 2020). Hal ini bukan tanpa alasan karena otak manusia memang pada dasarnya lebih menyukai hal-hal yang sederhana dan mudah dicerna daripada hal-hal yang sulit dan membosankan.
Begitupun dengan bias konfirmasi. "Dalam ilmu kognitif dan psikologi, bias konfirmasi adalah kecenderungan untuk mencari atau menafsirkan berita yang sesuai dengan nilai-nilai yang sudah dimiliki seseorang" (Anindyaputri). Artinya, subjek seringkali hanya menyimpulkan suatu berita maupun informasi yang didapatnya berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya saja. Sehingga bias konfirmasi inilah yang seringkali mengaburkan pikiran seseorang ketika menerima sebuah informasi dari berita yang beredar melalui media sosial maupun web.Â