Fenomena berita palsu dapat dikatakan sebagai sebuah persoalan klasik, hal ini berkaitan dengan fakta bahwa "Sejarah fake news telah dimulai sejak abad ke 13 SM.Â
Dimulai pada masa Ramses the Great yang menyebarkan kebohongan dan propaganda dengan menggambarkan pertempuran Kadesh (red. The Great Battle of Kadesh) sebagai kemenangan yang menakjubkan bagi orang Mesir" (Rusdiana, 2018). Sedangkan, "Dalam cambridge dictionary, fake news didefinisikan sebagai "false stories that appear to be news, spread on the internet or using other media, usually created to influence political views or as a joke".Â
Fake news juga sering disebut dengan yellow journalism, atau propaganda yang terdiri dari disinformasi atau kebohongan yang disengaja yang disebarkan melalui media berita cetak dan disiarkan secara tradisional atau media sosial online" (Rusdiana, 2018).Â
Maka, tidak mengherankan jika fake news selalu menjadi topik perbincangan yang seakan-akan tidak akan pernah berakhir. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa media-media berita terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, salah satunya adalah media konvensional atau tradisional, meskipun pengaruh dan dampaknya tetap ada, namun tidak terlalu signifikan karena daya jangkauannya yang memang masih relalitif terbatas.
Maka, kemudian dengan hadirnya berbagai macam terobosan baru berkat teknologi merevolusi semua hal dan juga aktivitas manusia. Salah satunya adalah transformasi media berita konvensional ke dalam dunia digital memberikan dampak yang sangat besar bagi umat manusia karena akses informasi tidak lagi menjadi terbatas layaknya pada media konvesional.Â
Namun, jangkauannya yang luas dan dengan segala kemudahan akses informasi yang ditawarkannya justru semakin memperlebar penyebaran berita palsu karena ketidakterbatasan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa "berita palsu" mendapatkan panggungnya secara lebih luas berkat adanya media sosial.
Arwendria dan Oktavia (2019) dalam penelitian memaparkan bahwa "Platform yang paling populer sebagai media penyebaran berita palsu adalah Facebook. Berdasarkan hasil survei oleh DailySocial (https://dailysocial.id) sebanyak 81,25% responden menerima berita palsu dari Facebook, diikuti oleh 56,55% responden dari WhatsApp, dan 29,48% responden dari Instagram.Â
Dari hasil survei tersebut juga diketahui bahwa Twitter merupakan platform yang lebih aman (10,38%) jika dibandingkan media sosial lainnya". Hal ini membuktikan bahwa betapa maraknya sebuah berita palsu yang beredar di internet maupun website, terutama di media sosial.Â
Hal tersebut bukan tanpa alasan karena media sosial telah menjadi tempat bagi banyak orang untuk saling berinteraksi dan bertukar informasi sehingga penyebarannya bisa lebih cepat karena mudah untuk dibagikan atau disebarluaskan.
Bahkan, "Pada akhir tahun 2016, Menteri Kominfo Rudiantara, menyatakan bahwa terdapat setidaknya 800.000 situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu" (Rusdiana, 2018).Â
Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa penyebaran berita palsu melalui jejaring sosial jauh lebih cepat dan efisien dibandingkan media konvensional atau tradisional seperti koran maupun majalah. Sehingga dapat dikatakan bahwa media sosial tampaknya memiliki kontribusi besar dalam mempengaruhi banyak orang, baik dalam berperilaku, mengambil keputusan, bersikap, menyatakan pendapat maupun dalam konteks demokrasi.
Terlepas dari apa yang sudah dipaparkan diatas, lalu bagaimana seseorang dapat terjebak dan percaya pada berita palsu?. Hal ini bisa disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah melalui konten-konten clickbait yang dimana isi konten "berita" seringkali berbanding terbalik dengan judul maupun gambarnya.Â
Seperti yang dipaparkan dalam sengedan.com  bahwa clickbait "adalah sebuah istilah untuk menggambarkan konten web yang hanya bertujuan mendapatkan viewer atau pembaca, tanpa memperdulikan kualitas dan akurasi konten yang disajikan, dengan bergantung pada judul yang sensasional dan memprovokasi atau cuplikan gambar yang mendorong orang untuk membaca atau melihatnya" (Saputro & Haryadi, 2019).Â
Artinya para produsen seringkali hanya memprioritaskan profit dan tidak terlalu peduli dengan kredibilitas berita-berita yang akan mereka produksi dan disebarluaskan sehingga ketika pembaca "viewer" mengkliknya, maka mereka berpotensi terpapar informasi palsu.Â
Hal ini tidaklah mengherankan mengingat suatu kebenaran seringkali diplesetkan pada judul-judul berita sehingga orang menjadi penasaran untuk mengkliknya. Bahkan, seseorang penyedia berita palsu yang bernama "Jestin Coler, mengatakan bahwa dia melakukannya untuk "bersenang-senang", di samping itu dia juga mendapatkan US $10.000 per bulan dari beriklan di situs web berita palsunya" (Rusdiana, 2018). Sehingga tampak jelas bahwa dalam konteks penyediaan konten "berita" palsu terdapat indikasi kuat dimana prioritas utama produsen adalah profit, bukan pada kredibilitas isi kontennya.
Hal ini diperparah dengan bagaimana cara algoritma beroperasi pada media sosial yang dimana sistem algoritma akan menyediakan informasi sesuai dengan preferensi dan histori penelusuran kita ketika mengakses sebuah konten berita, baik dalam bentuk artikel maupun video sehingga hal ini berpotensi memperkuat keyakinan dan kepercayaan kita yang palsu terhadap suatu hal karena berita yang ditampilkan 80 sampai 90% seringkali berisikan informasi-informasi yang mendukung keyakinan dan kepercayaan pembaca.Â
Misalnya, dalam konteks politik dimana orang hanya akan mencari informasi berdasarkan pilihan politiknya sehingga ketika proses pencarian dilakukan di jejaring sosial, maka kemudian algoritma akan menyeleksi dan menyediakan informasi yang relevan dengan pilihan politiknya.
 Sehingga, ketika dibenturkan dengan fakta "kebenaran" sebenarnya, tetapi jika bertentangan dengan preferensinya, mereka akan cenderung mempertahankan keyakinannya meskipun jelas-jelas itu adalah sebuah berita palsu dan bukan sebuah kebenaran.
Dalam konteks ini para peminat berita tentang isu-isu politik akan lebih mudah terpapar berita palsu, bahkan lebih mirisnya lagi Sebagian besar dari mereka tidak akan menyadari bahwa mereka percaya pada berita palsu. Hal ini disebabkan karena cara kita menerima dan memproses berita palsu dengan berita yang benar seringkali melalui mekanisme yang sama sehingga butuh sebuah penalaran rasional kritis untuk memfilter informasi.Â
Sebab, pada kenyataannya "berita palsu menyebar lebih cepat, lebih jauh, lebih dalam, dan lebih luas dibanding berita yang benar. Dampak yang paling signifikan adalah pada isu-isu politik, dibanding isu bencana alam, terorisme, sains, dan sebagainya" (Rusdiana, 2018).Â
Mirisnya, penyebaran berita palsu yang cepat dijejaring sosial ini kemudian dapat menjangkau banyak orang dan ketika hal itu terjadi banyak dari antara mereka akan membicarakannya sehingga imbasnya adalah berita palsu tersebut lama-kelamaan dapat diyakini sebagai sebuah informasi yang benar.
Contoh kasus dalam hal semacam ini dapat dilihat dari peristiwa yang pernah menyeret nama Ratna Sarumpaet, dimana ia diisikun dianiaya oleh seseorang. Berita ini awalnya diposting di Facebook kemudian disebarluaskan oleh banyak orang melalui media sosial lainnya seperti Instagram dan Twitter tanpa diverifikasi terlebih dahulu.Â
Hal ini diperkuat dengan pembenaran yang dilakukan oleh beberapa tokoh public/politik, terutama di Twitter sehingga imbasnya adalah masyarakat luas menjadi percaya akan kebohongan tersebut.Â
Lebih parahnya lagi media-media digital memanfaatkan situasi tersebut dengan memproduksi masal berita ini dengan judul-judul provokatif agar para pembaca mengklik situs web tersebut supaya para produsen mendapatkan profit dari iklan yang ditayangkan dalam berita itu. Dampaknya adalah ketika berita tersebut diproduksi secara berulang-ulang, maka ia berpotensi menjadi kebenaran yang dibangun di atas kebohongan.Â
Julian Matthers (2019) dari Monash University memaparkan dalam artikelnya bahwa "Paparan berulang kali dapat meningkatkan anggapan seseorang bahwa informasi yang salah itu benar. Pengulangan akan menciptakan persepsi kelompok yang dapat menghasilkan ingatan kolektif yang salah, yaitu sebuah fenomena yang disebut Efek Mandela".
Selain itu, backfire effect juga sangat berpengaruh dalam mempengaruhi seseorang terhadap berita yang dibacanya. "Morten Tolboll, menyebutkan backfire effect adalah respons ganjil seseorang ketika menemukan fakta yang bertentangan dengan keyakinannya; alih-alih terbuka dengan kemungkinan bahwa fakta itu benar dan mengubah pandangannya, orang itu justru semakin teguh berpegang pada keyakinannya" (Naviri. Org, 2018). Hal ini berkaitan dengan          keyakinan maupun kepercayaan seseorang terhadap suatu ideologi tertentu, ,maka seringkali mereka sangat mudah untuk terpapar berita palsu.
"Istilah backfire effect digunakan pertama kali oleh Profesor Dartmouth College Brendan Nyhan dan Profesor University of Exeter Jason Reifler" (Abdulsalam, 2018). Dalam rangka mencari tahu faktor-faktor penyebab backfire effect tersebut Nyhan dan Reifler dalam penelitiannya menyodorkan sebuah cuplikan berita mengenai senjata pemusnah massal yang berada di Irak kepada setiap subjek penelitiannya.Â
Dalam prosesnya responden dibagi menjadi dua, yaitu pertama, kelompok konservatif yang mendukung perang Amerika Serikat di Irak ketika dihadapkan pada cuplikan yang disajikan justru menolak fakta tersebut. Sedangkan, kedua, kepada subjek lainnya disajikan cuplikan berbedah yang menyebutkan bahwa pemerintah Amerika Serikat menyangkal dan membantah terkait adanya senjata pemusnah masal di Irak.Â
Ternyata hasilnya sangat mengejutkan karena kelompok liberal yang menentang perang Amerika Serikat di Irak justru menerima fakta penyangkalan yang dilakukan dalam cuplikan tersebut. Menurut Nyhan dan Reifler dari hasil tersebut kelompok konservatif menjadi semakin yakin bahwa pemerintah Irak menyimpan atau menghancurkan senjata pemusnah masal tersebut.
Dari kedua kelompok subjek penelitian diatas dapat dikatakan bahwa ketika subjek dihadapkan pada kontradiksi fakta dengan keyakinan ideologis mereka justru keyakinan mereka menjadi menguat. Sebuah penyangkalan justru semakin menambah mispersepsi antar kelompok karena mengancam pandangan filosofis mereka. Sehingga mereka hanya ingin mengakses berita yang mendukung ideologi maupun pandangan mereka, sedangkan hal-hal yang bertentangan dengan keyakinan mereka menjadi sangat sulit untuk diterima karena mengancam eksistensi dan keyakinannya.Â
Hal ini juga berkaitan dengan bagaimana sebuah mekanisme otak bekerja ketika subjek mengakses sebuah informasi, maka si subjek akan lebih cenderung memilih membaca informasi yang mudah untuk dicerna sehingga kemudian otak akan melepaskan hormon dopamine ketika si subjek berhasil memahami suatu informasi atau fakta tertentu.Â
Dalam hal ini dopamine bertanggungjawab untuk membuat si subjek merasa positif, bahagia, dan nyaman. Sedangkan, ketika si subjek dihadapkan pada berita yang sulit untuk dicerna dan dipahami justru kerja otak akan mengatur rasa sakit dan muak serta bosan yang lebih dominan (Anindyaputri, 2020). Hal ini bukan tanpa alasan karena otak manusia memang pada dasarnya lebih menyukai hal-hal yang sederhana dan mudah dicerna daripada hal-hal yang sulit dan membosankan.
Begitupun dengan bias konfirmasi. "Dalam ilmu kognitif dan psikologi, bias konfirmasi adalah kecenderungan untuk mencari atau menafsirkan berita yang sesuai dengan nilai-nilai yang sudah dimiliki seseorang" (Anindyaputri). Artinya, subjek seringkali hanya menyimpulkan suatu berita maupun informasi yang didapatnya berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya saja. Sehingga bias konfirmasi inilah yang seringkali mengaburkan pikiran seseorang ketika menerima sebuah informasi dari berita yang beredar melalui media sosial maupun web.Â
Misalnya berita bohong tentang COVID-19 yang beredar luas diawal-awal pandemi di Indonesia. Subjek yang terjebak pada berita bohong mengenai COVID-19 ini pada dasarnya sudah memiliki keyakinan terlebih dahulu bahwa virus COVID-19 hanyalah sebuah berita bohong yang digembar-gemborkan oleh pemerintah dan sama sekali tidak berbahaya dan dilebih-lebihkan. Maka, ketika sebuah informasi atau berita yang beredar dan menyatakan bahwa COVID-19 tidak berbahaya seolah-olah hal tersebut akan membenarkan (mengonfirmasi) keyakinan tersebut, dampaknya adalah si subjek pun akan percaya begitu saja tanpa menelusuri kebenaran dari berita tersebut.
Terlepas dari apa yang sudah dipaparkan diatas, pada dasarnya tidak ada sebuah solusi yang benar-benar tepat dalam rangka mencegah kita agar tidak terjebak pada kepercayaan pada sebuah berita palsu. Meskipun berbagai penelitian telah dilakukan dalam upaya untuk menemukan sebuah cara yang tepat supaya kita tidak terpapar berita bohong, faktanya sampai saat ini masih dalam tahap pengembangan dan kemungkinan akan sangat sulit.Â
Meskipun demikian, salah satu cara paling ideal untuk saat ini adalah dengan memperbanyak literasi dari berbagai macam jenis pengetahuan maupun informasi yang berkaitan dengan dinamika kehidupan sosial. Hal ini meskipun tidak terlalu efektif, tetapi setidak dapat mengurangi seseorang terpapar berita bohong karena jangkauan literaturnya yang luas.Â
Selain itu, kemampuan berpikir kritis sangat dibutuhkan oleh pembaca berita dan hal ini bisa dilakukan dengan membaca beritanya terlebih dahulu, mencari tahu sumber-sumber berita, dan mengenali dan memperbanyak literasi mengenai ciri-ciri berita bohong.
Apa yang sudah dipaparkan diatas merupaka sebuah mekanisme fundamental yang seringkali mempengaruhi seseorang dalam proses mempercayai sebuah berita palsu. Uniknya, dalam beberapa kasus orang yang terpapar berita palsu bukan hanya dari kalangan masyarakat biasa. Akan tetapi, orang-orang berpendidikan tinggi maupun kompeten dibidangnya sekalipun juga seringkali menjadi korban berita bohong dari pengetahuannya sendiri.Â
Sekalipun seseorang menguasai sebuah bidang tertentu pun juga tidak luput dari yang namanya korban dari berita bohong yang beredar luas di media sosial. Sehingga sikap kehati-hatian dan kritis dalam menyimak sebuah informasi sangat-sangat diperlukan, mengingat cara kita memproses berita bohong dan benar sangat sulit untuk dibedahkan karena proses yang terjadi ketika kita mengakses berita palsu dan benar seringkali mekanismenya sama.
salam!
Daftar pustaka :
Sumber Primer
Arwendria, A., & Oktavia, A. (2019). Upaya pemerintah Indonesia mengendalikan berita palsu. Baca: Jurnal Dokumentasi Dan Informasi, 40(2), 195. https://doi.org/10.14203/j.baca.v40i2.484
Niswah, H. A. (2018). Pengaruh kebutuhan akan informasi tentang Figur Publik dan intensitas mengakses Berita Clickbait di situs berita media daring terhadap tingkat kepuasan pembaca yang mengaksesnya. Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Diponegoro, 6(4). https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/interaksi-online/article/view/21565/19994
Rusdiana, I. (2018). Kognisi pembaca berita palsu (fake news) di media online. Kodifikasia, 12(2), 185. https://doi.org/10.21154/kodifikasia.v12i2.1520
Saputro, G. E., & Haryadi, T. E. (2019). Komik Strip dan Fenomena Clickbait. Titik Imaji, 2(1), 63--70. https://doi.org/10.30813/.v2i1.1528
Taswin, M. Z. S., & Yudiana, W. (2018). Pengaruh Induksi Gaya Kognitif Reflektif terhadap persepsi akurasi berita palsu (fake news) pada situasi efek kebenaran semu (Illusory Truth Effect). Journal of Psychological Science and Profession, 2(3), 193. https://doi.org/10.24198/jpsp.v2i3.19374
Yunanto, R., Purfini, A. P., & Prabuwisesa, A. (2021). Survei literatur: deteksi berita palsu menggunakan pendekatan Deep Learning. Jurnal Manajemen Informatika (JAMIKA), 11(2), 118--130. https://doi.org/10.34010/jamika.v11i2.5362
Â
Sumber Sekunder
Hellosehat.com. 09 Desember 2020. Jangan Mau Ditipu! Ini Alasan Orang Mudah Percaya Berita Hoax. Diakses pada 13 Januari 2023, dari https://hellosehat.com/mental/mental-lainnya/mudah-percaya-berita-hoax/
Naviri.org. 04 April 2018. Mengapa Banyak Orang Mempercayai Berita Palsu. Diakses pada 12 Januari 2023, dari https://www.naviri.org/2018/04/mengapa-banyak-orang-mempercayai-berita-palsu.html
Tirto.id. 27 Februari 2018. Mencari Kebenaran Ditengah Gelombang Berita Palsu. Diakses pad 12 Januari 2023, dari https://tirto.id/mencari-kebenaran-di-tengah-gelombang-berita-palsu-cFix
Theconversation.com. 17 Mei 2019. Bagaimana berita palsu masuk ke dalam pikiran kita dan apa yang dapat kita lakukan untuk melawannya?. Diakses pada 12 Januari 2023, dari https://theconversation.com/bagaimana-berita-palsu-masuk-ke-dalam-pikiran-kita-dan-apa-yang-dapat-kita-lakukan-untuk-melawannya-117012
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI