"Saya Syifa tinggal di daerah Semarang. Si mbak namanya siapa?" tanya Syifa balik.
"Aku Zahra, rumahku di Kendal, dekat-kan sama rumah kamu?" Zahra tanya ulang, Syifa pun menganggukan kepala sebagai tanda iya.
Syifa sudah mulai menikmati suasana di pesantren dengan semuanya yang serba baru. Untungnya ia gadis yang mudah beradaptasi. Sekarang ia mempunyai banyak teman yang bisa mengerti sifat serta waktannya. Zahra teman yang paling dekat dan ia percaya untuk menyimpan ungakap hatinya.Â
Awalnya Syifa memang tak bisa menerima keputusan sendiri saat jauh dari orangtua. Padahal Syifa sebelumnya sudah terbiasa di pesantren selama enam tahun.
Lantuanan suaranya terdengar merdu, mahrajnya benar-benar jelas. Sesekali orang yang mendengar akan terpukau. Ia mengucap lafadnya berulang-ulang hingga ia benar-benar sudah menghafal. Ia berbeda dengan lainnya, mayoritas di sini teman barunya sudah mempunyai hafalan lebih dari juz tiga.Â
Syifa terus bersemangat untuk menghafal Alquran. Baginya waktu bukan sebuah uang yang dapat habis kapan saja. Tapi, waktu adalah tiket kesuksesan seseorang yang benar-benar perlu dimanfaatkan dengan kebaikan.
Suarannya terhenti ketika mendengar bunyi ponsel yang berdering. Pesan yang selalu setia menemaninya. Hubungannya dengan Ferdian kini semakin jauh, ia merasa benar-benar tertekan dengan keadaan. Rasa cinta Ferdian terhadap Syifa tidak bisa diibaratkan dengan apa saja.Â
Ferdian memberi harapan besar terhadap Syifa. Syifa hanya merespon dengan baik seakan tak memperlihatkan apa yang ia rasakan. Bukan karena ia takut kehilangan Ferdian tapi ia merasa kasihan atas semua pengorbanan yang diberikan Ferdian. Pandangannya menjadi buyar, fikirannya menjadi ambyar, bahkan air matanya kembali menetes.
"Fa, kamu baik-baik saja kan? Ada apa dengan dirimu?" tanya Zahra yang tiba-tiba menepuk bahu Syifa. Sponta Syifa memeluk Zahra.
"Zah.. aku benar-benar tang mengerti harus berbuat apa? Keterpurukan itu menghantui aku" jawab Syifa meneteskan air mata "aku bingung Zah, aku ingin melepas Ferdian tapi entahlah apa yang kurasakan sekarang".
"Bukankah aku sudah kau percaya sebagai sahabatmu. Ceritalah sama aku, siapa tahu aku bisa memberimu jalan keluar" Zahra mencoba menenangkan. Dihapusnya air mata Syifa. Tarikan nafasnya memulai ia berbicara.