Mohon tunggu...
Wening Yuniasri
Wening Yuniasri Mohon Tunggu... Guru - Pelajar kehidupan - Nominator Best in Fiction Kompasiana Awards 2024

Menulislah, maka engkau abadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kode

12 September 2024   00:00 Diperbarui: 12 September 2024   17:55 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kode

cerpen oleh: Wening Yuniasri

Ada segebung perasaan asing menyusup tanpa kusadari. Sayangnya, ketika aku mengetahui sepenuh keinsyafan, ini sudah terlambat. Sehingga segala kata-kataku tersalin, berubah membatin: mengapa aku di sini?

Bangku-bangku di belakang punggungku masih kosong. Lelaki di ujung meja memandangku penuh minat. Aku tak perlu memedulikan apakah pupil matanya melebar atau tidak. Yang sangat aku tahu adalah aku ingin menghilang. Meloncati bangku-bangku, menyelundup dan mengerut, hingga sulit bayangku ditemukan, di ruang yang kepalang luas ini, dengan badan yang tiba-tiba menyusut sebesar korek api.

Di luar, jalan utama ramai dan lancar. Tapi gestur dan mimik wajahku, mengadat, alirannya terhambat. Aku hampir kehilangan kemudi atas emosiku sendiri. Kalemlah, hardikku pada diriku sendiri.

Meja kayu di bawah kedua lenganku, mulai basah digenangi bayang-bayang es yang melorot turun. Gembira sekali sepertinya mereka, bisa terlepas dari kebekuan yang menyiksa, mengalir menurut keinginan hati masing-masing. Membuatku iri. Mungkin inilah jawaban mengapa manusia mengharapkan kebebasan. Kebekuan tidak cukup menyehatkan bagi pertumbuhan. Aku melihatnya sebagai tanda waspada, siapa tahu aku juga perlu kabur jauh-jauh dari hal semacamnya, seperti tatapan takjub yang belum berhenti itu. Aku menyadarinya, jauh sebelum gelas di depanku mendarat, atau sebelum tangkupan biskuit hitam bersalut cokelat yang kepalang manis digerus masuk bersama susu segar dan disajikan dengan tata-laksana cukup mengesankan oleh pramusaji. Melihat gejala-gejala yang mulai bermunculan, aku bertanya-tanya. Adakah dari sebagian gumpalan pikiran itu hendak dibagi, atau tidak. Aku menunggu.

Udara tak bergerak di atas sini. Meski langit-langit cukup tinggi, meski aku menentang ruang terbuka, meski tanaman iris berbunga kuning melayangkan senyum riang di bawah kerai-kerai kecil yang terjuntai. Perlu kuakui, aku tak mendapat cukup napas. Memikirkan kesempatan untuk mengempas sumbatan pernapasan, hanya membuatku semakin sesak. Membikin frustrasi.

"Jadi, siapa yang mungkin akan datang, Gita?" Kalimat darinya menjadi yang pertama kalinya sejak kami duduk. Satu-satunya suara di lantai lapis ke dua kedai. Suaranya berdebam jatuh, memungkinkan pengunjung di sudut paling terpencil menegakkan telinga. Suara itu telah membangunkan ribuan kupu-kupu, beterbangan dalam perutku, hinggap di sebarang bangku dan kap lampu, mengubah ruangan ini jadi makin penuh.

Aku mengedikkan bahu. Aku tahu pemberitahuan pada laman grup sekolah menengah yang dia buat itu untuk siapa pun yang berminat datang. Sebuah undangan terbuka. Siapa yang akan menerka bahwa aku mungkin akan datang? Aku bahkan tidak mengonfirmasi kedatanganku padanya. Pengumuman itu bagiku adalah satu-satunya cara untuk dapat mengaksesnya setelah komunikasi kami terputus.

Semua orang yang berniat dan tak berniat datang telah memberitahu dengan gamblang. Dia telah mengetahui itu dengan baik, paling tidak, hingga menit-menit aku datang dan duduk, di bawah situ, di lantai sebelumnya ketika kami pertama kali bertemu hari ini. Dengan mengetahui siapa saja yang akan datang, terkaanku, akan membuatnya mudah mengira-ira bagaimana nanti dia harus menanggapi tamunya. Sementara aku adalah tamu yang tak diharapkan. Anggap saja ini sebuah kejutan. Benar, itu terlihat sangat kentara.

Rasa terkejut itu sulit dielakkannya dengan mudah. Dia menjadi sama canggungnya karena aku datang dengan terlalu berani. Aku memberitahu seorang teman yang dulu sering naik bus bersamaku, menelponnya, tetapi pekerjaan sangat menyibukkannya sepertinya, pada waktu cuti panjang ini. Empat seri deringan dan tanpa respons.

*

Lelaki berpostur tinggi itu sedang menunggu ketika aku mendorong pintu masuk kaca. Matahari pukul empat sore menjadi lighting penunjang di belakangku. Aku adalah satu-satunya yang dia temukan pertama kali, pada jadwal reuni sore ini, bertepatan dengan hari jadi sekolah. Pandangannya terhenti untuk memastikan penglihatan. Bibirnya menggumamkan namaku, sedangkan dahinya disesaki jejalan kalimat: apa benar ini dia?

Dia bergegas menyorongkan sebuah bangku yang dengan susah payah ditemukannya di antara antrean pengunjung, meletakkannya tepat di sisi kirinya, lalu duduk kembali. Lengan kemeja kelabu sengaja dia gulung semenjak aku tersenyum menyambut usahanya. Segera bangku itu kududuki sebelum pengunjung lain melihat kursi mubazir yang disia-siakan. Cerukan bangku itu sengaja dihadapkan ke arahnya, sangkaku, agar kami bisa leluasa saling menyapa.

"Kamu nggak ngasih tau dulu kalau mau ke sini,"

"Sengaja," jawabku tersenyum. Dia makin kikuk, menerap-nerapkan jam di pergelangan tangan kanannya.

Aku melirik ponsel. Pesanku pada Niar belum juga dibalas. Kubenamkan ponsel di saku setelah tak ada terlihat pesan dari teman yang kutelepon sebelumnya itu. Aku harus menghadapi ini dengan gagah berani. Sendirian.

"Kak, kalau mau foto couple, ada booth juga di sana." Seseorang bercelemek coklat menghampiri sambil menunjuk lengkung bunga-bunga di salah satu sudut lalu menyerahkan carik kertas dan pulpen. Bahkan pegawai tempat ini pun mengira kami sepasang kekasih. Lelaki itu mengangguk.

"Kita naik, ya. Sepertinya sepuluh menit lagi Adi datang. Dia masih di jalan. Kita pesan dulu," ajaknya sambil mengantongi ponsel hitam di saku kanan celana jins dan berdiri.

Aku menurut. Mengekor menaiki satu demi satu anak tangga berbatas besi hitam. Oh, lihatlah kami sekarang. Dia di ujung meja yang satu, sedangkan aku di ujung meja yang lain, duduk dengan punggung melintir. Punggung tangannya menopang dagu, memandangiku.

Adi belum juga datang. Ini sepuluh menit yang keterlaluan. Jam dinding sebesar hula hoop di sisi kiri mulai mengusik-usik. Detik-detik itu menjelma gebukan bass drum, berdentum-dentum. Jantung yang mudah terpengaruh membuat napasku makin sesak dan akan membuat suaraku tergetar pada suku kata pertama yang berhasil keluar dengan paksa.

"Aku tahu kamu bikin brand skincare."

Aku mengangguk. Berusaha tersenyum, aku menanyakan kabarnya, keluarganya. Satu lagi pertanyaan yang lebih umum untuk pertemuan yang khusus ini.

"Mereka baik. Seperti yang kamu tahu, aku punya keponakan, dan tahun ini akan bertambah lagi seorang. Kamu ingat yang pernah kutunjukkan fotonya waktu itu? Dia sudah kelas dua SD."

Aku mengangguk lagi lalu menyorongkan mulut pada sedotan. Es dan coklat, beku dan tertutup. Sepertinya aku keliru memesan minum. Tapi aku butuh sesuatu untuk membuat nyaman kerongkongan.

Dia sepertinya lebih bisa menguasai keadaan. Greentea milk disesapnya baru satu kali di awal minuman itu datang. Sementara aku membiarkan isi gelas gemuk di hadapanku mencair, seolah-olah meminta cukup jeda agar aku siap berinteraksi dengan masa kini, yang direcoki masa lalu. Dia sekarang dan dia dahulu. Aku silam dan aku di masa kini. Time flies, people change berlaku baginya mungkin, dan sepertinya tak sedemikian benar buatku.

Aku teringat sebuah kelakar, lalu melemparkannya sebagai bahan obrolan, hal yang, bahkan dia sudah tak begitu mengingatnya.

"Mungkin aku akan menikah." Dia menegakkan kepala dan punggungnya.

Aku terdongak, menahan punggung dan perutku yang teraduk. Menatapnya lurus-lurus, menunggu kalimat selanjutnya.

"Aku ingat kamu mengucapkan selamat ulang tahun. Pesan yang terlalu panjang. Aku pikir, kamu sedang membuat surat yang tidak seorang pun mampu menangkap bahwa itu sebenarnya surat cinta. Sebuah kode."

Lelaki itu melihat ke arah pintu. Terdengar seseorang melangkah menaiki anak tangga.

 "Oh, hai Nda! Kelamaan! Kami sudah pesan duluan."

"Ya, nggak apa-apa, Zan."

Sekonyong-konyong seorang teman lagi datang. Nda, yang sering menari breakdance itu sekarang lebih tirus. Dengan badan sebagus itu tentu mustahil dia menerima rundung lagi. Dia berdiri menyalami dan mereka saling menyentuhkan pipi, kiri-kanan. Aku cukup terkejut. Sedekat itu, sekarang? Sejak kapan hal semacam ini bermula, hal yang ingin aku ketahui juga. Seingatku, dia selalu bisa menahan diri dari interaksi berlebihan terhadap wanita, bahkan jika itu kawan karibnya sendiri.

Adi menyerobot masuk dan langsung duduk, tepat berseberangan denganku. Sebuah gelas dan sepiring kentang goreng di tangannya.

"Penyelinapan yang tidak terlalu sukses. Wuah, jalanan penuh. Apa karena ini masih liburan, ya? Orang-orang berebut tempat," selanya masih terengah-engah. "Sudah lama, Ta?" Aku mengangkat alisku, mengangguk.

Wanita bernama Nda itu duduk tepat di samping kanan lelaki dengan lengan kemeja tergulung itu. Mereka sekarang saling berbisik dan terkekeh. Dua orang yang dulu teman sebangku kemudian datang bergabung. Keduanya perempuan dengan riasan paling menarik. Adi mencomot kentang dan berkali-kali juga mencocol saus tomat di piring yang sama. Pembicaraan kini mengarah kepada dulu-kamu-menaksir-siapa.

"Eh, Nda, kalau aku dan dia, gimana?" wajahnya menghadap kepada Nda yang masih sibuk dengan foto-foto di ponselnya, sambil menatapku. Nda melihat kami berdua bergantian.

"Lah, emangnya kalian kenapa?"

Agak terkejut, dia menyahut, "Kamu ada kandidat nggak, Nda?" Dengan segera Nda menunjukkan beberapa pada ponselnya. Mereka berdua seperti dua orang murid sedang saling belajar rumus cepat terbaru. Aku menelan ludah, melihat piring kentang Adi, mencomotnya juga sepotong.

Agak gemas melihatku yang dulu mereka jumpai sering melucu terlihat lebih banyak diam, kedua orang di sampingku mencolek pinggang. Tertawa senang, dan berkelakar, mereka menanyakan nomor teleponku. Kami terlibat obrolan bertiga. Dua orang di ujung lain sedang sibuk dengan misi comblang-menyomblang, sedangkan Adi masih sibuk dengan kentang gorengnya. Dari sudut mata, si lelaki berkemeja kelabu mengekor pembicaraan kami. Memindai dengan sangat teliti.

"Oke, aku akan menelponmu. Tapi kenapa kabar darimu belum datang juga, Ta?"

"Hm?"

"Pernikahan! Aku ingin menjadi saksi kebahagiaanmu!"

"Tentu. Kalian juga, menikahlah!" gurauku kemudian. Lelaki berkemeja kelabu mengerling. Sebuah telepon datang.

Aku izin menyingkir dari meja dan berjalan ke sudut, duduk di samping tanaman iris yang rajin berbunga. Melewatkan perbincangan sore yang dari kejauhan terlihat lebih hidup, kuhidu dalam-dalam aroma udara, membiarkan alveolusku menukar tangkap oksigen dengan riang gembira. Aku mengenyakkan tubuh, menyela-nyela lalu lintas jalan di luar gedung dengan jari-jemari. Menengok kerai mungil yang berjuntai berjeda-jeda antara satu kerai dengan lainnya, aku tertawa-tawa dalam obrolan teleponku dan menyelesaikannya dengan perasaan lega.

*

"Lu tadi nelpon pake telpon rumah? Gue pikir kantor mana! Gue telpon balik. Mama tadi yang angkat. Buset!"

"Sori. Cuma itu yang mungkin. Aku cari pulsa di tetangga sambil berangkat tadi."

"Jir!"

"Jar, jir, jar, jir. Kamu tanam kacang panjang, apa pakai ajir?"

"Sudah ketemu? Katanya mau konfirmasi?"

"Iya."

"Dicentang, dong?"

"Nggak." Niar di sambungan seberang tergelak. "Kesimpulannya?"

"Next!" Niar berdecak. Pastilah di seberang sana sedang geleng-geleng.

"Gampang banget, Lu, move on!"

Inilah jeda itu. Kode-kode itu terjawab, tapi tidak lagi penting.***[wy]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun