Mohon tunggu...
Wening Yuniasri
Wening Yuniasri Mohon Tunggu... Guru - Pelajar kehidupan

Menulislah, maka engkau abadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terperangkap Pengunjung Tetap

7 Agustus 2024   11:35 Diperbarui: 7 Agustus 2024   11:43 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terperangkap Pengunjung Tetap

cerpen oleh: Wening Yuniasri

"Tanggal 8 ya, Mbak..."

"Eh? Oh, maaf. Tanggal 8..."

"... Ya. Terima kasih."

*

Baca juga: Pertemuan

"Kenapa tanggal 8, Pak Win?" Aku melihat rekan kerjaku itu hanya tersenyum.

*

Dia selalu datang setelah pukul tiga sore. Kadang membaca hingga hampir pukul enam, lalu dia pergi terburu-buru pada jam itu.

Baca juga: Perayaan

Suatu hari pernah kami harus membongkar banyak hal di kantor, termasuk sistem komputer kami yang melayani pengunjung. Semua catatan harus dilakukan dan direkap hari berikutnya, itu pun ada yang terlewat. Hingga kemudian setelah kegaduhan itu berakhir, ada seseorang yang mendekat ke meja kami.

"Maaf, saya kemarin meminjam ketika sistem sedang off, pinjam manual," kata seorang perempuan berkerudung biru tinta dengan bros kayu bergambar kumbang di belikat kiri, menyorongkan dua buku dalam tumpukan; sebuah memoar sejarah dan novel.

"Atas nama?"

"Wikan Saraswati"

"W, ya? Ummm ...." Aku mencari tumpukan di meja tengah, dari deretan kartu.

"Saraswati!" seru Pak Win yang bersandar pada lemari stok di belakangku melangkah mendekat. Rupanya dia memperhatikan gerak-gerik kami sejak semula. Dia lalu berdiri menjajariku dan meneliti masing-masing dari serakan kartu-kartu anggota yang ditinggalkan peminjam ketika sistem sedang maintenance sepekan lalu dan menemukannya lebih cepat. Kartu itu kemudian diserahkannya padaku dengan senyum penuh kemenangan.

"Mbak Wikan, ini sudah diproses, bukunya sudah Mbak kembalikan, tidak terlambat," kataku sambil tersenyum. Mata di sebalik kacamata berbingkai fullframe hitam-jingga itu menyipit, mengangguk dan tersenyum.

"Pak Win mengagetkan saja," gugatku dengan suara tertahan begitu peminjam barusan berpindah ke arah rak koleksi berkategori parenting.

"Iya, namanya benar Saraswati, kan, Wan?" sahutnya balik bertanya, sambil merapikan kartu-kartu anggota yang ditahan selama peminjaman dengan sistem manual, ditata menurut alfabet.

"Iya. Terima kasih. Apa setiap kali Pak Win juga akan segera ingat seperti yang tadi? Pada setiap shift? Wah, sepertinya semua orang akan terbantu," candaku.

"Untung sistem manualnya hanya sekali kemarin." Masih menunduk dengan tangan cekatan, Pak Win meresponsku.

Aku menoleh, mengernyitkan dahi, memperhatikan betapa sibuknya dia mengatur kartu-kartu itu.

"Yaaa, jadi tidak perlu mengingat lebih banyak nama lagi setelahnya. Sistem juga sudah sembuh begini, kok," sambung Pak Win kemudian.

*

Setelah itu perempuan berkerudung itu selalu terlihat datang di hari Rabu. Selalu. Kami jadi tertawa jika mengingat pernah taruhan belanja makan siang hari berikutnya, kelompok shift kami sore itu; perempuan bernama Wikan Saraswati, datang tidak hari ini. Dan sesuai nama pendeknya, Pak Win menang. Namun diurungkan saja taruhan itu lalu memilih mentraktir kami makan.

Di lain waktu kami pernah berangan-angan, kira-kira dia datang dengan warna dominan pakaian seperti apa, lalu kami taruhan lagi.

Perempuan itu datang dengan berpakaian lebih sering warna biru dengan aksen merah. Tapi Pak Win akan selalu bilang, dia dominan merah, dan tak perlu taruhan lagi.

Kami saling pandang waktu itu. Tak percaya, kami menyerbu layar CCTV demi membuktikan perkataannya, dan benarlah kiranya, sepatu dan jaket merah hati. Perempuan yang lebih sering datang sendiri itu berkunjung kembali hari Rabu, hingga Februari berakhir.

*

Sejak perbaikan gedung dan ruang parkir lantai bawah, kami tak menemukan perempuan itu. Pak Win sepertinya mulai gelisah. Entah karena tidak ada bahan yang cukup menarik untuk diperbincangkan, atau mengira perempuan yang terlihat tenang ketika menunggu antrean itu tidak lagi datang, atau ada hal darurat sehingga terlambat berhari-hari seperti peminjam lain, aku tidak tahu. Tapi suatu kali Wahyu dan Okta berkelakar, "Pak Win, padahal sudah kami minta dia datang hari Rabu, lho." Kami yang berada di kantin hari Jumat siang itu saling berkerut dahi. Wahyu dan Okta yang masuk shift siang hari Selasa tertawa-tawa. "Jadi itu yang bernama Wikan Saraswati," ledek mereka sambil tersenyum-senyum ganjil ke arah Pak Win yang sedang meneguk es jeruk.

Dodo datang menimbrung, "Iya, minggu lalu juga, aku pikir karena salah pasang stempel tanggal. Harusnya memang 7 hari, ya? Malahan aku pasang tanggal sehari sesudahnya. Hari Rabu. Eh, ketemu Mbak Wikan hari Selasa lagi."

"Dia pengunjung tetap?"

"Lebih tepatnya anggota yang berkunjung cukup rutin, paling tidak dua bulan ini."

"Sepertinya pernah datang ke sini tapi belum bisa pinjam waktu itu. Dua kali, tahun lalu. Baru tahun ini dia lebih sering muncul. Terutama setelah kukatakan kartu anggota sementaranya tidak bisa dikenali sehingga dia harus lari ke ruang informasi dan foto ulang."

"Ngerjain orang, kamu?"

"Bukan .... Nyatanya kan memang tidak bisa dikenali barcode-nya. Lagipula sekalian dia ganti kartu yang baru, kan?"

"Terus dia datang lagi ke meja kalian?"

"Iya. Tapi kenapa kalian merembuk hari Rabu melulu. Memang kenapa kalau dia datang hari Selasa?"

Aku melirik Pak Win. Tenang sekali dan khidmad dengan kegiatan makan siangnya.

*

"Pak Win minus?" tanya Dodo ketika kami rapat singkat hari Rabu pagi.

Pak Win mengangguk. "Khusus hari Rabu?" selidikku usil. Dia terlihat lebih gemuk setelah menggunakan kacamata fullframe hitam tipis.

"Kita ada pekerja baru pekan depan, teman-teman. Satpam akan ditempatkan di pintu depan, sambil mengawasi buku tamu. Banyak pengunjung yang tidak mengisi buku tamu."

"Hendrawan akan cuti dua hari. Sementara sambil melatih pekerja baru, shift siang Hendrawan baiknya, saya isi."

"Pak, penuh dong, meja kita nantinya ..."

"Gampang lah itu, nanti kalian berkeliling mengatur buku, biar saya di belakang meja."

*

Hari kedua formasi baru, hari Selasa. Ada kemungkinan anggota perpustakaan bernama Wikan akan datang setelah pukul tiga nanti. Pak Win keluar menenteng sepatu dan mematut-matut kakinya sambil menanggapi candaan Puguh, pekerja baru. Seketika mereka terdiam. Sebuah sepatu merah hati berhenti di samping kotak kayu di depan pintu kaca, memungut sebuah kantong sepatu berwarna hitam di dalamnya. Sepatu merah hati dimasukkan ke dalam kantong hitam itu untuk disangkutkan di lengannya. Dengan segera Pak Win berlalu, melintasi perempuan itu dan berdendang riang, menepuk pundak dua satpam di depan pintu masuk yang kemudian diajaknya turun ke mushala.

Seperti dugaan, dia menyorongkan dua buku dalam tumpukan; kumpulan artikel kolom dan sebuah novel untuk dikembalikan. Kemungkinan besar ia akan meminjam lagi. Sepertinya, dua buku lagi dalam tumpukan dengan kartu anggota tergolek di atasnya.

Lima menit, sepuluh menit, akhirnya Pak Win datang dengan wajah cerah setelah sembahyang Asar. Aku memberi isyarat dengan dagu, di mana perempuan berkacamata yang diperbincangkan dengan antusias itu berada. Rak koleksi berkategori sastra. Kedua tangannya diusap-usapkan, menguar wewangian darinya.

Pak Win mengambil alih kursi Gusti. Dodo yang berkeliling mengatur buku-buku mengedip-ngedipkan mata. Gusti, Ninda, Galuh, Lukman, Septian, dan Kori berdiri bersandar di lemari stok, sementara Dodo berjongkok menyortir buku yang perlu disusunnya dalam urutan. Aku duduk di samping Pak Win. Siapa tahu dia butuh bantuan, meskipun mungkin tidak juga, jika dia berhasil mengendalikan diri.

Sepertinya Wikan Saraswati hanya sebentar. Dia mengambil sebuah buku tentang menulis kreatif dan sebuah novel fenomenal yang cukup tebal; Harry Potter and the Deadly Hallows, meletakkannya dalam tumpukan, yang kemudian disambut Pak Win tanpa bertanya lagi. Biasanya dia akan bertanya, 'akan meminjam?' dengan senyum terbaiknya. Segera, kartu anggotanya disusulkan, tepat ketika itu tangan Pak Win menyambutnya. Tenang seperti biasa, kuperhatikan. Hanya saja jika melihat dia mengamat-amati jam dinding dengan agak terkejut dan menggumamkan sesuatu, tebakanku, dia sedang terburu-buru. Aku melirik Pak Win yang berulang kali meyakinkan penglihatan dengan data yang perlu dimasukkannya. Baiklah, nomor anggotanya sudah benar. Tinggal mencap tanggalnya saja. Tentu itu tak jadi soal, apalagi sudah paham betul bagaimana melakukannya dengan benar. Hari ini tanggal 30 Juli. Seminggu lagi, tentulah tanggal 7 Agustus. Sementara itu, enam orang yang berdiri di belakangku berbisik-bisik menahan suara.

"Besok tanggal 8 ya, Mbak," kata Pak Win pada peminjam bernama Wikan Saraswati itu. Aku berkerut dahi. Tanggal delapan?

"Eh? Oh, maaf. Tanggal 8. Ya. Terima kasih," jawabnya menyambut tumpukan buku dari telapak Pak Win yang berkeringat, kemudian tersenyum, dan berlalu.***[wy]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun