"Gampang lah itu, nanti kalian berkeliling mengatur buku, biar saya di belakang meja."
*
Hari kedua formasi baru, hari Selasa. Ada kemungkinan anggota perpustakaan bernama Wikan akan datang setelah pukul tiga nanti. Pak Win keluar menenteng sepatu dan mematut-matut kakinya sambil menanggapi candaan Puguh, pekerja baru. Seketika mereka terdiam. Sebuah sepatu merah hati berhenti di samping kotak kayu di depan pintu kaca, memungut sebuah kantong sepatu berwarna hitam di dalamnya. Sepatu merah hati dimasukkan ke dalam kantong hitam itu untuk disangkutkan di lengannya. Dengan segera Pak Win berlalu, melintasi perempuan itu dan berdendang riang, menepuk pundak dua satpam di depan pintu masuk yang kemudian diajaknya turun ke mushala.
Seperti dugaan, dia menyorongkan dua buku dalam tumpukan; kumpulan artikel kolom dan sebuah novel untuk dikembalikan. Kemungkinan besar ia akan meminjam lagi. Sepertinya, dua buku lagi dalam tumpukan dengan kartu anggota tergolek di atasnya.
Lima menit, sepuluh menit, akhirnya Pak Win datang dengan wajah cerah setelah sembahyang Asar. Aku memberi isyarat dengan dagu, di mana perempuan berkacamata yang diperbincangkan dengan antusias itu berada. Rak koleksi berkategori sastra. Kedua tangannya diusap-usapkan, menguar wewangian darinya.
Pak Win mengambil alih kursi Gusti. Dodo yang berkeliling mengatur buku-buku mengedip-ngedipkan mata. Gusti, Ninda, Galuh, Lukman, Septian, dan Kori berdiri bersandar di lemari stok, sementara Dodo berjongkok menyortir buku yang perlu disusunnya dalam urutan. Aku duduk di samping Pak Win. Siapa tahu dia butuh bantuan, meskipun mungkin tidak juga, jika dia berhasil mengendalikan diri.
Sepertinya Wikan Saraswati hanya sebentar. Dia mengambil sebuah buku tentang menulis kreatif dan sebuah novel fenomenal yang cukup tebal; Harry Potter and the Deadly Hallows, meletakkannya dalam tumpukan, yang kemudian disambut Pak Win tanpa bertanya lagi. Biasanya dia akan bertanya, 'akan meminjam?' dengan senyum terbaiknya. Segera, kartu anggotanya disusulkan, tepat ketika itu tangan Pak Win menyambutnya. Tenang seperti biasa, kuperhatikan. Hanya saja jika melihat dia mengamat-amati jam dinding dengan agak terkejut dan menggumamkan sesuatu, tebakanku, dia sedang terburu-buru. Aku melirik Pak Win yang berulang kali meyakinkan penglihatan dengan data yang perlu dimasukkannya. Baiklah, nomor anggotanya sudah benar. Tinggal mencap tanggalnya saja. Tentu itu tak jadi soal, apalagi sudah paham betul bagaimana melakukannya dengan benar. Hari ini tanggal 30 Juli. Seminggu lagi, tentulah tanggal 7 Agustus. Sementara itu, enam orang yang berdiri di belakangku berbisik-bisik menahan suara.
"Besok tanggal 8 ya, Mbak," kata Pak Win pada peminjam bernama Wikan Saraswati itu. Aku berkerut dahi. Tanggal delapan?
"Eh? Oh, maaf. Tanggal 8. Ya. Terima kasih," jawabnya menyambut tumpukan buku dari telapak Pak Win yang berkeringat, kemudian tersenyum, dan berlalu.***[wy]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H