Kuhela napasku. Tas punggung dekil yang baru kurencanakan untuk kucuci hari berikutnya setelah perjalanan hiking, kukemas lagi. Derit retsliting mengakhiri kecemasanku yang bertubi-tubi. Siapa lagi pencetusnya? Dialah yang merasa akan tertinggal segalanya, kawan seperjalanan yang aku berharap bisa bersabar dengannya.
"Kereta atau bus, bagusnya?"
"Kalau dik Han maunya naik bus saja, lagipula terminal dekat dengan tempat tinggalnya. Kalau naik kereta jauh juga dari rumahnya, nanti ketemu di sini juga setelah satu setengah jam."
"Kalau kita mau ikut ke sana naik bus yang sama, kita jalan ke sana juga sama, satu jam."
"Ya sudah ke stasiun saja yang lebih dekat, setengah jam ini. Paling lama 45 menit."
"Hm. Lalu siapa yang berangkat?"
"Aku sendiri karena kakiku tidak bisa diajak pergi jauh, di rumah saja. Kalian?"
"Aku ada kerjaan besok pagi, tidak bisa ditinggal. Kalau hari libur saja, bisa sepertinya, ikut."
"Bagaimana Oom?"
"Yaa, karena aku luang besok, aku ikut, tapi masa hanya sendiri?"
Aku mondar-mandir sambil mengusap wajahku dengan pelembab. Menenteng air minum, saudariku bertanya, "Kita nanti bareng, kan? Naik kereta, kan?"