Mohon tunggu...
Wenfi
Wenfi Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Susu Jahe

Menulis ditemani secangkir susu jahe manis.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menulis Gaya Online

4 Juni 2019   10:26 Diperbarui: 4 Juni 2019   10:31 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: unsplash.com

Menulis itu mudah. Siapa saja bisa. Hanya tinggal bermain kata. Tulisan jadi. Selesai. Simpel. Nggak ribet. Pun bayarannya tidak seberapa. Begitu pikir banyak orang.

Saya juga mengamininya. Dulu. Saat masih remaja. Ketika belum tahu kalau riset itu penting.

Sekarang beda. Karena harus riset tadi.

Tahapannya cari ide dulu. Cari alasan pentingnya tulisan itu dibuat. Apa yang ingin diberitahukan ke orang lain.

Setelah itu, masuk tahap brainstorming. Baca banyak referensi. Kalau bisa lihat kejadiannya secara langsung. Di tahap ini, intinya eksplorasi sebanyak-banyaknya.

Baru masuk ke teknis penulisan. Itupun dibuat garis besarnya dulu. Buat alurnya. Biar ide yang ingin disampaikan urut. Rapi. Dan semua informasi bisa tersampaikan.

Biar tidak kering, bisa digabung beberapa topik sekaligus. Tapi, cari yang ada hubungannya. Yang nyambung sama isinya.

Kemudian, baru menulis konten. Sesuai garis besar yang sudah dibuat tadi. Kalaupun ada ide di tengah jalan, bisa diimprove. Yang penting alurnya tetap sama. Rapi.

Ketika menulis di media online seperti ini pun ada aturannya. Yang menabrak kaidah penulisan bahasa Indonesia. Yang saya pelajari sejak SD itu.

Pertama: satu paragraf maksimal hanya 4 baris (versi web). Kalau bisa cukup 3 baris saja. Biar mata tidak mudah lelah. Dan tulisannya mudah diikuti.

Kedua: pakai rata kiri. Jangan pakai rata kanan-kiri. Tujuannya: biar enak dibaca. Coba Anda buat rata kanan-kiri. Bandingkan dengan yang rata kiri. Pasti beda.

Ketiga: to the point! Bukan berarti langsung masuk ke topik utama. Bukan. Tapi topiknya dipadatkan. Tidak perlu bertele-tele. Biar paragrafnya berisi. Cepat dimengerti.

Tujuannya: agar yang mau baca skimming jadi susah. Karena setiap paragraf ada informasi penting.

Keempat: panjang artikel maksimal 700 kata. Kecuali untuk tutorial atau sejenisnya. Dibedakan. Kalau tulisan untuk tutorial dan ulasan tertentu memang bagusnya lebih dari 1000 kata. Karena analisisnya dalam.Juga pakai heading.

Itu tadi tips secara teknis.

Sedang tips esensialnya seperti ini:

Pertama: buat alur yang rapi. Agar tiap topik yang mau disampaikan nyambung. Misal tulisan saya soal Dijodohkan dengan Sepupu Sendiri. Di situ, saya coba menghubungkan perjodohan itu dengan Kartini.

Keduanya sama-sama punya istilah: dijodohkan. Jadilah saya gunakan kata itu sebagai penghubung.

Kedua: edukatif. Ini bagian paling penting. Harus ada informasi berharga yang ditulis. Informasi baru dan penting.

Karena itulah tujuan kita menulis. Juga alasan mereka mau membaca tulisan kita.

Itulah pentingnya menentukan inti tulisan di awal. Juga riset dan eksplorasi. Biar jadi pembeda dengan tulisan lainnya.

Ketiga: buat awalan yang menarik minat. Buat first impression yang bagus. Juga jangan lupa buat closing statement yang jitu. Yang klimaks. Atau anti klimaks.

Keempat: gaya tulisan. Ini juga menentukan. Yang jadi pembeda antara penulis satu dengan yang lain.

Secara umum, buat tulisan yang tidak baku. Dengan bahasa sehari-hari. Seperti orang bicara. Itu akan lebih menarik. Apalagi bisa diulas dengan detail.

Buat pembaca bisa membayangkan apa yang kita maksud.

Secara umum seperti itu.

Saya juga masih belajar. Belum ketemu formula yang cocok.

Waktu saya belajar content marketing, yang dibahas memang bagaimana menulis di media online. Tapi yang diulas berbeda. Karena tujuannya adalah mendapatkan orderan.

Topiknya pun beda. Biasanya berupa tutorial. Ataupun ulasan produk dan informasi seputar produk.

Misalnya produk alat outdoor. Tulisannya di blognya pasti seputar outdoor. Entah itu tips ketika naik gunung. Sampai review produk yang bagus.

Sedang tulisan untuk artikel jauh berbeda. Bahasannya lebih luas. Biasanya berupa opini. Dan perbedaan teknisnya: tanpa heading.

Tantangan keduanya pun berbeda. Satu untuk branding produk. Sedang yang satu untuk branding personal. (wendra)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun