Mohon tunggu...
wenny prihandina
wenny prihandina Mohon Tunggu... Administrasi - penerjemah

tertarik pada rasa kata dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Pengalaman Tes CPNS: Baju Minjam, Anak Demam

15 November 2019   10:12 Diperbarui: 15 November 2019   10:46 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bismillahirrohmanirrohiim...

Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun lalu begitu berkesan. Inilah kali pertamaku mengikuti tes itu. Aku menghabiskan banyak waktu untuk memutuskan, apakah akan mengikuti tes itu atau tidak. Sesungguhnya aku tidak terlalu berminat menjadi PNS.

Tapi aku teringat papa rahimahullah. Semasa hidup, papa tak lelah memintaku menjadi PNS. Terlebih setelah aku lepas dari pekerjaan lamaku sebagai karyawan swasta. Mulai dari alasan tak suka hingga tak ada formasi pernah kusodorkan.

Kuakui, ketika aku melewatkan satu kesempatan tes CPNS, ada rasa sesal di dada. Ketika itu, satu formasi di Imigrasi membutuhkan jurusanku. Aku berniat mendaftar. Namun, ada panggilan dari Semarang. Aku harus segera pulang. Kesempatan itupun terbang.

Semakin menyesal ketika kontrak kerja suami tak diperpanjang. Sempurna sudah kami berdua menjadi pengangguran. Tak ada pekerjaan tetap yang berarti tak ada penghasilan tetap. Kami bergantung pada kebaikan hati orang tua yang masih mau memberikan subsidi.

Ikhlas saja. Pasti ada gantinya.

Beberapa bulan setelah kepulanganku ke Selatpanjang, dengan seorang bayi,  pembukaan seleksi CPNS diumumkan. Yang kami tahu, formasi yang membutuhkan jurusan suami ada di Pekanbaru. Aku dukung bila ia memang mau pergi ke Pekanbaru.

Beberapa hari setelah itu, muncullah pengumuman dari Pemerintah Daerah setempat. Ada formasi untuk jurusannya. Dan sekaligus jurusanku. Suami mendorongku untuk ikut.

"Sampai kapan mau disubsidi terus?"

Pertanyaan itu menggema dalam ruang pikirku. Aku pun bertekad ikut seleksi CPNS. Melakukan yang sebaik-baiknya karena aku tahu, kalau tak lulus tahun itu, aku akan malas-malasan ikut tes di tahun-tahun berikutnya.

...


Malam itu, Abdillah sudah tidur. Aku masih berkutat dengan gawai dan buku notesku. Belajar.

"Kemaskan baju, Dek," kata Suami.

Ia hendak pergi ke Tanjung Balai Karimun keesokan harinya. Ada kunjungan ke perusahaan BUMN bersama kawan-kawan organisasinya.

"Turunkan aja baju-bajunya," jawabku.

Aku malas, sebenarnya, mengemaskan bajunya. Berkali-kali aku memintanya untuk tak pergi. Abdillah sedang tak enak badan. Ada gejala flu, sepertinya.

Besok pun hari penting bagiku. Besok adalah jadwal tes pertamaku. Seleksi Kompetensi Dasar (SKD). Okelah kalau dia sudah melaluinya dan dia gagal tapi setidaknya dia bisa mendukungku.

"Adek pasti bisa," katanya melihat semangatku yang surut.

Keesokan harinya, ia tetap pergi. Jadwal tesku pukul 10.00 WIB. Abdillah berhasil kutidurkan sebelum jam itu. Badannya agak hangat. Aku hanya berdoa supaya ia tak rewel hingga aku pulang kembali ke rumah.

Aku segera bersiap-siap. Mandi. Menunaikan salat dua rakaat. Lalu berganti baju.

Kemeja putih yang kupakai itu punya suami. Ia memakainya lebih dulu, dua hari sebelumnya. Sementara rok hitam itu pinjaman dari kawan.

Aku belum punya banyak kawan di Selatpanjang. Untunglah, ketika aku meminjam, dia ada. Dan baik hatinya dia, rok itu tak ditanya-tanya sampai pelaksanaan tes selesai.

"Roknya itu kupakai kalau ada acara di tempat suami. Sekarang belum ada acara," katanya.

Kukenakan sepatu sandalku. Memang tak menutupi semua telapak kakiku. Tapi kalau aku pakai kaos kaki hitam, tentu tak ada yang tahu kalau ini bukan sepatu. Toh, rok yang kupakai panjang.

Aku berjalan ke lokasi tes. Beruntung, jarak antara rumah dan gedung tes tidak jauh. Aku bisa berjalan kaki.

Sampai di sana, jantungku berdegup kencang. Apa yang harus kulakukan sekarang. Belajar lagi? Belajar apa? Ada yang kurang tak ya? Aku memeriksa kembali KTP dan kartu ujian yang sudah kupersiapkan dari rumah. Aku melihat sekeliling.

Suami bilang, selama tes berlangsung, keluarga, kawan, atau orang lain bisa melihat aktivitas tes kita. Ada televisi besar yang dipasang di area tunggu. Di layar itu tertera seluruh nama peserta tes dan nilainya. Nama-nama itu bergerak naik turun mengikuti nilai tes yang terus bertambah.

Begitu selesai tes, semua orang akan tahu kita lulus atau tidak - melalui layar itu. Di hari berikutnya, hasil tes dipajang di dinding-dinding di ruang tunggu. Jadi, hari itu pun aku bisa melihat hasil nilai peserta yang tes di hari-hari sebelumnya. Dan kenyataannya, hanya sedikit sekali yang berhasil lulus. Fakta itu membebaniku. Begitu sulitnyakah soal tes CPNS ini?

Ruang tes berada di lantai dua. Aku berjalan menaiki tangga dengan hati yang berdegup kencang. Semua barang yang kubawa ditinggal di bawah. Yang boleh dibawa hanya badan, KTP, dan Kartu Ujian. Kertas buram dan pensil diberikan di dalam dan tidak boleh dibawa pulang.

Ada pemeriksaan di pintu masuk ruangan. Bahkan ada pintu sensor - seperti yang ada di bandara di sana. Aku waswas, khawatir sepatu sandalku ketahuan dan aku diminta pulang.

Alhamdulillah lolos dan aku mengisi tempat duduk yang masih kosong. Di depanku ada layar komputer all in one berwarna putih. Tempat duduk di samping kanan-kiriku segera terisi. Ruangan itu segera penuh.

Petugas dari BKN Regional Pekanbaru memberi petunjuk pelaksanaan tes. Aku merapal ayat kursi berkali-kali karena aku takut berpikir yang lain-lain yang mungkin bisa membuyarkan konsentrasiku. Aku berkata pada diriku sendiri - yang juga kutembuskan pada Ilahi, "Tak perlu skor besar, yang penting lewat ambang batas."

Dengan bismillah, kumulai mengerjakan tes itu. Bersisa sedikit dari waktu yang diberikan, aku mantap menutup sesi tes. Begitu sesi itu ditutup, aku akan langsung tahu nilaiku. Apakah aku lulus atau tidak.

Tap. Kuketuk tetikusku. Dan...

"SELAMAT, ANDA LULUS!"

Waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah... Gegap gempita rasa di dada.

"Wah, lulus ya. Selamat ya," kata pria di sebelah.

Aku menganggukkan kepala. Ada rasa membuncah di dada. Alhamdulillah.

Kukabarkan ini pada suami. Balasannya lama sekali. Bahkan baru sampai saat petang hari. Katanya, "Abah yakin kalau adek lulus. Kawan-kawan yang di sini juga yakin adek lulus."

Aku pulang dengan rasa haru yang tak terkira. Sampai di rumah, mamak mertua tengah menggendong Abdillah. Abdillah nampak kecil sekali di pelukannya. Rambutnya basah. Di keningnya ada jejak serpihan dedaunan hijau. Matanya merah, sembab. Ada ingus keluar dari hidungnya.

"Demam dia, Wen," kata mamak begitu melihatku datang.

Aku mencium tangan mamak.

"Alhamdulillah Wenny lulus, Mak," kataku.

Mata mamak langsung berkaca-kaca. Ia mencium keningku. Itulah pertama kali mamak menciumku sejak aku menjadi menantunya.

"Alhamdulillah ya, Nak," ucapnya.

Aku segera berganti baju dan mengambil Abdillah dari gendongannya. Lalu rebah di kasur untuk menyusuinya. Alhamdulillah, tes pertama ini selesai dilalui. Namun, jalan masih panjang. Masih ada banyak tahapan lagi yang harus ditapaki. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun