Mohon tunggu...
wenny prihandina
wenny prihandina Mohon Tunggu... Administrasi - penerjemah

tertarik pada rasa kata dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Optimalisasi Peran LPSK dalam Kasus Kekerasan Terhadap Anak

16 November 2018   02:46 Diperbarui: 16 November 2018   20:35 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya mengambil ponsel dan mencari-cari nama seseorang dalam kontak telepon. Memencet tombol dial dan menunggu suara dari seberang. Lama sudah bunyi tut terdengar sampai kemudian ada suara yang menyahut. Setelah basa-basi bertanya kabar sejenak, saya beralih ke pertanyaan utama,

"Gimana perkembangannya, Pak?"

"Mmm," sahutnya, "Tak usah dilanjutkan ya."

Saya penasaran, 'Kenapa tak dilanjutkan?'

"Keluarga tak mau melanjutkan. Katanya, sudah mengambil jalan damai. Tapi menurut saya ada ancaman," jawab Pak Pengacara.

Nah, loh! Ancaman?!

Pak Pengacara lalu mengatakan, keluarga sudah bertemu dengan si pelaku. Singkat cerita, mereka sepakat tak melanjutkan kasusnya ke meja hukum. Case closed.

***

Kasus yang saya ceritakan di atas adalah kasus kekerasan seksual pada anak laki-laki. Kasus itu menjadi tugas liputan saya ketika masih menjadi jurnalis di Batam tiga tahun lalu.

Ketika itu, Pak Pengacara mengaku belum membuat laporan hukum. Ia berencana melakukannya setelah ada 'backing' yang kuat dari masyarakat sembari menunggu hasil visum keluar. Lewat pemberitaan, ia semacam ingin menghimpun kekuatan. Sebab, sang pelaku kekerasan adalah aparat penegak hukum. Korbannya sudah lebih dari lima anak.

Glek. Saya menelan ludah.

Di Batam, kasus kekerasan terhadap anak - terutama kekerasan seksual, acapkali terjadi. Namun, banyak saksi atau korban yang enggan bercerita. Kalau kemudian ada yang berniat membuka diri, tentulah harus disambut dengan tangan terbuka.

Dengan berpegang pada kode etik jurnalistik, kami memberitakan pengalaman memilukan itu. Kami menyembunyikan identitas anak sebagai korban, keluarga, hingga sekolah sang anak. Kami juga memuat pendapat pihak-pihak terkait atas kasus tersebut.

Perkembangan berita terus kami buat di hari-hari berikutnya. Pak Pengacara bilang, ada keluarga dari anak laki-laki lain yang menjadi korban, yang bersedia membagikan kisahnya. Kami sangat menunggu saat-saat itu karena semakin banyak korban berbagi kisah, pelaku akan semakin mudah dijerat.

Namun, sayang, keluarga yang menjadi klien Pak Pengacara mendadak berbalik arah. Ia menolak wawancara lagi. Ia bahkan memberhentikan Pak Pengacara. Katanya, sudah ada jalan damai. Siapa yang berdamai? Apakah mudah bagi korban untuk berdamai dengan masa lalunya?

**Kalau saja, keluarga korban mengenal LPSK, saat itu, mungkin akan lain ceritanya. LPSK - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban memiliki daya untuk melindungi saksi dan korban dari segala bentuk upaya pembungkaman. Seperti, dugaan ancaman itu.

Untuk kasus kekerasan terhadap anak, LPSKmelayani sepenuh hati. Kasus itu kasus prioritas. Ini sejalan dengan misi Pemerintah membebaskan anak Indonesia dari kekerasan di tahun 2030 nanti.

Kekerasan terhadap anak, menurut Konvensi tentang Hak Anak (disetujui oleh Majelis Umum PBB, 20 November 1989), mencakup semua bentuk kekerasan fisik atau mental, luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa, perlakuan buruk atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seks selama dalam pengasuhan (para) orang tua, wali hukum, atau orang lain manapun yang memiliki tanggung jawab pengasuhan anak.

Survei Kekerasan Terhadap Anak (SKTA) tahun 2013 menunjukkan prevalensi yang mencengangkan untuk anak yang menjadi korban kekerasan. Baik itu kekerasan fisik, seksual, maupun emosional.

Survei hasil kerjasama Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik, dan UNICEF Indonesia itu menunjukkan, 1 dari 2 anak laki-laki atau sebanyak 7.061.946 anak laki-laki (47,74%) pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan - kekerasan fisik, seksual, dan emosional. Sementara untuk anak perempuan, jumlahnya lebih kurang saja. Yakni, 1 dari 3 anak perempuan atau sebanyak 2.603.770 anak perempuan (17,98%)  pernah mengalami kekerasan.

Mengerucutkan fokus pada kekerasan seksual terhadap anak, angka kejadiannya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Bu Menteri PPPA, Yohana Yambise mengatakan, 'gunung es' itu mulai mencair. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, ada 2.726 kasus pelanggaran terhadap hak anak di tahun 2017 lalu, 58%-nya adalah kasus kekerasan seksual.

Hingga pertengahan tahun 2018, setidaknya ada 965 kasus pelanggaran hak anak. Kasus kekerasan seksual masih saja mengambil porsi setengahnya, atau lebih tepatnya, 52% dari jumlah kasus keseluruhan.

Banyak! Namun, diperkirakan, masih banyak lagi yang belum terungkap apalagi sampai menyentuh meja hukum. Ini terbukti dari permohonan kasus yang diterima LPSK (sebab syarat utama perlindungan LPSK adalah pelaporan kasus ke kepolisian atau kejaksaan).

Tahun lalu, LPSK menerima 111 permohonan perlindungan untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak. Angka ini tidak sampai 10% dari jumlah kasus yang terjadi menurut data Komnas Perlindungan Anak. Namun demikian, pelayanan yang LPSK berikan untuk saksi maupun korban pada kasus kekerasan seksual terhadap anak itu mencapai 347 pelayanan. Ini karena jumlah korban dalam satu kasus seringkali tidak hanya satu.

***

LPSK mensyaratkan salinan tanda penerimaan laporan di kepolisian atau kejaksaan dalam pengajuan permohonan perlindungan saksi dan/atau korban. Syarat itu seperti menjadi pagar pembatas bagi anak korban kekerasan seksual untuk bisa menyentuh LPSK. 

Padahal ada banyak faktor yang mendasari anak korban kekerasan seksual untuk tidak melapor - atau bahkan untuk menceritakan pengalamannya. Anak-anak itu terkadang tidak mengerti dirinya menjadi korban. Ia sulit memercayai orang lain sehingga merahasiakan kejadian kekerasan seksual tersebut.

Ia merasa terancam akan mengalami hal yang lebih buruk jika melapor. Ia merasa malu untuk menceritakan peristiwa tersebut. Ada juga yang merasa bahwa kejadian kekerasan seksual itu terjadi karena kesalahan dirinya dan ia merasa telah mempermalukan nama keluarga.

Alangkah eloknya apabila kasus kekerasan seksual terhadap anak, atau segala bentuk kasus kekerasan terhadap anak, ini mendapat pengecualian dari LPSK. Yakni, kasus tersebut tidak perlu dilaporkan ke kepolisian atau kejaksaan.

Seperti kasus yang saya ceritakan di atas. Keluarga korban tentu akan berpikir dua kali untuk melaporkan kasus tersebut ke pihak berwajib sebab pelakunya adalah salah satu anggota mereka.

LPSK mungkin dapat mempertimbangkan dampak kekerasan pada anak untuk 'pengecualian' itu. Dampak itu bisa berupa dampak emosional dan fisik. Dampak emosional itu seperti stress, depresi, goncangan jiwa, adanya perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, rasa takut berhubungan dengan orang lain, bayangan kejadian saat anak menerima kekerasan seksual, mimpi buruk, dan insomnia. Selain itu rasa takut akan hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan - termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri, dan keluhan somatik juga menjadi dampak emosional pada korban.

Secara fisik, korban dapat mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, rasa tidak nyaman di alat genital, beresiko tertular penyakit menular seksual, luka di tubuh akibat perkosaan dengan kekerasan, ataupun kehamilan yang tidak diinginkan.

Kekerasan seksual adalah kejadian traumatis yang dapat membayangi kehidupan anak hingga ia dewasa. Weber dan Smith (dalam Outcomes of Child Sexual Abuse as Predictors of laters Sexual Victimization 2010) mengungkapkan, anak yang mengalami kekerasan seksual di masa kanak-kanak memiliki potensi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual di kemudian hari.

LPSK mungkin dapat berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Perlindungan Anak, dan juga media untuk menjemput bola melindungi anak sebagai saksi dan/atau anak sebagai korban kasus kekerasan seksual yang belum melaporkan kasusnya.

Saran ini saya ungkapkan karena sebentar lagi  LPSK akan berganti era kepemimpinan. Semoga di era yang baru, LPSK dapat memberikan akses 'pengecualian' untuk kasus kekerasan terhadap anak.

Tahun ini menjadi tahun ke-10 LPSK berdiri. Sepuluh tahun sudah LPSK menyendiri di ibukota. Mungkin, inilah saatnya LPSK membuka kantor perwakilan di daerah-daerah. Sebab kasus tak hanya terjadi di pusat negeri. Saksi dan/atau korban di daerah selama ini harus melalui jalan panjang untuk bisa meminta perlindungan LPSK.

Ada wacana, LPSK akan membuka perwakilan di 12 provinsi. Salah satunya, di Kepulauan Riau. Di situlah Batam berada. Ini langkah yang baik sekali dan saya akan menjadi salah satu orang yang menunggu wacana itu terwujud. [w]

Referensi:

- www.lpsk.go.id

- www.hukumonline.com

- www.tribunjogja.com

- www.tribunmanado.com

- www.megapolitan.kompas.com

- www.metrotvnews.com

- Konvensi Hak-hak Anak

- SKTA 2013

- Jurnal Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun