Mohon tunggu...
wenny prihandina
wenny prihandina Mohon Tunggu... Administrasi - penerjemah

tertarik pada rasa kata dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Optimalisasi Peran LPSK dalam Kasus Kekerasan Terhadap Anak

16 November 2018   02:46 Diperbarui: 16 November 2018   20:35 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak! Namun, diperkirakan, masih banyak lagi yang belum terungkap apalagi sampai menyentuh meja hukum. Ini terbukti dari permohonan kasus yang diterima LPSK (sebab syarat utama perlindungan LPSK adalah pelaporan kasus ke kepolisian atau kejaksaan).

Tahun lalu, LPSK menerima 111 permohonan perlindungan untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak. Angka ini tidak sampai 10% dari jumlah kasus yang terjadi menurut data Komnas Perlindungan Anak. Namun demikian, pelayanan yang LPSK berikan untuk saksi maupun korban pada kasus kekerasan seksual terhadap anak itu mencapai 347 pelayanan. Ini karena jumlah korban dalam satu kasus seringkali tidak hanya satu.

***

LPSK mensyaratkan salinan tanda penerimaan laporan di kepolisian atau kejaksaan dalam pengajuan permohonan perlindungan saksi dan/atau korban. Syarat itu seperti menjadi pagar pembatas bagi anak korban kekerasan seksual untuk bisa menyentuh LPSK. 

Padahal ada banyak faktor yang mendasari anak korban kekerasan seksual untuk tidak melapor - atau bahkan untuk menceritakan pengalamannya. Anak-anak itu terkadang tidak mengerti dirinya menjadi korban. Ia sulit memercayai orang lain sehingga merahasiakan kejadian kekerasan seksual tersebut.

Ia merasa terancam akan mengalami hal yang lebih buruk jika melapor. Ia merasa malu untuk menceritakan peristiwa tersebut. Ada juga yang merasa bahwa kejadian kekerasan seksual itu terjadi karena kesalahan dirinya dan ia merasa telah mempermalukan nama keluarga.

Alangkah eloknya apabila kasus kekerasan seksual terhadap anak, atau segala bentuk kasus kekerasan terhadap anak, ini mendapat pengecualian dari LPSK. Yakni, kasus tersebut tidak perlu dilaporkan ke kepolisian atau kejaksaan.

Seperti kasus yang saya ceritakan di atas. Keluarga korban tentu akan berpikir dua kali untuk melaporkan kasus tersebut ke pihak berwajib sebab pelakunya adalah salah satu anggota mereka.

LPSK mungkin dapat mempertimbangkan dampak kekerasan pada anak untuk 'pengecualian' itu. Dampak itu bisa berupa dampak emosional dan fisik. Dampak emosional itu seperti stress, depresi, goncangan jiwa, adanya perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, rasa takut berhubungan dengan orang lain, bayangan kejadian saat anak menerima kekerasan seksual, mimpi buruk, dan insomnia. Selain itu rasa takut akan hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan - termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri, dan keluhan somatik juga menjadi dampak emosional pada korban.

Secara fisik, korban dapat mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, rasa tidak nyaman di alat genital, beresiko tertular penyakit menular seksual, luka di tubuh akibat perkosaan dengan kekerasan, ataupun kehamilan yang tidak diinginkan.

Kekerasan seksual adalah kejadian traumatis yang dapat membayangi kehidupan anak hingga ia dewasa. Weber dan Smith (dalam Outcomes of Child Sexual Abuse as Predictors of laters Sexual Victimization 2010) mengungkapkan, anak yang mengalami kekerasan seksual di masa kanak-kanak memiliki potensi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual di kemudian hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun