Terlambat. Tetapi setidaknya ada sesuatu yang dilakukan secara signifikan. Beberapa contoh keberhasilan ini bisa kita lihat dari progres yang ada di New Zealand dan Australia. Mereka termasuk salah dua negara yang 'sukses' menahan laju pergerakan Covid-19 hingga kemudian pemerintah kedua negara ini mulai perlahan 'melonggarkan' pergerakan penduduknya.
Krisis kepemimpinan ini juga tidak luput dari apa yang terjadi di Indonesia. Pada awal ketika wabah ini merebak di Wuhan, China, mestinya pemerintah kita sudah harus selangkah lebih maju untuk membendung laju serangannya ke Indonesia. Namun itu tidak dilakukan. Pemerintah kita justru membuka peluang masuknya virus ke Indonesia semakin lebih besar. Salah satunya yaitu melalui promosi wisata dengan fasilitas diskon dan sebagainya.Â
Untuk urusan ekonomi, menurut saya hal ini tidak salah, tetapi sedikit tidak tepat. Kenapa demikian? Ya, pertama, wabah corona sudah menjadi sangat 'menakutkan' di Wuhan. Mestinya pada saat itu, pemerintah mencari informasi dan mempelajari dulu seperti apa karakter dari wabah tersebut sebelum mengambil keputusan terus membuka akses keluar masuknya orang ke Indonesia. Ini bisa terlihat dari beberapa statement yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yang awalnya boleh dibilang sedikit 'meremehkan' ancaman virus corona. Misalnya, 'corona itu hanya flu biasa'.
Kedua, ketika sejak terjadi kasus corona di Indonesia hingga saat ini, model risk communication kita masih dipertanyakan. Antara lembaga di lingkungan pemerintahan terkesan tidak searah. Belum lagi juga terlihat tidak sejalannya arah kebijakan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Kebijakan yang diambil terkesan tidak dalam satu koridor atau semangat yang sama.Â
Banyak kasus bisa kita lihat di lapangan. Misalnya, ada daerah yang melakukan lockdown tanpa mengikuti arahan pemerintah pusat. Penerapan kebijakan yang berubah-ubah atau menimbulkan tafsir yang berbeda-beda. Bahkan membingungkan dan sebagainya. Ketiga, mestinya pada titik ini, pemerintah Indonesia seharusnya belajar dari proses penangan bencana Tsunami Aceh, 2004 silam.Â
Pada awalnya dalam penanganan bencana Tsunami Aceh, juga diawali dengan krisis kepemimpinan dan risk communication yang bermasalah. Namun, perlahan situasi tersebut dapat teratasi dengan baik. Artinya, jika saya pemerintah Indonesia mau belajar dan tidak melupakan pembelajaran penting dari setiap peristiwa bencana, mestinya hal-hal seperti ini tidak akan terulang lagi dikemudian hari.
Pun demikian, harus kita akui bahwa ternyata dengan adanya pandemi Covid-19, bisa disimpulkan bahwa para pemimpin di dunia saat ini 'belum' memiliki sense kepemimpinan yang kuat dalam situasi emergensi. Bila diperlukan, perlu ada pelatihan khusus bagi pemimpin-pemimpin di dunia atau calon-calon pemimpin tentang leadership in emergency responses.Â
Alasan sederhananya, biar mereka juga memiliki kapasitas memimpin suatu negara tidak hanya dalam kondisi normal, tetapi juga dalam situasi chaos atau emergency.
Aksi-aksi Solidaritas
Pandemi Covid-19 juga mengajari kita akan pentingnya sebuah nilai solidaritas. Serangan virus corona ini tidak mengenal status atau golongan seseorang.Â
Semua kita punya potensi yang sama untuk menjadi korbannya. Sebagaimana disampaikan di atas, bahwa corona bukan hanya menyebabkan kematian, tetapi juga berdampak ke masalah-masalah sosial ekonomi lainnya. Hal inilah yang kemudian memicu semakin tingginya aksi solidaritas antar sesama.
Di berbagai negara, dukungan kepada tenaga medis dan keluarganya sangat luar biasa. Mereka dianggap pahlawan dalam 'peperangan' ini. Tidak heran, ketika kasus corona di Wuhan, China, mulai terkendali, semua orang pada keluar dan memberikan penghormatan bahkan sambil meneteskan air mata sebagai tanda terima kasih mereka terhadap dedikasi paramedis dalam melawan wabah tersebut. Para tenaga medis dari China dan Kuba yang datang ke Italia untuk membantu penangan kasus corona di negara tersebut disambut seperti seorang prajurit yang memenangkan perang di medan pertempuran.