Beda banget ya dengan moto orang Indonesia, mangan ora mangan sing penting ngumpul atau banyak anak banyak rejeki. Beda dengan kehidupan di sini, dimana semua serba diperhitungkan, berapa biaya makan, sekolah, rumah, dan ketebelece lainnya yang mengakibatkan mereka selalu menunda untuk berkeluarga sampai penghasilannya dirasa mencukupi.Â
Alasan lain adalah susah mencari pasangan hidup dan ada juga yang gak perlu pasangan hidup! Oalaahhhh..., memang benar sih beda dengan Indonesia yang orang-orangnya rame dan heboh, suka ngejodoh-jodohin anak-anaknya, saling ngenalin teman-temannya yang jomblo, pokoknya kalau urusan percintaan dan nyari pasangan hidup wahh Jepang kalau jauh deh trik-triknya dengan Indonesia hahahaha!Â
Anak-anak muda Jepang bilang kalau mereka kesulitan mencari pacar, lalu males dan akhir-akhirnya menunda sampai kemudian give up, nyerah dan memutuskan untuk hidup melajang saja.Â
Lihat untaian tali begini, ya gimana nggak banyak yang berpikir begitu, wong orang Jepang gila kerja sih! Berangkat pagi, pulang tengah malem, sabtu minggu tidur istirahat, gak ada waktu untuk mikir cari pacar.Â
Bagi wanita bekerja, umur yang semakin bertambah membuat mereka juga malas untuk mencari pasangan hidup, pekerjaan yang bagus membuat mereka pun menetapkan kriteria yang tinggi (terutama penghasilan) dalam memilih pasangannya, sedangkan pria dengan kehidupan mapan dan gaji yang besar rata-rata sudah berumah tangga, jadilah mereka akan nyerah dan terus melajang karena dirasa walau mereka melajang toh semua kebutuhan sudah bisa dipenuhinya sendiri.Â
3. Trauma dalam pernikahan
Dari kisah yang saya lihat di TV, Kodokushi, kisah mayat yang baru ditemukan setelah beberapa bulan itu adalah mayat seorang bapak yang berstatus duda yang ternyata mempunyai penyakit jantung.Â
Dulu pernah menikah dan bahkan mempunyai anak yang sudah besar. Namun sayangnya, bapak ini tidak pernah berkomunikasi dengan keluarganya karena tinggalnya memang berjauhan. Saya suka heran, duh kok begini lonely sekali ya kehidupan manula di Jepang. Sepi sekali, bahkan dengan keluarganya sendiri pun tidak ada komunikasi.Â
Dalam acara di TV itu disebutkan kasus kodokushi ini, rata-rata menimpa orang berusia 50 tahun ke atas. Ada yang statusnya masih lajang/single/ tidak menikah dan ada juga yang statusnya cerai.Â
Trauma dalam pernikahan dan akhirnya memilih hidup sendiri daripada menikah lagi, dan kehidupan ini mewarnai kehidupan para manula di Jepang. Yang pada akhirnya fenomena kodokushi, meninggal dalam kesendirian pun kasusnya semakin meningkat dan mengkhawatirkan.Â
Saya sempat tanya ke Otousan mengenai kodokushi yang katanya banyak terjadi di apartemennya itu, "Otousan, gimana caranya tahu sih ada mayat di dalam apartemen?"