Dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%) artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat. Pada masa-masa "normal", perempuan di Indonesia sudah mengalami tingkat kekerasan yang tinggi.
Hukum yang berlaku di Indonesia tidak mengakui definisi dan kompleksitas kekerasan seksual. Misalnya, KUHP hanya mengakui penetrasi paksa penis ke dalam vagina wanita sebagai pemerkosaan. Undang-undang tidak mengakui bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya termasuk pelecehan seksual. Inilah salah satu alasan mengapa UU tindak pidana kekerasan seksual sangat penting untuk meningkatkan perlindungan perempuan di seluruh negeri.
Jika ada "kesulitan", pembuat undang-undang harus melihat masyarakat, terutama pada perempuan yang telah bertahun-tahun menunggu dengan sia-sia agar RUU itu disahkan, bersama dengan kesulitan  yang dihadapi oleh para penyintas pelecehan seksual dan keluarga mereka.
Baca: Kapan Kekerasan terhadap Perempuan akan Berakhir?
Pembahasan RUU antara Komisi VIII DPR dan pemerintah sudah berlangsung sejak tahun 2019. Dari proses perencanaan awal sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, RUU tersebut resmi masuk dalam daftar prioritas Prolegnas tahun 2017. Dalam rapat paripurna diputuskan RUU tersebut akan dibahas di Baleg yang menyepakati bahwa isi RUU itu penting dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap kekerasan seksual.
Sebagai proses legislasi normal sebuah undang-undang, DPR kemudian mengirimkan RUU tersebut kepada Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Melalui surat presiden, tertanggal 2 Juni 2017, Presiden menugaskan perempuan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, kesehatan, sosial, reformasi administrasi dan birokrasi, hukum dan hak asasi manusia, serta menteri dalam negeri, baik secara perseorangan maupun kelompok, untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut. Segera setelah itu, pada Juni 2017, pemerintah mengajukan daftar inventaris masalah sebagai dokumen pendamping RUU untuk pembahasan lebih lanjut.
Setelah jeda yang lama, pada Agustus 2019 pembahasan RUU dimulai. Selama periode itu, dari 2017 hingga 2019 ribuan korban kekerasan seksual ditolak keadilan dan haknya, sementara upaya pencegahan dan penegakan hukum terhenti.
RUU tersebut kemudian dialihkan dari Baleg ke Komisi VIII. Ada beberapa kali rapat pembahasan antara pemerintah dan Komisi VIII, hingga akhirnya diputuskan RUU tersebut tidak bisa disahkan. Sebagai oposisi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menentangnya, dengan alasan bahwa RUU tersebut mempromosikan legalisasi perzinahan dan orientasi seksual lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT), meskipun RUU tersebut sama sekali tidak menyebutkan masalah LGBT.
Menariknya, meski dengan minimnya perwakilan dalam panitia kerja (Panja) RUU tersebut, yang hanya terdiri dari seorang wakil ketua dan satu anggota, di antara 26 anggota Panja, kekuatan pengaruh PKS terhadap anggota Panja lainnya dapat dilihat tanpa "kesulitan".
Sungguh masa yang "sulit" bagi masyarakat yang memperjuangkan RUU tersebut, terutama para korban. Selain itu, juga terjadi kesimpangsiuran mengenai apakah RUU tersebut akan diteruskan sebagaimana diatur dalam Pasal 71 Perubahan Tahun 2019 atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Sayangnya, pasal ini tidak mengatur secara jelas teknis pelaksanaan RUU tersebut. Masyarakat pendukung RUU ini harus menghadapi "kesulitan" lagi.
Dapat diartikan bahwa proses musyawarah harus dimulai lagi dari nol. Apakah DPR akan menggunakan kembali RUU versi 2017 atau mengusulkan RUU yang baru? Ini tetap tidak jelas. Hal lain yang tidak banyak diungkap ke publik, pada 31 Maret lalu Ketua Komisi VIII mengirimkan surat kepada Ketua DPR terkait penghapusan RUU dari inisiatif Komisi VIII. Sejak tanggal itu, KPU secara efektif membatalkan posisinya sebagai pemrakarsa RUU tersebut. Karena itu, Ketua DPR harus berkoordinasi dengan Baleg untuk mengklarifikasi apakah masih bersedia melanjutkan pembahasan RUU tersebut.