Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kasus Pemerkosaan Mahasiswi ULM, Jangan Biarkan Perempuan Berjuang Sendiri

28 Januari 2022   23:50 Diperbarui: 29 Januari 2022   08:07 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keenam, hakim menjatuhkan hukuman yang sangat ringan, yakni pidana penjara 2 tahun 6 bulan dari 7 tahun ancaman maksimum dalam Pasal 286 KUHP. Artinya hukuman yang dijatuhkan hakim kurang lebih seperempat dari ancaman maksimum, tepatnya 27,7 persen.

Perempuan, aktivis, dan penyintas kekerasan seksual berjuang tanpa henti untuk menjadikan Indonesia tempat yang lebih aman. Aktivis juga  telah memperingatkan "epidemi" pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, dan bahwa pemerintah tidak berbuat cukup untuk memeranginya.

Kekerasan terhadap perempuan datang dalam berbagai bentuk, termasuk kekerasan fisik, kekerasan psikologis dan kekerasan seksual. Pelakunya, selain individu, bisa juga lembaga pemerintah atau non-pemerintah -- budaya, agama, dan pendidikan. Kekerasan terhadap perempuan mengarah pada kekerasan terhadap hak asasi manusia, seringkali dalam bentuk stereotip dan diskriminasi terhadap perempuan.

Selama pandemi ini, perempuan Indonesia cenderung mengalami tingkat kecemasan yang lebih tinggi daripada rekan laki-laki mereka. Meski belum ada kajian rinci, survei Komnas Perempuan tahun 2020 dapat memberikan gambaran tentang fenomena ini. Studi tersebut melaporkan berbagai bentuk kekerasan yang dialami, dengan kekerasan fisik dan seksual yang paling sering dialami diikuti oleh kekerasan psikologis.

Perjalanan sejarah ini menunjukkan betapa sulitnya mencari instrumen khusus hak asasi manusia untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan mengakui hak perempuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Sementara itu, kita terus melihat korban kekerasan seksual yang menderita tanpa pendampingan, dan pelaku yang menikmati impunitas.

Di masa lalu, negara telah memainkan peran kunci dalam mendefinisikan peran gender, konstruksi sosial kewanitaan dan ideologi nasional tentang perempuan. Ibuisme Negara adalah bagian dari konsep kewanitaan Orde Baru dan menurunkan peran perempuan sebagai ibu rumah tangga yang bergantung dan tidak produktif yang menyediakan tenaga kerja 'gratis' untuk suami dan keluarga. 

Menurut Julia Suryakusuma dalam The State and Sexuality in New Order Indonesia tahun 1996. Ibuisme Negara diciptakan untuk mendukung kepentingan Orde Baru dan diturunkan dari dua konsep utama: Ibuisme Negara = Ibu Rumah Tangga + Ibuisme. Maria Mies menggambarkan hal ini sebagai konstruksi ibu rumah tangga sebagai mitra sosial bagi laki-laki, yang dipandang sebagai pencari nafkah terlepas dari kontribusi nyata mereka kepada keluarga. Ibuisme menentukan peran perempuan dalam reproduksi dan keluarga, sementara juga mengecualikan mereka dari ranah publik dan politik.

Ini adalah bagian dari upaya negara untuk mengontrol masyarakat dan mengatur perempuan di sepanjang garis sosial dan hirarkis. Seperti yang ditulis Suryakusuma, kepemimpinan negara terdiri dari ' klub anak laki -laki ' yang sangat patriarki dalam pengambilan keputusan. Status seorang istri terkait erat dengan suaminya, seperti yang terlihat di bekas organisasi perempuan nasional, Dharma Wanita. Selain itu, dalam mempromosikan Ibuisme, negara menempatkan perempuan sebagai ibu rumah tangga yang bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarga mereka. Ini berfungsi untuk mengasingkan perempuan dari kekuatan politik dan ekonomi, menyerahkan pengambilan keputusan kepada laki-laki.

Meskipun ide ini merupakan warisan Orde Baru, banyak politisi dan birokrat saat ini yang disosialisasikan dalam sistem ini dan pemikiran semacam ini tetap lazim. Ini memberikan dasar bagi cita-cita sosial bahwa perempuan bergantung dan tunduk pada, suami serta keluarga mereka. Menurut Ibuisme Negara, seorang wanita yang baik dan patuh memiliki kehidupan keluarga yang harmonis untuk diharapkan dan kekerasan dalam rumah tangga atau seksual tidak akan pernah menjadi masalah. Dalam situasi ini, perempuan lebih cenderung bertahan dalam pernikahan yang berbahaya dan menanggung kekerasan, daripada menghadapi alternatif dan mengundang rasa malu publik.

Apakah pemerintah memiliki kemauan politik untuk memperjuangkan masa depan yang lebih baik untuk anak perempuan, untuk perempuan, untuk semua orang melawan segala rintangan?

Mampukah pemerintah menghadapi tantangan untuk memenuhi komitmen global untuk mewujudkan kesehatan seksual dan reproduksi serta hak-hak reproduksi bagi kita semua?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun