Karena waktu yang singkat, rencana yang berani dan inovatif sangat dibutuhkan untuk memicu perubahan dan memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi melalui kemitraan strategis yang melibatkan semua pemangku kepentingan --- mulai dari pemuda, kelompok masyarakat sipil dan masyarakat hingga sektor swasta, dan meningkatkan pembiayaan untuk memastikan implementasi yang efektif dan dipercepat dari semua upaya.Â
Yang terbaik adalah tidak pernah melupakan siapa yang kita perjuangkan --- untuk melindungi dan mempromosikan hak semua orang, terutama perempuan dan anak perempuan. Sebaiknya kita memastikan bahwa janji yang dibuat adalah janji yang ditepati.
Kita percaya bahwa hubungan kekuasaan yang tidak setara adalah penyebab utama pelecehan seksual dan dalam banyak kasus memberikan impunitas kepada para pelaku. Ini harus berakhir. Lebih penting lagi, komitmen negara terhadap perlindungan mereka yang rentan harus diwujudkan dalam kebijakan yang menghormati hak-hak mereka dan menjamin kesejahteraan mereka.
Pada 8 September 2021, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) mengubah nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Tidak hanya mengubah nama, anggota parlemen hanya mengakui lima jenis kekerasan seksual dari sembilan jenis aslinya. Diantaranya adalah Pelecehan Seksual, Penggunaan Alat Kontrasepsi Secara Paksa dan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Disertai Kejahatan Lain.Â
Amandemen ini tidak hanya menimbulkan pertanyaan, tetapi juga kecemasan akan nasib para korban kekerasan seksual. Beberapa pasal sudah mewakili keinginan para aktivis hak dan masyarakat.
Tak heran jika RUU TPKS menuai kontroversi, apalagi menjadi undang-undang khusus. Jika ada RUU khusus, aturan umum akan diabaikan, seperti pemulihan korban. Perubahan ini sebenarnya merupakan langkah mundur dalam melindungi dan membela korban kekerasan.Â
Tuntutan keadilan restoratif bagi penyelesaian kasus kekerasan seksual membuat banyak korban kekerasan seksual menemui jalan buntu dalam membela diri. Mediasi antara pelaku dan korban dapat memperburuk trauma korban. Inilah yang terjadi pada VPDS.Â
Korban sangat membutuhkan perlindungan dan pemulihan yang biayanya juga tidak sedikit. Keluarga para korban membutuhkan dukungan. Peran pemerintah sangat dibutuhkan.Â
Kini, Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) telah disetujui DPR menjadi RUU Inisiatif DPR pada rapat paripurna, Selasa (18/1/2022).Â
Meski baru menjadi RUU Inisiatif DPR, setidaknya kabar ini menjadi angin segar bagi langkah-langkah selanjutnya menuju RUU TPKS disahkan menjadi Undang-undang (UU).Â