Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Istilah Tempat Jin Buang Anak dari Tjien Hoan hingga Edy Mulyadi

25 Januari 2022   08:51 Diperbarui: 25 Januari 2022   09:04 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Edy Mulyadi di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis (21/11/2019).(KOMPAS.com/Devina Halim)

Penulis  mampu  menjadikannya  sebagai  pijakan untuk  mendeterminasi  tujuan   hidup Ciputra, menjadi lesson   learn, bahwa   masa-masa   sulit   dapat   dijadikan   sarana menumbuhkan  harapan  dan  meraih  impian.  Inilah  alasan  Ciputra  ingin berbagi  pengalaman  berharga  kepada  pembaca.

Ia selalu bilang 'semua bisa berubah'.

Lompatan  besar  hidup  Ciputra  berkat  kekuatan  impian. Ciputra menyebutnya  sebagai the  power  of  dream, kekuatan  dahsyat  dari  impian, menjadi seorang arsitek dan developer.

"Firasat saya di tahun 70-an, kelak Jakarta akan mencapai titik kulminasi pertambahan penduduk yang mencengangkan, Ibukota akan sesak. Tak cukup menampung penduduk. Tak akan cukup lagi untuk menadahi rumah-rumah baru di atasnya. Kemungkinan kelak Jakarta akan dipenuhi rumah yang menjulang ke langit alias apartemen. Tapi waktunya masih lama. Maka terpikir oleh saya, harus dibangun kota satelit..." tulisnya. 

Namun, ide Ciputra atau  Tjien  Hoan untuk membangun Pondok Indah, tak mulus, ia malah mendapat cemoohan. "Salah satu yang menertawakan saya adalah salah satu pejabat kota di Pemda DKI Jakarta. Sok tahu kau. Mana mungkin ada kota satelit di pinggiran Jakarta," kata Ciputra.

Namun ia bersikeras. Ciputra tetap pada keyakinannya bahwa suatu saat kota satelit menjadi kebutuhan mutlak yang diperlukan Jakarta. Kisah awal Ciputra menemukan lahan Pondok Indah dan Bintaro Jaya, berawal saat ia menemani kawannya yang membeli tanah di Kelurahan Bintaro. 

"Kami membutuhkan kurang dari satu jam berkendaraan menuju tempat itu. Ketika itu saya menatap lahan mahaluas yang diwarnai pepohonan dan rumah penduduk yang bertebaran tapi tak padat. Otak saya bergerak. Bintaro. Di atas peta kawasan itu masuk dalam provinsi Jawa Barat (kala itu) dan menjadi perbatasan di sisi selatan Jakarta mengarah ke Tangerang. Saya menghela nafas. Jika saya bisa memiliki ribuan hektar  tanah yang ada...bukan main, Kota Satelit yang saya impikan bisa saya bangun, tulisnya.

Visi   yang   kuat   akan   menemukan   jalannya   untuk   mewujud. Mewujudnya visi atau impian membutuhkan "lingkungan" yang tepat ibarat tanaman membutuhkan tanah yang subur.Meskipun Ciputra memiliki latar belakang yang digembleng oleh situasi yang kelam dan sukar, di Gorontalo dan   Manado   merupakan   fase   Ciputra   menemukan   lingkungan   yang kondusif bagi pertumbuhan potensi dirinya. Keadaan sukar, sikap optimis, dan  dukungan  guru  dan  frater  di  sekolah, mixedmenjadi  pupuk  bagi Ciputra. Akhirnya Ciputra berhasil masuk ITB. Gairah belajarnya luar biasa. Di   ITB-lah  Ciputra  menemukan  "gengnya",  yang  kemudian  menjadi mitranya  merintis  usaha  konsultan  artsitektur  di  Bandung.  Inilah  embrio salah satu grup usaha Ciputra: Metropolitan Development. 

Melalui perusahaannya itu, Ciputra membeli tanah termasuk di kawasan Bintaro. Pada 1980, ia membangun proyek Bintaro Jaya, dan hasilnya sukses. Keberhasilannya ini menjadikan dirinya lebih termotivasi untuk membangun permukiman mewah di selatan Jakarta.

"...sebuah impian lain juga menggedor-gedor batin saya. Permukiman mewah akan ada pasarnya. Dan saya merasakan getaran itu di sudut selatan Kebayoran yang masih berupa hamparan sawah, kebun karet, dan ladang palawija. Sebuah tempat yang kemudian dikenal orang sebagai Pondok Indah," yakinnya.

Ciputra atau  Tjien  Hoan memberikan pelajaran selagi ada kemauan dan usaha, maka sesuatu yang semula tak berharga bisa bernilai tambah. Kawasan-kawasan terpencil seperti Serpong hingga menjadi Kota Mandiri Bumi Serpong Damai. Hal ini lah yang selalu membuatnya memberikan semangat kepada orang-orang, termasuk tim dan orang terdekatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun