Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Operasi Tangkap Tangan KPK, Bukti Politik di Indonesia adalah Bisnis

14 Januari 2022   11:32 Diperbarui: 14 Januari 2022   11:44 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepala daerah justru menjadi sumber korupsi. Dari banyak kisah korupsi, kita mendengar bahwa perintah korupsi datang langsung dari kepala daerah. Misalnya, ada perintah untuk memotong sekian persen anggaran kegiatan dan setiap proyek yang dibiayai oleh APBD. Kemudian potongan tersebut disetorkan kepada kepala daerah. Atau kisah kepala daerah yang memperjual-belikan jabatan. Ada tarif yang harus dibayarkan kepada kepala daerah untuk mendapatkan jabatan tertentu.

Begitu juga dengan perizinan. Kepala daerah mematok harga yang harus dibayarkan oleh pemohon izin jika ingin izinnya dikabulkan. Pembahasan rancangan APBD juga demikian, sering kali kepala daerah memerintahkan agar jajaran birokrasinya menempuh jalan pintas dengan menyuap anggota DPRD untuk mendapatkan persetujuan.

Semua kisah tersebut menjadi bukti bahwa kepala daerah merupakan sumber persoalan korupsi di daerah. Besarnya kewenangan menjadi ladang korupsi bagi kepala daerah. Hampir semua kewenangan kepala daerah itu dapat ditransaksikan untuk meraup keuntungan pribadi.

Baca: Modus Korupsi Kepala Daerah Bekasi yang Tak Kunjung Usai

Tampaknya kutipan tulisan Oce Madril, Dosen Fakultas Hukum UGM; Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM berjudul Korupsi Kepala Daerah disalin dari Harian Kompas, 3 Maret 2018 masih berlaku hingga korupsi yang melibatkan kepala daerah berhenti di negeri ini.

Januari 2022,  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan operasi tangkap tangan seperti berburu binatang di hutan. Penangkapan terhadap kepala daerah atas dugaan  korupsi sudah dua kali. Pada Rabu (5/11) hingga Kamis (6/11) KPK menangkap Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dan belasan orang lainnya. KPK kemudian menetapkan Rahmat  sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembebasan lahan dan lelang jabatan di lingkungan Kota Bekasi, bersama delapan orang lainnya dari kalangan pejabat Pemkot Bekasi dan swasta. Perburuan berlanjut di Kalimantan. 

Selasa (11/1/2022), di sebuah kedai kopi di Kota Balikpapan dan di sekitar Pelabuhan Semayang, Balikpapan, Kalimantan Timur, berkumpul beberapa orang. Mereka berkumpul atas perintah Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas'ud melalui orang kepercayaannya, Nis Puhadi, agar mengumpulkan uang dari beberapa kontraktor.

Setelah uang terkumpul sebesar Rp 950 juta, Abdul Gafur memerintahkan Nis Puhadi agar uang itu dibawa ke Jakarta. Segera uang itu dibawa ke Jakarta. Nis Puhadi membawanya ke kediaman Abdul Gafur di Jakarta Barat.

Pada Rabu (12/1), selesai berkegiatan, uang tersebut kemudian dibawa Abdul Gafur ke sebuah mal di Jakarta Selatan, bersama Nis Puhadi dan Nur Afifah Balqis yang adalah Bendahara Umum DPC Partai Demokrat Balikpapan. Di sana, uang tersebut digenapi Nur Afifah menjadi Rp 1 miliar dan dimasukkan ke dalam sebuah koper.

Ketika Abdul Gafur, Nis Puhadi, dan Nur Afifah berjalan keluar dari lobi mal, tim KPK menangkap mereka beserta pihak lainnya, termasuk menyita koper berisi uang. Bersamaan dengan itu, tim KPK mengamankan Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Mulyadi beserta istrinya serta seorang dari pihak swasta bernama Achmad Zuhdi alias Yudi. 

Tim KPK juga menyita  uang yang tersimpan dalam rekening bank atas nama Nur Afifah sejumlah Rp 447 juta yang diduga merupakan milik Abdul Gafur. Uang itu diduga   diterima dari para rekanan. Sementara itu, tim KPK yang berada di wilayah Kalimantan Timur menangkap empat  orang lainnya.

Sebelas orang itu kemudian diperiksa intensif di Gedung Merah Putih KPK di Jakarta. Baru pada Kamis (13/1) malam KPK mengumumkan hasil pemeriksaan.

Dari pemeriksaan, KPK menetapkan enam tersangka. Lima tersangka sebagai penerima suap ialah Abdul Gafur Mas'ud, Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Mulyadi, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kabupaten Penajam Paser Utara Edi Hasmoro, Kepala Bidang Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Penajam Paser Utara Jusman, dan Nur Afifah Balqis. Sementara satu tersangka sebagai pemberi suap ialah Achmad Zuhdi alias Yudi.

Mereka ditetapkan tersangka dalam perkara dugaan korupsi atas pengadaan barang dan jasa serta perizinan di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur tahun 2021-2022. Pada 2021, Kabupaten Penajam Paser Utara merencanakan beberapa proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang dengan nilai kontrak tahun jamak Rp 112 miliar.

Cukup miris bukan.

Tahun politik 2022-224, bagaimanapun, tidak akan jauh berbeda dari masa lalu, meskipun Indonesia menikmati suasana politik yang relatif lebih demokratis setelah meninggalkan rezim Orde Baru Suharto. Janji reformasi ( reformasi ) yang dulu menjamin politik untuk semua, kini terbukti hanya ilusi. Kenyataannya, politik Indonesia masih eksklusif untuk elit negara.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia merupakan ajang perebutan kekuasaan politik yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil berdasarkan norma hukum, norma sosial, dan etika. Kegiatan politik ini seringkali diwarnai dengan pelanggaran dengan segala cara yang menimbulkan kerugian materiil, immateriil, dan menjadi beban politik yang harus dibayar mahal oleh calon Kepala Daerah terpilih. 

Realitas ini menjadi perhatian publik dan mempertanyakan pelanggaran norma dan etika pemilihan kepala daerah terkait dengan perilaku hukum Kepala Daerah terpilih yang melakukan tindakan tidak etis dan melanggar hukum berupa korupsi.

Alasan monopoli elit di ranah politik Indonesia jelas: politik di Indonesia dalam praktiknya mirip dengan bisnis. Untuk memenangkan pemilu, seorang calon mau tidak mau harus menyiapkan modal besar. Untuk menjadi kepala desa biayanya 130-150 juta rupiah; menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ) biayanya 1,18 hingga 4,6 miliar rupiah, walikota 20-30 miliar rupiah, bupati 75 miliar rupiah, gubernur berkisar 100 hingga 400 miliar rupiah, dan presiden biaya hingga 7 triliun rupiah! Angka fantastis tersebut tentu jauh dari jangkauan sebagian besar masyarakat Indonesia yang rata-rata berpenghasilan hanya 47 juta rupiah per tahun.

Modal politik yang besar disiapkan untuk memuluskan apa yang disebut transaksi politik. Transaksi politik tidak pernah absen, terutama pada bulan-bulan menjelang pemilu. Dalam hal pemilihan calon anggota DPR atau kepala daerah misalnya, partai politik kerap memungut pungutan liar kepada siapa pun yang ingin mencalonkan diri. 

Transaksi selanjutnya adalah transaksi antara bos besar atau pemodal politik (cukong) dan calon. Pemilu di Indonesia jelas bukan persaingan antar calon, tapi antar cukong, yang biasanya menggelontorkan banyak uang ke calon-calon yang menjanjikan. Keterlibatan cukong dalam Pilkada bukanlah dongeng, meski keberadaannya sulit dibuktikan. Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas mengakui para cukong tak segan-segan mentransfer sejumlah besar uang ke rekening calon kepala daerah dengan imbalan perlindungan bisnis, kebijakan bersahabat, atau tawaran proyek pemerintah seandainya calon itu terpilih. 

Antara calon dan konstituen, transaksi juga terjadi. Kandidat yang baik di mata banyak konstituen adalah yang secara rutin memberikan "sumbangan" kepada masyarakat. Semakin banyak donasi yang diberikan, semakin baik kandidatnya. Fenomena " wani piro?"  atau "berapa banyak yang akan Anda bayar?" dimanfaatkan secara efektif oleh kandidat. 

Maka bukan hal yang aneh jika seorang calon legislatif atau kepala daerah tiba-tiba menjadi dermawan kepada masyarakat, memberikan berbagai donasi mulai dari uang untuk pemberdayaan pemuda hingga ambulans gratis yang akan berhenti beroperasi setelah pemilu dan renovasi tempat ibadah. 

Contoh paling nyata dari transaksi politik semacam ini terjadi sesaat sebelum pemilihan gubernur Jakarta 2017, ketika tim Ahok tertangkap  basah beberapa kali oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) membagikan sembako gratis kepada masyarakat. Jika transaksi semacam itu ada di ibu kota Indonesia, tentu sangat mungkin terjadi di daerah lain juga. Selain itu, seorang caleg juga terkadang memberikan dana segar untuk dibagikan subuh pada hari pemilihan kepada setiap orang di dapil yang dituju.

Teknik "serangan fajar" (serangan fajar) kotor ini populer di Indonesia dan telah berhasil mengangkat beberapa kandidat ke tampuk kekuasaan.

Tapi tidak ada makan siang gratis. Meskipun konstituen menganggap sumbangan kandidat sebagai kontribusi, kandidat menyebutnya investasi, atau investasi politik, tepatnya. Seperti dalam bisnis, investasi dalam politik dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan. Di sinilah penyakit kronis korupsi di kalangan politisi Indonesia berasal, karena mereka yang terpilih akan melakukan apa saja untuk mendapatkan uang mereka kembali. Akibatnya, korupsi telah menjadi topik umum di Indonesia dan berita terkait korupsi hampir setiap hari muncul di TV. Sejak 2004 hingga 2012 saja, ribuan pejabat daerah dan anggota DPR terlibat kasus korupsi.

Lima modus operandi korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah untuk mendapatkan kembali uang yang mereka habiskan untuk kampanye pemilu.  


Cara pertama adalah dengan menawarkan jabatan di pemerintahan daerah kepada pejabat dengan imbalan uang haram. Mereka menawarkan posisi mulai dari kepala dinas hingga kepala sekolah. 


Kedua, seorang kepala daerah dapat memanipulasi pengadaan barang dan jasa melalui perencanaan anggaran daerah. Giri mengatakan kepala daerah biasa menerima suap atau mengatur tender pengadaan untuk menguntungkan perusahaan tertentu. 

Ketiga, seorang kepala daerah bisa saja menjual izin kepada korporasi tertentu yang mendukung kampanye politiknya. Misalnya, kepala daerah akan mengeluarkan izin pembangunan dan perkebunan dengan imbalan uang haram. 


Keempat, kepala daerah juga bisa menggelapkan anggaran daerah. Cara ini mengharuskan para pemimpin bekerja sama dengan dewan legislatif daerah untuk mengesahkan anggaran daerah yang digelapkan untuk tahun anggaran berikutnya. 


Kelima, seorang kepala daerah dapat menggelapkan pendapatan daerah dengan menyalurkannya kepada penyelenggara negara lain serta pendukungnya daripada melaporkannya ke APBD.

Banyak yang percaya kampanye pemilu berbiaya tinggi akan mendorong politisi untuk menyalahgunakan kekuasaan mereka dan melakukan korupsi dalam upaya mereka untuk mendapatkan uang mudah untuk pemilu.

Fenomena bisnis berselubung politik tak pelak lagi mencoreng wajah demokrasi Indonesia. Semua pihak di Indonesia harus bekerja serius untuk mencari solusi terbaik dari wabah korupsi di negara ini. Praktik bisnis dalam politik Indonesia harus dicabut dengan --- antara lain --- memberikan pendidikan politik kepada warganya, menjatuhkan sanksi keras kepada politisi nakal, memperbaiki sistem pendengaran dan pemilihan, dan jika mungkin, kembali ke praktik lama di mana kepala daerah dipilih oleh  DPR. 

Jika Indonesia tidak mengambil obat yang tepat untuk memberantas wabah, demokrasi di negara ini tidak lagi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, tetapi dari elit, oleh elit, untuk elit. Dan itu berarti untuk tahun dan masa yang akan datang, politik di Indonesia akan tetap berjalan seperti biasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun