Kepala daerah justru menjadi sumber korupsi. Dari banyak kisah korupsi, kita mendengar bahwa perintah korupsi datang langsung dari kepala daerah. Misalnya, ada perintah untuk memotong sekian persen anggaran kegiatan dan setiap proyek yang dibiayai oleh APBD. Kemudian potongan tersebut disetorkan kepada kepala daerah. Atau kisah kepala daerah yang memperjual-belikan jabatan. Ada tarif yang harus dibayarkan kepada kepala daerah untuk mendapatkan jabatan tertentu.
Begitu juga dengan perizinan. Kepala daerah mematok harga yang harus dibayarkan oleh pemohon izin jika ingin izinnya dikabulkan. Pembahasan rancangan APBD juga demikian, sering kali kepala daerah memerintahkan agar jajaran birokrasinya menempuh jalan pintas dengan menyuap anggota DPRD untuk mendapatkan persetujuan.
Semua kisah tersebut menjadi bukti bahwa kepala daerah merupakan sumber persoalan korupsi di daerah. Besarnya kewenangan menjadi ladang korupsi bagi kepala daerah. Hampir semua kewenangan kepala daerah itu dapat ditransaksikan untuk meraup keuntungan pribadi.
Baca: Modus Korupsi Kepala Daerah Bekasi yang Tak Kunjung Usai
Tampaknya kutipan tulisan Oce Madril, Dosen Fakultas Hukum UGM; Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM berjudul Korupsi Kepala Daerah disalin dari Harian Kompas, 3 Maret 2018 masih berlaku hingga korupsi yang melibatkan kepala daerah berhenti di negeri ini.
Januari 2022,  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan operasi tangkap tangan seperti berburu binatang di hutan. Penangkapan terhadap kepala daerah atas dugaan  korupsi sudah dua kali. Pada Rabu (5/11) hingga Kamis (6/11) KPK menangkap Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dan belasan orang lainnya. KPK kemudian menetapkan Rahmat  sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembebasan lahan dan lelang jabatan di lingkungan Kota Bekasi, bersama delapan orang lainnya dari kalangan pejabat Pemkot Bekasi dan swasta. Perburuan berlanjut di Kalimantan.Â
Selasa (11/1/2022), di sebuah kedai kopi di Kota Balikpapan dan di sekitar Pelabuhan Semayang, Balikpapan, Kalimantan Timur, berkumpul beberapa orang. Mereka berkumpul atas perintah Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas'ud melalui orang kepercayaannya, Nis Puhadi, agar mengumpulkan uang dari beberapa kontraktor.
Setelah uang terkumpul sebesar Rp 950 juta, Abdul Gafur memerintahkan Nis Puhadi agar uang itu dibawa ke Jakarta. Segera uang itu dibawa ke Jakarta. Nis Puhadi membawanya ke kediaman Abdul Gafur di Jakarta Barat.
Pada Rabu (12/1), selesai berkegiatan, uang tersebut kemudian dibawa Abdul Gafur ke sebuah mal di Jakarta Selatan, bersama Nis Puhadi dan Nur Afifah Balqis yang adalah Bendahara Umum DPC Partai Demokrat Balikpapan. Di sana, uang tersebut digenapi Nur Afifah menjadi Rp 1 miliar dan dimasukkan ke dalam sebuah koper.
Ketika Abdul Gafur, Nis Puhadi, dan Nur Afifah berjalan keluar dari lobi mal, tim KPK menangkap mereka beserta pihak lainnya, termasuk menyita koper berisi uang. Bersamaan dengan itu, tim KPK mengamankan Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Mulyadi beserta istrinya serta seorang dari pihak swasta bernama Achmad Zuhdi alias Yudi.Â
Tim KPK juga menyita  uang yang tersimpan dalam rekening bank atas nama Nur Afifah sejumlah Rp 447 juta yang diduga merupakan milik Abdul Gafur. Uang itu diduga  diterima dari para rekanan. Sementara itu, tim KPK yang berada di wilayah Kalimantan Timur menangkap empat  orang lainnya.
Sebelas orang itu kemudian diperiksa intensif di Gedung Merah Putih KPK di Jakarta. Baru pada Kamis (13/1) malam KPK mengumumkan hasil pemeriksaan.