“Sebulan?”
Ibu itu mengangguk dan tersenyum kepada gue. Kali ini senyumnya lebih manis dari senyum sebelumnya. Tapi gue merasa senyumannya mempunyai arti lain. Apa dia tau menurut perhitungan kalender gue, tepat sebulan lagi adalah waktu dimana karir gue akan hancur lebur kayak suriah yang di bom sama ISIS. Ngaco.
“makasih ya mba.” Gue pun balik ke ruang baca perpustakaan untuk membaca buku merah ini.
Kapan waktu terbaik untuk menulis?
Ya, kalau merasa ingin menulis. Jangan tunda, jangan tunggu apa-apa. Kalau merasa bisa menulis paling tidak dua halaman ,mulailah. Segera. Saat itu yang terbaik. Saat mengetik itu, kalau sudah melihat kemungkinan untuk melanjutkan jangan pernah menundanya. Kebiasaan menunda bukan hal yang baik. Itu hanya akan mengurungkan niat. Dan novelmu tak akan pernah jadi. Saya kenal pengarang yang baik. Namanya JRS. Dia mulai dengan empat halaman, lalu menundanya. Empat tahun kemudian, halaman itu tidak bertambah juga. Padahal dia sudah bisa menceritakan rangkaian peristiwa di luar kepala. Itu sebabnya saya nasihatkan terus menulis, atau novel itu tak pernah jadi.
“Ooo begitu!”
“Maaf mas.” Seorang perempuan, ah bukan, seorang bidadari dengan seketika muncul di hadapan gue.
“Ada apa mba?” bidadari itu memberikan isyarat ke telinga. Ah iya gue masih pakai headset.
“Ada apa mba?”