Mohon tunggu...
Yogi Setiawan
Yogi Setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Aku adalah

Pemuda yang penuh semangat, senang berbagi dan pantang menyerah. Mulai menulis karena sadar akan ingatan yang terbatas. Terus menulis karena sadar saya bukan anak raja, peterpan ataupun dewa 19.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novelius (7): Bidadari Penolong

31 Maret 2016   15:28 Diperbarui: 31 Maret 2016   15:36 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bidadari penolong."][/caption]

From: penerbitpu@gmail.com

To: tomanakganteng@ymail.com

Subject: Peringatan

 

Tom,

Ini peringatan keras pertama yang kami berikan kepadamu. Tulisanmu tak sesuai taget. Alur ceritanya tidak jelas. Karakter setiap tokoh pun belum kuat. Situasi yang kau gambarkan pun masih mengawang-awang. Sulit untuk bisa dibayangkan. Bagaimana pembaca mampu merasakan dan masuk ke dalam ceritamu?

Tom kau harus mencari sesorang yang bisa membantumu. Siapapun itu yang mengerti bagaimana menulis. Waktumu memang baru 14 hari. Masih ada 86 hari untuk menyelesaikan proyek ini.

Tetap semangat.

Penerbit Penunjuk Arah

 

Kali ini benar-benar gawat. Baru 14 hari sudah diberi peringatan. Kalau setiap 2 minggu diberi peringatan, gue kemungkinan hanya bisa bertahan 1 bulan lebih 2 minggu. Kemudian karir yang baru saja dibangun akan hancur. Argh.. tapi siapa yang bisa membantu gue? 

------- 

“Tom mau kemana?”

“Ke perpus bu?”

“Oh ke perpus. Ibu nitip buku resep membuat kue bolu ya?”

“Buku yang kemarin mana bu?”

“Masih ibu pinjem”

“Tak bisa kalau begitu bu. Buku yang kemarin harus dikembalikan dulu.”

“Oo begitu ya. Ok deh tunggu sebentar.”

Ibu pun masuk ke kamar. Dan segera kembali ke luar kamar dengan membawa sebuah buku resep masakan ala chef Tono. Namun ada yang aneh dengan bukunya.

“Ini bukunya kenapa jadi warna orange begini bu?”

“Oh itu tak sengaja bukunya nyemplung ke dalam bumbu rendang.”

“Hah! Kok bisa bu?”

Ibu hanya mengangguk dan tersenyum. Ah mana bisa gue marah dengan ibu sendiri. Gue langsung ambil bukunya. Cium tangan dan pergi ke perpustakaan.

 

--- Di Perpustakaan ---

 

“Bu permisi, mau ngembaliin buku.”

Ibu berkerudung itu mengambil bukunya. Mengecek data di komputer dan mengembalikan kartu perpustakaan.

“Ok terima kasih mas.”

Gue pun segera masuk ke dalam ruang baca perpustakaan, mencari buku cara menulis dengan baik.

“Nah ini ketemu."

Gue ambil Buku bersampul merah yang bergambar pengarangnya dengan senyuman lebar, memamerkan gigi, sambil mengetik di laptop merek duren. Judulnya Mengarang Novel itu Gampang karya AA.

"Ya, gue akan pinjam buku ini."

Tak pakai lama gue langsung mendekat ke tempat peminjaman buku. 

“Bu, mau minjam buku.”

“Maaf mas, kami dalam masa stock opname jadi pengunjung sedang tidak bisa meminjam buku perpustakaan.”

“Apa mba tadi? Opnem?”

“Iya stock opname.”

“Kayak pasien rumah sakit ya bu ada opnem?”

Ibu itu tersenyum. Entah senyum karena gue lucu atau senyum karena gue terlihat bodoh di depannya.

 “Berapa lama bu stoking opnem nya?”

“Secara pasti kurang tau berapa lama. Mungkin sebulan.”

“Sebulan?”

Ibu itu mengangguk dan tersenyum kepada gue. Kali ini senyumnya lebih manis dari senyum sebelumnya. Tapi gue merasa senyumannya mempunyai arti lain. Apa dia tau menurut perhitungan kalender gue, tepat sebulan lagi adalah waktu dimana karir gue akan hancur lebur kayak suriah yang di bom sama ISIS. Ngaco.

“makasih ya mba.” Gue pun balik ke ruang baca perpustakaan untuk membaca buku merah ini.

 

Kapan waktu terbaik untuk menulis? 

Ya, kalau merasa ingin menulis. Jangan tunda, jangan tunggu apa-apa. Kalau merasa bisa menulis paling tidak dua halaman ,mulailah. Segera. Saat itu yang terbaik. Saat mengetik itu, kalau sudah melihat kemungkinan untuk melanjutkan jangan pernah menundanya. Kebiasaan menunda bukan hal yang baik. Itu hanya akan mengurungkan niat. Dan novelmu tak akan pernah jadi. Saya kenal pengarang yang baik. Namanya JRS. Dia mulai dengan empat halaman, lalu menundanya. Empat tahun kemudian, halaman itu tidak bertambah juga. Padahal dia sudah bisa menceritakan rangkaian peristiwa di luar kepala. Itu sebabnya saya nasihatkan terus menulis, atau novel itu tak pernah jadi.

 

“Ooo begitu!”

“Maaf mas.” Seorang perempuan, ah bukan, seorang bidadari dengan seketika muncul di hadapan gue.

“Ada apa mba?” bidadari itu memberikan isyarat ke telinga. Ah iya gue masih pakai headset.

“Ada apa mba?”

“Maaf mas, kalau di perpus gak boleh teriak-teriak.”

Gue pun melihat sekeliling. Ternyata semua orang di perpustakaan menatap gue dengan sinis.

“Duh, maaf mba, saya tadi lagi asik baca. Ini loh mba, tentang cara buat novel.”

“Oh.. mas lagi buat novel?”

“ Iya mba.”

Akhirnya gue ceritakan semuanya kepada bidadari ini. Cerita dari awal gue ambil proyek hingga email terakhir dari penerbit yang katanya alur cerita gak jelas, karakter gak kuat, masih ngawang-ngawang, sampai mencari seseorang  yang mengerti menulis.

“udah itu saja?”

“Maksudnya mba?” entah kenapa bidadari ini tersenyum. Apa semua yang telah gue ceritakan adalah sebuah kebodohan dari orang yang mengambil proyek menulis novel namun gak tau cara menulisnya?

“Kamu mau saya bantu?”

“Mau.” Reflek gue bilang ini. Ah, gak salah nih, dia menawarkan diri membantu gue. Namun senyumannya menyakinkan gue bahwa dia adalah bidadari penolong yang diberikan Tuhan untuk membantu gue. Yes. Entah mengapa gue jadi yakin dengan kalimat disetiap kesulitan pasti ada kemudahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun