Penelitian ini menggunakan metode studi literatur dengan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan memahami berbagai tantangan maladministrasi yang terjadi dalam penanganan kasus bullying di lingkungan pendidikan. Pendekatan ini juga digunakan untuk mengeksplorasi berbagai solusi dan rekomendasi yang dapat diterapkan guna memperbaiki sistem penanganan bullying yang ada.
Melalui studi literatur, data yang relevan diperoleh dari sejumlah artikel ilmiah, jurnal, laporan penelitian, dan sumber-sumber lain yang mendalami topik bullying, administrasi pendidikan, serta kebijakan pencegahan kekerasan di sekolah. Referensi ini juga mencakup peran lembaga seperti Ombudsman dalam menangani isu maladministrasi, serta berbagai hambatan yang dihadapi pihak sekolah dalam menangani kasus bullying secara efektif dan efisien (Hotim, 2023).
Informasi yang ada dianalisis dengan cara mengelompokkan temuan-temuan ke dalam beberapa tema utama, yaitu tantangan maladministrasi yang sering terjadi, solusi potensial yang dapat diimplementasikan, dan rekomendasi kebijakan yang perlu dipertimbangkan oleh pemangku kepentingan.
Dengan adanya analisis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang faktor-faktor penghambat terkait penanganan bullying yang efektif di sekolah, selain itu juga menawarkan solusi konkret yang dapat diadopsi oleh institusi pendidikan dan pemerintah.
Hasil dan Pembahasan
Perundungan atau bullying merupakan masalah yang rumit dan sudah lama menjadi perhatian pendidik, pemerintah, serta masyarakat luas. Dampaknya terhadap kesehatan mental, emosional, dan fisik siswa sangatlah merugikan dan dapat menimbulkan trauma jangka panjang.
Perundungan yang dilakukan baik secara individu maupun kelompok sering terjadi secara sistematis dan kerap menjadi bagian dari budaya sekolah, yang pada akhirnya menciptakan rasa takut dan ketidakamanan di antara siswa.
Berdasarkan kajian pustaka, ditemukan bahwa kurangnya kebijakan yang tepat serta adanya maladministrasi dalam menangani kasus perundungan justru memperburuk situasi dan menambah risiko trauma bagi korban (Hotim, 2023).
Penelitian ini berupaya mendalami permasalahan tersebut dengan mengidentifikasi beberapa faktor utama yang menyebabkan tingginya angka perundungan di sekolah dan rendahnya efektivitas penanganannya.
a. Kurangnya Kebijakan yang Konsisten dan Komprehensif
Kebijakan anti-bullying di sekolah sering bersifat reaktif, hanya mengatur sanksi setelah perundungan terjadi tanpa memperhitungkan langkah pencegahan yang terstruktur. Beberapa sekolah mungkin memiliki pedoman umum tentang perundungan, namun implementasinya tidak konsisten dan tidak menyeluruh.
Hal ini menyebabkan respons yang berbeda antar sekolah dan dapat menimbulkan kebingungan bagi siswa, orang tua, serta pendidik (Ramdani, 2021). Kebijakan yang efektif seharusnya tidak hanya mencakup sanksi, tetapi juga sistem pencegahan, pelatihan untuk guru, serta prosedur pemulihan untuk korban.
Kebijakan yang komprehensif juga perlu melibatkan partisipasi seluruh warga sekolah, termasuk siswa, guru, staf administrasi, serta pihak luar seperti orang tua dan masyarakat sekitar. Penelitian menunjukkan bahwa pendekatan kolaboratif, di mana sekolah dan komunitas bekerja sama untuk menangani perundungan, terbukti lebih efektif dalam pencegahan.
Kebijakan ini harus berlandaskan pada norma sosial yang positif dan mengedepankan pendekatan restoratif, di mana pelaku dan korban dapat menyelesaikan konflik dengan bimbingan pihak sekolah.
b. Maladministrasi dalam Penanganan Kasus Perundungan
Maladministrasi merupakan masalah serius yang menghambat efektivitas penanganan perundungan di sekolah. Menurut Ombudsman RI, maladministrasi dalam konteks perundungan mencakup lambatnya respons, kurangnya transparansi, dan kecenderungan untuk menutup-nutupi kasus demi menjaga citra sekolah.
Beberapa sekolah bahkan enggan memproses laporan perundungan secara formal untuk menghindari pengawasan eksternal (Ombudsman RI, 2023). Hal ini tidak hanya memperpanjang penderitaan korban tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap sekolah.
Penanganan perundungan harus dilakukan dengan transparansi dan melibatkan orang tua, konselor, serta pihak berwenang bila diperlukan. Untuk mencegah maladministrasi, sekolah perlu mengembangkan SOP yang jelas untuk setiap tahap penanganan, mulai dari pelaporan hingga evaluasi dan pemulihan bagi korban. Jika sistem ini dijalankan dengan baik, penanganan perundungan di sekolah dapat berjalan lebih efisien dan kredibel.
c. Kurangnya Sumber Daya dan Pelatihan untuk Guru dan Staf Sekolah
Kurangnya sumber daya serta minimnya pelatihan untuk guru dan staf sekolah juga menjadi kendala dalam menangani perundungan. Banyak guru tidak memiliki keterampilan untuk mengenali tanda-tanda awal perundungan atau memberikan dukungan psikologis pada korban.
Selain itu, keberadaan konselor atau ahli yang menangani masalah psikososial siswa sangat terbatas (VOA Indonesia, 2021). Akibatnya, banyak kasus perundungan yang tidak cepat teridentifikasi atau tidak ditangani secara profesional, memperburuk dampaknya.
Untuk mengatasi tantangan ini, sekolah perlu menyediakan pelatihan khusus tentang penanganan perundungan, pencegahan kekerasan, dan dukungan psikologis dasar. Guru dan staf harus dibekali keterampilan mediasi, pemahaman psikologi korban, serta pendekatan berbasis empati.
Selain itu, peningkatan sumber daya untuk konselor atau psikolog perlu dilakukan agar masalah sosial dan emosional siswa dapat ditangani dengan baik. Dengan demikian, sekolah dapat menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi siswa.
d. Kurangnya Pemahaman dan Penerapan Norma Sosial di Sekolah
Norma kesusilaan dan keadilan seharusnya diterapkan konsisten di sekolah untuk mencegah perundungan. Norma ini mengajarkan penghormatan terhadap hak orang lain dan menuntut perlakuan adil bagi setiap siswa (Hotim, 2023). Sayangnya, kurangnya penerapan norma ini membuat siswa sering menganggap perundungan sebagai sesuatu yang normal atau bahkan “ritual” sosial.
Penerapan norma ini dapat dilakukan melalui pendidikan karakter yang terintegrasi dalam pembelajaran dan melalui kegiatan ekstrakurikuler yang melibatkan semua warga sekolah. Program pengembangan karakter ini dapat menekankan nilai-nilai empati, toleransi, dan tanggung jawab sosial, sehingga siswa terbiasa menghargai dan mempraktikkan norma sosial yang positif.
Temuan penelitian ini menyoroti bahwa tantangan utama dalam menangani perundungan di sekolah tidak hanya terbatas pada tindak kekerasan itu sendiri, melainkan juga mencakup aspek struktural yang lebih luas, seperti kebijakan yang kurang konsisten, adanya maladministrasi, keterbatasan sumber daya, serta lemahnya penerapan norma sosial.
Apabila berbagai kendala ini dapat diatasi, diharapkan angka kejadian perundungan akan berkurang, sehingga sekolah dapat menjadi tempat yang lebih aman dan mendukung bagi para siswa. Namun, penelitian ini memiliki keterbatasan karena tidak melibatkan data empiris atau wawancara langsung dengan pihak sekolah dan korban perundungan.