Mohon tunggu...
Sangkala Mattayang Banngi
Sangkala Mattayang Banngi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Kumpulan Khutbah Jumat Pilihan

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Kelalaian Khatib Meninggalkan Rukun Khutbah Jum'at

11 September 2015   02:29 Diperbarui: 15 September 2015   20:15 2300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Syarat dan Rukun yang harus ada dalam Khutbah Jumat

Hari Jum’at adalah salah satu hari raya orang-orang Islam dan salah satu hari mulia yang telah dikhususkan oleh Allah SWT untuk umat Nabi Muhammad. Pada hari jum’at ada ibadah wajib yang dilaksanakan khusus untuk laki-laki, yaitu sholat jum’at yang dilaksanakan pada waktu tergelincirnya matahari (waktu sholat dzuhur).

Hari jum’at juga adalah hari yang istimewa, karena ada amalan-amalan tertentu yang apabila dilakukan pada hari biasa tidak dihitung sebagai ibadah, seperti mandi sebelum sholat jum’at atau banyak yang menyebut sebagai mandi jum’at dan banyak amalan-amalan sunnah yang lainnya.

Shalat Jum’at merupakan kewajiban bagi setiap muslim laki-laki yang baligh dan berakal. Shalat yang dilaksanakan tiap Jum’at ini, tidak berarti sebuah rutinitas yang terpenuhi jika telah dilaksanan. Namun terdapat ketentuan syariat yang harus ada dalam ibadah tersebut. Jika salah satu syarat tidak dilaksanakan maka berdampak pada shalat yang tidak sah atau tidak diterima. Begitu juga ketentuan yang terdapat dalam khutbah Jum’at, ada syarat yang harus dilkasanakan.

Banyak khatib hanya sibuk mencari kumpulan khutbah jumat singkat dan khatib tidak memperhatikan salah satu aspek penting ini, padahal khutbah adalah salah bagian dari rangkain shalat yang tidak terpisahkan sehingga dapat dikatakan jika rukun khutbah cacat maka shalat jum’at juga akan cacat.

Shalat Jum’at adalah shalat fardlu dua rakaat yang dikerjakan diwaktu shalat dzuhur pada hari Jum’at.[1] Shalat Jum’at hukumnya Fardlu Ain bagi setiap muslim laki-laki, mukallaf, merdeka, sehat, berada di suatu kampong atau negeri dan tidak dalam keadaan udzur, misalnya sakit, hujan atau menjadi musafir. Bagi kaum muslimin yang tidak udzur yang meninggalkan shalat Jum’at, maka ia disebut orang munafiq. Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang meninggalkan shlat Jum’at hingga 3x berturut-turut tanpa udzur maka ia termasuk golongan orang-orang munafiq”. (HR.Ath-Thabrani).[2].


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ


Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah ...” (QS. Al Jumu’ah: 9)[3]


الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ


Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit.” (HR Abu Daud)[4]


Ketahuilah bahwa sesungguhnya hari jum’at adalah salahsatu hari raya hari raya orang-orang Islam dan salahsatu hari mulia yang telah dikhususkan oleh Allah untuk umat Nabi Muhammad SAW. di dalamnya terdapat saat-saat ijabah yang dirahasiakan. Jika seorang muslim meminta kepada Allah tepat pada saat-saat tersebut, maka Allah mengabulkan hajatnya. Oleh karena itu, bersiap-siaplah untuk memulaiakan hari jum’at sejak hari kamisnya. Dengan cara membersihkan pakaian (yang akan dipakai pada hari jum’at) dan memperbanyak istigfar serta tasbih di hari kamis sore, karena sesungguhnya waktu tersebut keutamaannya sama dengan keutamaan hari jum’at.[5]

Berdasar pada pemahaman tersebut, ada baiknya mengetahui hal apa saja yang harus ada dalam rukun khutbah jumat. Berikut tongkronganislami.net sajikan ketentuan yang harus ada dalam khutbah jumat.

Syarat dan Rukun Pertama Ucapan Puji syukur kepada Allah SWT.

Ucapan puji-pujian adalah salah satu ucapan yang syarat akan makna ungkapan terimah kasih kepada Sang Pemberi. Ucapan tersbut menjadi salah satu rukun khutbah jumat berdasar pada sabda Nabi SAW yang berbunyi:

كُلُّ كَلاَمٍ لاَ يُبْدَأُ فِيهِ باِلحَمْدِ لِلَّهِ فَهُوَ أَجْذَم

Semua perkataan yang tidak dimulai dengan hamdalah maka perkataan itu terputus. (HR. Abu Daud)

Sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ia berkata: bahwasanya; Apabila Rasulullah saw menyampaikan khutbah pada hari Jum’at beliau memuji Allah, suaranya lantang, dan semangatnya berkobar-kobar bagaikan panglima perang yang sedang memberikan komando kepada bala tentaranya. Beliau bersabda: Hendaklah kalian selalu waspada di waktu pagi dan petang. Aku diutus antara aku dan hari kiamat adalah seperti dua jari ini (yakni jari telunjuk dan jari tengah). Kemudian beliau melanjutkan bersabda: Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat. Kemudian beliau bersabda: Aku lebih utama bagi setiap muslim daripada dirinya sendiri. Karena itu, siapa yang meninggalkan harta, maka harta itu adalah miliki keluarganya. Sedangkan siapa yang mati dengan meninggalkan hutang atau keluarga yang terlantar, maka hal itu adalah tanggungjawabku. (HR Muslim)

Syarat dan Rukun Kedua Membaca Shalawat

Shalawat kepada Rasulullah SAW ada berbagai macam bentuk, ada yang panjang dan ada pula yang pendek. Shalawat dalam khutbah jumat dapat berupa lafadz yang sederhana maupun lafadz yang lengkap seperti mencantumkan ucapan salam kepapada keluarga maupun sahabat nabi. Ucapan shalwat ini juha harus jelas tertuju kepada Nabi Saw, tidak cukup hanya dengan kata ganti atau dhomir.

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ

Ya Allah limpahkanlah shalawat kepada Muhamamd

Karena merupakan kewajiban khatib, maka ucapan tersebut harus ada dalam khutbah pertama maupun kedua. Perlu dipahami bahwa ucapan shalawat ini tidak mengharukan adanya komponen pemberian salam kepada keluarga Nabi SAW. Tapi tidak ada salahnya dilengkapi dengan ucapan yang tertuju kepada keluarga nabi maupun sahabat nabi.

Syarat dan Rukun Ketiga Menjelaskan Sepenggal Ayat dari Al-Quran

كَانَ يَقْرَأ آياَتٍ وَيُذَكِّرُ النَّاسَ

Rasulullah SAW membaca beberapa ayat Al-Quran dan mengingatkan orang-orang

Sebagian ulama mengatakan bahwa karena khutbah Jumat itu pengganti dari dua rakaat shalat yang ditinggalkan, maka membaca ayat Al-Quran dalam khutbah hukumnya wajib.

Syarat dan Rukun Keempat memberi Wasiat atau Nasehat 

Nasihat atau washiyat yang menjadi rukun intinya sekedar menyampaikan pesan untuk taat kepada Allah SWT dan sejenisnya. Atau setidaknya untuk menjauhi larangan-larangan dari Allah SWT. Misalnya seperti lafadz berikut ini :

اَطِيعُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا مَعَاصِيْهِ

Taatilah Allah dan jauhilah maksiat

Rukun Kelima : Doa dan Permohonan Ampunan

Doa atau pemohonan ampun untuk umat Islam dijadikan rukun yang harus disampaikan dalam khutbah Jumat menurut mazhab As-Ssyafi'iyah. Minimal sekedar membaca lafadz :

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمـُسْلِمَاتِ

Ya Allah ampunilah orang-orang muslim dan muslimah 

Amalan Sunah di hari Jumat

1. Mandi dan membersihkan tubuh

Mandi pada hari Jumat wajib hukumnya bagi setiap muslim yang balig berdasarkan hadits Abu Sa’id Al Khudri, di mana Rasulullah bersabda:


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : «إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الجُمُعَةَ، فَلْيَغْتَسِلْ»

Dari Abdullah bin Umar r.a bahwa rasulullah saw bersabda : Apabila seseorang diantara kalian menghadiri sholat jum’at, hendaklah dia mandi. HR Bukhori. Waktunya adalah sebelum berangkat sholat Jumat. Adapun tata cara mandi Jumat ini seperti halnya mandi janabah biasa. Rasulullah bersabda yang artinya, “Barang siapa mandi Jumat seperti mandi janabah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Memakai pakaian yang bersih putih dan wangi-wangian

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barang siapa mandi pada hari Jumat dan bersuci semampunya, lalu memakai minyak rambut atau minyak wangi kemudian berangkat ke masjid dan tidak memisahkan antara dua orang, lalu sholat sesuai yang ditentukan baginya dan ketika imam memulai khotbah, ia diam dan mendengarkannya maka akan diampuni dosanya mulai Jumat ini sampai Jumat berikutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Memotong kuku dan mencukur kumis
4. Memperbanyak membaca ayat Al-Qur’an, do’a dan dzikir
5. Tenang waktu khatib membaca khutbah

6. Bersegera pergi ke masjid
Rasulullah bersabda :


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الجُمُعَةِ غُسْلَ الجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الخَامِسَةِ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الإِمَامُ حَضَرَتِ المَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ»

Artinya : “Barang siapa berangkat ke masjid (Shalat Jum’at) di waktu pertama, maka seperti berqurban onta, barang siapa berangkat di waktu kedua makka seperti berqurban sapi, barang siapa yang berangkat di waktu ketiga, maka seperti berqurban kambing, barang siapa yang berangkat di waktu keempat, maka seperti berqurban (bersedekah) ayam, dan barang siapa yang berangkat di waktu kelima, maka seperti berqurban (bersedekah) telor”.


Disebutkan pula di dalam sebuah riwayat, ”Sesungguhnya manusia di dalam melihat Allah SWT saat di surga, kedekatan mereka dengan-Nya akan sesuai dengan bergegasnya mereka untuk shalat Jum’at.”

 

Mengangkat Tangan Saat Do’a Khutbah Jum’at

Perlu diketahui bahwa do’a tidak selamanya mengangkat tangan. Beberapa kondisi ada contoh bagi kita untuk mengangkat tangan, bahkan ini hukum asalnya. Namun ada beberapa keadaan yang tidak dianjurkan mengangkat tangan. Bagaimana dengan do’a saat khutbah Jum’at? Apakah dianjurkan bagi imam maupun makmum untuk mengangkat tangan? Kami berusaha menyajikan beberapa argumen akan masalah ini disertai memilih pendapat yang lebih kuat. Allahumma yassir wa a’in.

Ulama yang Menganjurkan Mengangkat Tangan

Yang membolehkan berdalil dengan keumuman hadits yang menunjukkan bahwa di antara adab berdo’a adalah dengan mengangkat tangan. Dari Salman radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


إِنَّ اللَّهَ حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحِى إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

“Sesungguhnya Allah itu Maha Hidup lagi Mulia, Dia malu jika ada seseorang yang mengangkat tangan menghadap kepada-Nya lantas kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa dan tidak mendapatkan hasil apa-apa.” (HR. Tirmidzi no. 3556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hadits ini adalah hadits umum untuk mengangkat tangan dalam setiap do’a.


Yang membolehkan hal ini adalah sebagian salaf dan sebagian ulama Malikiyah, sebagaimana dikatakan oleh Al Qodhi Husain (Lihat Syarh Muslim, 6: 162). Di antara dalil mereka lagi adalah ketika do’a khutbah Jum’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan yaitu saat do’a istisqo’ (minta hujan).


Dari Anas bin Malik, ia berkata,

أَصَابَتِ النَّاسَ سَنَةٌ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَبَيْنَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَخْطُبُ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ قَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَ الْمَالُ وَجَاعَ الْعِيَالُ ، فَادْعُ اللَّهَ لَنَا . فَرَفَعَ يَدَيْهِ ، وَمَا نَرَى فِى السَّمَاءِ قَزَعَةً ، فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ مَا وَضَعَهَا حَتَّى ثَارَ السَّحَابُ أَمْثَالَ الْجِبَالِ ، ثُمَّ لَمْ يَنْزِلْ عَنْ مِنْبَرِهِ حَتَّى رَأَيْتُ الْمَطَرَ يَتَحَادَرُ عَلَى لِحْيَتِهِ – صلى الله عليه وسلم

“Pada masa Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah terjadi kemarau yang panjang. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba seorang Badui berdiri seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, harta telah rusak dan keluarga telah kelaparan. Berdo’alah kepada Allah untuk kami (untuk menurunkan hujan) !’. Maka beliau pun mengangkat kedua tangannya – ketika itu kami tidak melihat awan di langit – dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, beliau tidak menurunkan kedua tangannya, hingga kemudian muncullah gumpalan awan tebal laksana gunung. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak turun dari mimbar hingga aku melihat hujan menetes deras di jenggotnya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-”. (HR. Bukhari no. 933)


Dalil yang Menyatakan Tidak Mengangkat Tangan


عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ قَالَ رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا. وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ.

Dari Hushain (bin ’Abdirrahman) dari ‘Umaarah bin Ruaibah ia berkata bahwasannya ia melihat Bisyr bin Marwan di atas mimbar dengan mengangkat kedua tangannya ketika berdoa (pada hari Jum’at). Maka ‘Umaarah pun berkata : “Semoga Allah menjelekkan kedua tangan ini. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di atas minbar tidak menambahkan sesuatu lebih dari hal seperti ini”. Maka ia mengisyaratkan dengan jari telunjuknya” (HR. Muslim no. 874).

Dalam riwayat lain disebutkan,

مَا زَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى هَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menambah lebih dari itu dan beliau berisyarat dengan jari telunjuknya.” (HR. An Nasai no. 1412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ulama yang Tidak Menganjurkan Mengangkat Tangan

Imam Nawawi rahimahullah berkata,


هَذَا فِيهِ أَنَّ السُّنَّة أَنْ لَا يَرْفَع الْيَد فِي الْخُطْبَة وَهُوَ قَوْل مَالِك وَأَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ . وَحَكَى الْقَاضِي عَنْ بَعْض السَّلَف وَبَعْض الْمَالِكِيَّة إِبَاحَته لِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي خُطْبَة الْجُمُعَة حِين اِسْتَسْقَى وَأَجَابَ الْأَوَّلُونَ بِأَنَّ هَذَا الرَّفْع كَانَ لِعَارِضٍ .

“Yang sesuai dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak mengangkat tangan (untuk berdo’a) saat berkhutbah. Ini adalah pendapat Imam Malik, pendapat ulama Syafi’iyah dan lainnya. Namun, sebagian salaf dan sebagian ulama Malikiyah membolehkan mengangkat tangan saat do’a khutbah Jum’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah mengangkat tangan kala itu saat berdo’a istisqo’ (minta hujan). Namun ulama yang melarang hal ini menyanggah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan saat itu karena ada suatu sebab (yaitu khusus pada do’a istisqo’).” (Syarh Muslim 6: 162)


Ulama besar Saudi Arabia yang pernah menjabat sebagai ketua Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum mengangkat tangan bagi makmum untuk mengaminkan do’a imam saat khutbah Jum’at? Apa hukum mengaminkan do’a tersebut dengan mengeraskan suara?”


Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menjawab,


Mengangkat tangan ketika khutbah Jum’at tidaklah disunnahkan bagi imam maupun bagi makmum. Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melakukan seperti ini. Begitu pula perbuatan semisal ini tidak pernah dilakukan oleh khulafaur rosyidin. Akan tetapi jika do’a tersebut untuk do’a istisqo’ (minta hujan) pada khutbah Jum’at, disunnahkan bagi makmum untuk mengangkat tangan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan ketika berdo’a minta hujan saat khutbah Jum’at. Allah Ta’ala berfirman,


لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (QS. Al Ahzab: 21).


Adapun makmum mengaminkan do’a imam ketika khutbah, maka menurutku tidaklah mengapa, namun dengan tidak mengeraskan suara. (Sumber fatwa di sini)


Kesimpulan, pendapat yang menyatakan tidak mengangkat tangan saat do’a khutbah Jum’at kami nilai lebih kuat. Sedangkan dalil Salman yang menunjukkan adab do’a adalah mengangkat tangan, itu adalah dalil umum dan dikhususkan dengan dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat khutbah hanya mengisyaratkan dengan jari telunjuk.


Lantas bagaimana dengan makmum? Tidak ada dalil yang membicarakan mengenai makmum apakah mengangkat tangan ataukah tidak saat do’a imam ketika khutbah Jum’at. Sebagian ulama menyatakan boleh saja mengangkat tangan karena hukum asal do’a adalah mengangkat tangan. Ulama lain menyatakan tidak perlu mengangkat tangan karena sama dengan imam dan jika mengangkat tangan dituntunkan bagi makmum, tentu akan sampai hadits mengenai hal itu kepada kita (Lihat fatwa islamweb di sini). Intinya di sini ada khilaf (beda pendapat). Namun pendapat yang kami rasa lebih kuat adalah makmum tetap tidak mengangkat tangan sebagaimana alasan yang telah disebutkan dan ditunjukkan pula dalam fatwa Syaikh Ibnu Baz di atas.

Referensi:

Al Fiqhu Al Manhaji ‘ala Madzhabi Al Imam Asy Syafi’i, Dr. Musthofa Al Khin, Dr. Musthofa Al Bugho, ‘Ali Asy Syabajiy, terbitan Darul Qalam, cetakan kesepuluh, tahun 1430 H.

Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Jakarta, At-Tahiriyah, 1976).
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, Terjemah Fat-hul Mu’in Jilid 1, (Bandung, Sinar Baru Algensindo, 1994).
Ahmad Mudjab Mahalli, Hadits-hadits Muttafaq ‘Alaih, (Jakarta, Kencana, 2003) cet.1.
Syafi’I, M, Pedoman Ibadah, (Surabaya, Arkola).
Al-Mutamakkin, Yahya. Terjemah dan Penjelasan Bidayatul Hidayah.

www.rumaysho.com

Khutbah Jumat Singkat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun