Rhenald Kasali dalam #MO (2019) mengatakan, narasi yang dikemas baik adalah yang bisa mengendarai arus (riding the stream) dengan memanfaatkan isu yang tengah berkembang atau tengah menjadi perhatian publik.
Aksi Xu membongkar bela diri palsu menjadi kontradiktif seiring kungfu dicitrakan sebagai seni bela diri terbaik yang ditampilkan melalui film-film. Terlebih sejak kisah master Wing Chun sekaligus guru Bruce Lee, IP Man yang diangkat ke layar lebar banyak mendapat respons positif dari penggemar film bergendre kungfu.
Lain halnya dengan Novel. Mugkin karena gaya berbusana menggunakan gamis dan celana cingkrang, Ia dicitrakan sebagai simpatisan Taliban.
Hal ini bisa memantik respons di tengah upaya pemerintah memerangi negara kelompok radikal, yang sangat khas dengan busana serupa Novel.
Untuk lebih menghancurkan karakter orang yang dibidik, publik (netizen) termasuk influencer dilibatkan. Narasi yang dibentuk oleh partisipan (netizen dan influencer) ini subyektif dan cenderung tendensius.
Terakhir, narasi yang diciptakan harus relevan dengan kondisi publik dan juga sarat emosi. Jika sudah menyentuh aspek emosional karena narasi yang sengaja diciptakan, pesan-pesan akan mudah disebarkan hingga menjadi viral.
Hal ini sangat miris, ketika orang yang menegakkan kebenaran justru mendapat perlakukan diskriminatif. Jika ini terus-terus terjadi, apakah suatu saat nanti anak cucu kita masih mau mempertahankan idealismenya? Bisa jadi ada ketakutan untuk bersikap idealis. Atau malah memilih mengikuti arus yang tidak jelas arahnya. Yang penting cari aman.
Artikel ini telah tayang di Bonepos.com dengan judul - Idealisme dan Pembunuhan Karakter
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H