Mohon tunggu...
Wati Sulastri
Wati Sulastri Mohon Tunggu... Lainnya - student of life

Antusias menjelajahi isu sosial sambil membaca dan memahami fenomena di sekitar dengan seksama

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Korupsi: Kanker Ganas di Indonesia

4 Januari 2025   16:06 Diperbarui: 4 Januari 2025   16:06 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Korupsi: Kanker Ganas (Sumber: Generated by Ai)

Korupsi: Kanker Ganas di Indonesia

Korupsi di Indonesia merupakan masalah serius yang semakin memburuk meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantasnya. Saat ini, korupsi telah menjadi masalah yang endemis, sistemik, dan masif. Praktiknya dilakukan secara berjemaah, baik dari atas ke bawah maupun sebaliknya, sehingga menciptakan budaya korupsi yang mengakar di seluruh level pemerintahan.

Dampak korupsi tidak hanya terbatas pada kerugian finansial negara; korupsi juga merusak tata kelola pemerintahan (governance), menggerogoti nilai-nilai demokrasi, dan menyebabkan kemiskinan di kalangan rakyat. Situasi ini menjadi ancaman serius bagi integritas sistem nasional.

Dalam upaya untuk memerangi korupsi secara efektif, ide-ide radikal seperti pemiskinan koruptor dan penerapan sistem pembuktian terbalik mulai diusulkan. Langkah-langkah ekstrem ini mungkin diperlukan dalam konteks saat ini untuk memberikan efek jera yang nyata. Namun, untuk mencapai keberhasilan yang nyata, dibutuhkan kemauan politik yang kuat dan keberanian untuk melakukan reformasi menyeluruh di berbagai level pemerintahan.

Wacana Pemberantasan Korupsi yang Hanya Pajangan

Wacana pemberantasan korupsi yang gencar disuarakan jangan hanya menjadi pajangan di kabinet. Janji-janji pemerintah untuk memberantas korupsi secara tuntas di Indonesia sering kali tidak diikuti dengan tindakan nyata atau efektif. Keadaan ini menciptakan skeptisisme di kalangan masyarakat yang semakin frustrasi dengan situasi yang tak kunjung membaik.

Alat yang Tersedia untuk Pemberantasan Korupsi

Peralatan untuk memberantas korupsi di Indonesia sudah sangat lengkap dan sistematis, mencakup:

  1. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor): UU ini memberikan dasar hukum yang jelas untuk penanganan kasus-kasus korupsi.
  2. Aparat Penegak Hukum: KPK, Kejaksaan, dan Polri memiliki tanggung jawab untuk menindak pelaku korupsi.
  3. Badan Khusus Pemberantasan Korupsi: KPK didirikan sebagai lembaga independen yang berfungsi untuk menegakkan hukum tanpa pengaruh dari pihak manapun.

Namun, di balik semua alat dan peraturan ini, muncul celah yang dijadikan jalan bagi para pelaku kriminal untuk bebas dari jeratan hukum atau setidaknya mendapatkan hukuman yang ringan.

Celah dalam Sistem Hukum

Celah ini muncul karena beberapa faktor:

  1. Ketidakadilan dalam Penerapan Hukum: Meskipun ada undang-undang yang ketat, penerapannya sering kali tidak konsisten. Kasus tertentu bisa diabaikan atau diperlakukan dengan tebang pilih, tergantung pada siapa yang terlibat dan seberapa kuat pengaruh mereka di masyarakat.
  2. Korupsi dalam Proses Hukum: Praktik suap dan korupsi dalam kalangan penegak hukum dapat melemahkan upaya pemberantasan. Contohnya, dalam kasus Ronald Tannur, hakim menerima suap untuk menjatuhkan vonis yang menguntungkan bagi pelaku korupsi. Situasi ini menciptakan ketidakadilan yang dapat merusak kepercayaan publik.
  3. Birokrasi yang Rumit: Proses hukum yang panjang dan birokratis sering menghalangi penegakan hukum yang efektif. Pelaku korupsi memanfaatkan waktu dan prosedur yang panjang ini untuk menghindari pertanggungjawaban.
  4. Pengaruh Politik: Ketika pelaku korupsi memiliki akses ke kekuasaan politik, mereka dapat menggunakan pengaruh ini untuk melindungi diri dari jeratan hukum. Ini sering kali mengakibatkan pengadilan yang lemah atau bahkan ketidaksanggupan untuk menindaklanjuti kasus-kasus korupsi.

Kasus Pinangki

Kasus mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari mencerminkan bobroknya sistem hukum di Indonesia, di mana praktik korupsi menjalar ke dalam institusi penegak hukum. Pinangki, yang seharusnya menegakkan keadilan, terjerat dalam skandal suap dan pencucian uang, menunjukkan adanya penyimpangan moral. Pinangki, divonis awal selama 10 Tahun, kemudian banding menjadi 4 Tahun, dan mendapatkan 2 kali remisi sehingga ia hanya dipenjara selama 1 Tahun  lebih, menciptakan kesan bahwa hukum bisa dipermainkan dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum. Keputusan ini menegaskan perlunya reformasi agar penegakan hukum tidak hanya menguntungkan segelintir orang, tetapi juga adil bagi seluruh rakyat.

Kasus Harvey Moeis

Kemudian baru-baru ini, kasus yang sangat mencolok adalah kasus Harvey Moeis, seorang penjahat korupsi yang hanya dijatuhi vonis 6,5 tahun penjara. Padahal, nilai kerugian negara dalam kasus korupsi timah ini mencapai Rp 300 triliun. Tentu saja, masyarakat Indonesia merasa kecewa dengan putusan hakim ini karena menunjukkan ketidakadilan dalam penegakan hukum.

Pendapat Presiden

Menariknya, Presiden Prabowo Subianto pun turut memberikan perhatian pada putusan hakim tersebut. Beliau tidak menyetujui keputusan tersebut dan bahkan memberikan sindiran keras kepada penegak hukum, mendorong mereka untuk menaikkan vonis menjadi 50 tahun penjara jika memungkinkan. Sikap ini menunjukkan harapan agar hukum dapat ditegakkan dengan lebih serius.

Realita di Kursi Pengadilan

Bagi masyarakat awam, mungkin berpikir, apa sih sulitnya memberikan vonis yang berat bagi para penjahat koruptor itu? Dari sudut pandang kita yang tidak terlibat langsung dalam proses hukum, tindakan memberlakukan hukuman berat seharusnya dianggap wajar dan mudah, terutama jika tujuan kita adalah untuk menghukum para pelaku kriminal.

Namun, realita di lapangan sering kali tidak sejalan dengan pemikiran tersebut. Di balik jubah kehakiman, terdapat risiko bahwa sebagian hakim akan lebih dipengaruhi oleh uang ketimbang prinsip keadilan. Contoh yang nyata adalah kasus Ronald Tannur, di mana tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya---Heru Hanindyo, Erintuah Damanik, dan Mangapul---terlibat dalam menerima suap dan memberikan vonis bebas kepada Ronald.

Ketidakadilan seperti ini menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum di Indonesia. Jika para penegak hukum tidak bertindak sesuai dengan prinsip keadilan dan transparansi, maka masyarakat akan kehilangan keyakinan bahwa hukum benar-benar ditegakkan.

Tantangan Pemberantasan Korupsi

Pemberantasan korupsi di Indonesia masih jauh dari optimal. Meskipun telah ada berbagai peraturan, institusi, dan meningkatnya kesadaran publik tentang masalah ini, tantangan yang dihadapi tetap besar. Korupsi bisa dianggap sebagai kanker ganas karena dampaknya yang merusak pada seluruh tatanan kehidupan masyarakat dan negara. Ia menyebar dengan cepat, menggerogoti fondasi demokrasi, keadilan, dan integritas, serta merusak sumber daya publik.

Untuk itu, diperlukan kemauan politik yang kuat, dukungan aktif dari masyarakat, serta reformasi struktural yang mendasar. Semua ini harus dilakukan untuk menciptakan sistem yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi secara efektif dan berkelanjutan. Jika langkah-langkah tersebut diimplementasikan dengan benar maka, ada harapan Indonesia dapat lebih mendekati visi bebas dari korupsi dan memperbaiki tata kelola pemerintahan demi kesejahteraan masyarakat sesuai dengan salah satu visi Indonesia Emas 2045 yang salah satu agendanya adalah Memantapkan Supremasi Hukum, Stabilitas, dan Kepemimpinan Indonesia .

Serta perlu dicatat, bahwa pemerintahan saat ini, di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, masih tergolong dini untuk menilai apakah ada keberhasilan dalam upaya pemberantasan korupsi. Evaluasi terhadap keberhasilan ini membutuhkan waktu untuk bukti nyata dan contoh-contoh yang mengungkapkan tantangan-tantangan yang masih harus dihadapi.

Dengan keberanian pemerintah untuk bertindak sekarang, kita dapat menghindari situasi di mana upaya pemberantasan korupsi akan menjadi wacana kosong yang tidak berarti bagi seluruh masyarakat. Semoga saja, langkah-langkah yang diambil ke depan akan membawa perubahan yang positif.

***

Referensi:

CNN Indonesia. (2022). Pinangki vonis 10 tahun, banding 4 tahun, dipenjara 1 tahun 1 bulan. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220906171111-12-844135/pinangki-vonis-10-tahun-banding-4-tahun-dipenjara-1-tahun-1-bulan

Kompas. (2024). Kronologi Penangkapan Hakim Pemvonis Bebas Ronald Tannur. Diakses dari https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/10/25/kronologi-penangkapan-hakim-pemvonis-bebas-ronald-tannur

Tempo. (2024). Vonis Harvey Moeis 6,5 Tahun Tak Sebanding dengan Kerugian Negara Rp 300 Triliun dari Korupsi Timah. Diakses dari https://www.tempo.co/newsletter/vonis-harvey-moeis-6-5-tahun-tak-sebanding-dengan-kerugian-negara-rp-300-triliun-dari-korupsi-timah-1188543

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun