Kehidupan masa kecil saya yang mempunyai banyak teman yang tinggal di Pontren (Pondok Pesantren) membuat saya tahu bahwa teman saya tidaklah hanya ada di Garut saja. Ternyata di Garut pun sangat banyak pendatang yang sengaja menimba ilmu. Waktu itu saya masih meraba dan membayangkan sendiri kira-kira seperti apa sih tempat tinggalnya si A di Medan, pun tempat tinggalnya si B di Makasar, dan tempat tinggal teman lainnya yang tesebar di berbagai penjuru di Indonesia. Saya penasaran seperti apa rasanya pulang kampung naik pesawat terbang, saya penasaran apakah di tempat tinggalnya nun jauh disana itu keluarganya berbicara dengan logat yang sama dengan teman-teman saya tersebut. Saya sudah mulai menyadari bahwa tidak semuanya orang berbicara dengan aksen/logat yang sama seperti saya, tidak semuanya memanggil saudara dengan sebutan “Aa atau Teteh” seperti saya, tidak semua teman-teman terbiasa makan dengan menu yang biasa ada di rumah saya. Sebagian menyukai rasa yang cenderung manis, sebagian lagi malah suka yang pedas-pedas (Seperti saya), ada yang terbiasa dengan lalapan tapi ada yang bahkan tidak suka makan dengan daun-daunan karena dianggap aneh.
Iya, kenyataannya adalah dari kecil saya telah menjadi anak yang “kaya”. Kaya akan begitu banyak teman yang berasal dari berbagai Provinsi dan daerah yang berbeda. Dan pada saat sedang di TMII lah saya mendapatkan gambaran yang nyata tentang kekayaan budaya tersebut, mulai dari anjungan yang mempunyai keunikan sendiri-sendiri, bahasa, makanan/pakaian khas, dan sebagainya. Semoga teman-teman saya membaca tulisan ini dan mengetahui betapa saya merindukan mereka semua saat ini.
Oke, petualangan berlanjut. Dan ternyata kaki saya mulai protes, cuaca panas dan luasnya TMII membuat saya memutuskan untuk menyewa sepeda saja. Dengan tarif yang sangat murah dan KTP asli saya di simpan oleh pihak penyewa sebagai jaminan, maka saya sudah diperbolehkan memilih sepeda yang nyaman untuk saya. Sayang sekali saya tidak sempat mengabadikan moment bersepeda ini, goesan demi goesan yang membawa saya ke tempat yang sering saya lihat di TV.
Danau itu terbentang di depan mata saya, danau yang sebelumnya saya lihat di media saja sekarang benar-benar ada di hadapan saya. Dengan dikelilingi rumput nan hijau yang di setiap beberapa meternya terdapat kursi untuk para pengunjung, membuat saya tidak sabar untuk duduk di salah satunya. Dan gong nya tentu saja adalah pulau-pulau yang ada di tengah danau itu, yang merupakan miniatur Indonesia.
Suasanananya sejuk dan mendamaikan hati. Namun saya merasa belum puas kalau hanya menikmati danau hanya di sisinya saja, saya menyempurnakan petualangan saya di TMII dengan menaiki kereta gantung yang memberikan “Surga dunia” dengan suguhan mahakarya yang terlihat di atasnya. Seolah sedang berada di angkasa luar dan melihat Negara saya sendiri dalam versi mini, pulau-pulau itu lengkap dan jelas sekali. Dari mulai pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua, semua indah.
Tidak semua anjungan dapat saya singgahi karena keterbatasan waktu, namun dari situ saya dapat menyimpulkan betapa kayanya budaya di Indonesia, beraneka ragam kesenian, adat istiadat, bahasa dan ide-ide genius dari para penerus bangsa yang akan terus berkembang.