Sejujurnya terkadang saya merasa iri kepada kaum laki-laki, salah satu diantaranya mereka tidak dikejar "jam biologis" dan tidak mendapatkan lebeling "perjaka tua". Ketika sudah mencapai usia yang dipandang cukup untuk menikah menurut standar umum masyarakat.
Betapa terkadang bagi saya sendiri, perkawinan bisa menjadi momok yang menakutkan. Bahwa, menikah tidak hanya sekedar menggabungkan dua insan dan berpadunya dua keluarga, tidak. Ada begitu banyak indikator dan pertimbangan terutama bagi perempuan.
Bukan hanya perkara nafkah lahir dan batin. Atau perihal mapan tidaknya calon pasangan demi sebuah jaminan masa depan secara ekonomi. Tapi juga jaminan rasa aman secara psikologis bahwa perkawinan bisa membawa kebahagiaan misalnya.
Kadang saya bertanya tujuan pernikahan itu apa sih? Kita kesampingkan dulu dalil-dalil agama karena itu jelas sudah status quo. Misal, menikah karena cinta lalu bagaimana ketika sepuluh tahun kemudian rasa cinta itu memudar?
Berarti alasan untuk tetap bertahan dalam ikatan perkawinan sudah hilang. Ada juga alasan untuk melanjutkan keturunan, lalu bagaimana jika pihak perempuan mandul?Â
Maka hilang pula alasan untuk tetap bertahan dalam ikatan sehingga dijadikan pembenar ketika laki-laki melakukan poligami. Jadi, apa tujuan pernikahan itu?
Betapa kadang perempuan mengalami banyak ketidak-adilan dikarenakan tidak hanya menanggung beban biologis tapi juga beban sosial. Yang artinya usia 28 masih lajang sama dengan warning (siap menyandang lebel perawan tua) dan juga "katanya peluang cepat memiliki anak semakin kecil". Ditambah, laki-laki cenderung mencari pasangan dengan usia yang lebih muda.
Sementara itu, ada impian-impian yang ingin diraih dan dituntaskan yang belum lunas meski usia sudah memasuki 25 tahun.Â
Inilah yang kemudian dengan terang dikuatkan oleh Ihsan Abdul Qudddus melalui bukunya "Aku Lupa bahwa Aku Perempuan", seolah ingin mengafirmasikan bahwa sulit bagi perempuan untuk berhasil dalam dunia publik ketika dibebani dengan berbagai beban domestik.
Sehingga perempuan dipaksa memilih antara menjadi "ibu rumah tangga atau wanita karir".Â
Karena menurut Ihsan muskil Menjalankan keduanya tanpa menimbulkan bentrokan dan ketimpangan. Yang mana, kendati perempuan berhasil di ranah publik tapi peran dalam ranah domestik (istri/ibu) terlalaikan atau tidak maksimal.
Begitu banyak doktrin yang membuat perempuan selalu berada di posisi dilematis, sehingga bibit-bibit patriark semakin tumbuh subur.Â
Inilah apa yang kerap dibahas dalam berbagai kajian "keadilan gender" bahwa perempuan sering mengalami beban ganda (domestik-publik).
Saya jadi teringat wawancara Cinta Laura dalam acara Kick Andy, ketika Andi F Noya bertanya kenapa sampai saat ini Cinta Laura belum menikah. Dan jawaban cinta sungguh filosofis dan prinsipil menurut saya.Â
Kesimpulannya bahwa dia tidak ingin menikah hanya karena desakan dan tuntutan, sehingga nantinya membuat kita tergesa-gesa berpasangan (menikah) tanpa mengenal betul pasangan kita.Â
Akhirnya yang terjadi adalah dua hal yaitu tidak hidup bahagia atau bercerai. Dan tentu bukan itu yang Cinta inginkan terjadi dalam hidupnya.Â
Dia ingin bahwa suatu saat nanti, saat menemukan orang yang tepat, dia tahu betul bahwa dia telah melakukan yang terbaik untuk mengenal orang tersebut.Â
Dan dia merasa bahwa dia bisa hidup dengan orang ini dan memiliki pernikahan yang sehat dan seharmonis mungkin, karena kita tahu tidak ada pernikahan yang sempurna.Â
Dan dengan stigma bahwa semakin sukses seorang perempuan semakin sulit jodohnya, Cinta Laura dengan cerdas menjawab justru Tuhan Maha Adil karena jika laki-laki takut pada perempuan karena kesuksesan tadi, maka Tuhan langsung sisihkan karena itu artinya laki-laki tadi tidak layak untuk mendapatkan perempuan tersebut.
Dan saya mengamini apa yang dikatakan oleh Cinta Laura. Menikah seharusnya menjadi pilihan bahkan jika mungkin memilih untuk tidak menikah, itu pun tidak masalah jika dengan begitu hidupnya bisa lebih bahagia. Dan menikah juga seharusnya tidak didasarkan pada usia semata tapi juga pertimbangan lainnya seperti kesiapan mental misalnya.Â
Seperti kata Mbak Kalis Mardiasih dalam esainya berjudul "perempuan cerdas memang tidak berniat menikahi akhi-akhi cupet", bahwa; "Lekas menikah dan alhamdulillah bahagia itu jatah dari Yang Maha Kuasa, sebagaimana kelonggaran rezeki buat sekolah tinggi lalu berkiprah dan banyak bikin manfaat buat sesama".
Jadi, menikah ketika usia dianggap dewasa (19-25) atau menikah ketika anda siap (di atas 25 tahun)? Atau memilih tidak menikah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H