Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Aku dan Sang Waktu] Tongkat Komando Sang Proklamator

25 Juli 2020   19:01 Diperbarui: 1 Agustus 2020   19:21 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar Aku dan Sang Waktu_Tongkat Komando Sang Proklamator_Gambar diolah dari berbagai sumber oleh Warkasa1919

Cerita sebelumnya: Pusaka Kalimosodo

*****

Di antara bebatuan dan tiupan angin yang menggoyang dedaunan, Aku dan Wanita cantik yang mengenakan Kebaya pengantin berwarna hijau daun serta mengenakan Mahkota kecil di kepalanya itu berdiri tegak, menatap ke arah Sunan Kalijaga yang saat ini tengah duduk di atas batu besar berbentuk pipih, sambil menembangkan "Kidung Wahyu Kolosebo" yang jika kuartikan kurang lebih seperti ini.

"Kujaga diri dari perbuatan nista dan sesuka hati

Dengan mengendalikan hawa, hawa nafsu angkara

Meski setan bergentayangan, selalu membuat gangguan

Sampai akhir zaman"

*****

Suara Sunan Kalijaga menghilang seiring bulu-bulu halus di tengkukku meremang berdiri. Saat ini Aku sudah tidak lagi berada di pinggir Sungai, tempat dimana Aku dan Sang Ratu mendengarkan tembang Kidung Wahyu Kolosebo.

Masih terasa asing dengan suasana ditempat yang baru saja kudatangi. Aku berdiri tegak sambil menatap sosok lelaki tampan yang memakai Jas putih keabu-abuan serta mengenakan Peci hitam sebagai penutup kepalanya. 

Kubalas senyuman Lelaki tampan yang juga tengah tersenyum menatap ke arahku sambil memegang tongkat kayu berukir di tangan kanannya.

*****

Suara mesin jahit yang terdengar dari sudut ruangan itu membuyarkan konsentrasiku pada sosok Lelaki tampan yang tengah menatapku dari dalam cermin besar di depanku.

Saat menoleh kesamping kanan dari tempatku berdiri, kedua mataku langsung tertuju pada sosok Wanita berkerudung putih yang tengah duduk di depan mesin jahit. Wanita yang sepertinya tengah hamil tua itu kulihat sedang menjalankan mesin jahit Singer di depannya dengan menggunakan tangan kanannya.

Dimana Aku?

Dimana Raden Ayu Setya Ninggrum yang tadi bersamaku?

Mengenai Raden Ayu Setya Ningrum ini silahkan dibaca: Sang Ratu

Mataku kembali berkeliling ruangan, mencari sosok Wanita cantik yang selalu mengenakan Kebaya pengantin berwarna hijau daun serta mengenakan Mahkota kecil di kepalanya. 

Sebelum Aku berada di dalam ruangan ini, wanita cantik berusia 27 tahun itu masih berdiri di sebelahku.

Tidak menemukan sosok yang kucari, pandangan mataku kembali tertuju kepada Wanita berkerudung putih yang tengah menjahit bendera Merah Putih berukuran 2x3 meter di depannya.

Dari mesin jahit, pandangan mataku beralih ke setiap sudut ruangan ini. Melihat kondisi ruangan ini Aku teringat dengan buku-buku sejarah yang pernah kubaca saat masih duduk di bangku sekolahan dulu.

Jika melihat suasana di dalam ruang ini, sepertinya saat ini Aku tengah berada di masa lalu, tepatnya sebelum Bendera Merah Putih di tangan Wanita berkerudung putih itu di kibar untuk pertama kalinya di Negara yang di masa depan kulihat hampir bubar menjelang Pesta Demokrasi Pemilihan Presiden itu.

*****

Waktu kurasakan berlalu begitu cepat. Di tempat ini, perjalananku dari satu waktu ke waktu berikutnya bagaikan tengah menyibak tirai yang begitu tipis di depanku.

Saat ini, di antara kepulan asap tembakau dan cangkir-cangkir berisi kopi yang isinya sudah tak penuh lagi, sambil sesekali menghembuskan asap rokok merek State Ekspres 555, dari cermin besar di depanku, bisa kulihat dengan jelas bayangan tiga orang lelaki tengah berdiskusi, di dalam ruang makan milik Laksamana Tadashi.

Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukan pukul 03.00 dini hari.

Sambil meneguk sisa kopi dari cangkir yang berada di sebelah kananku, di antara kepulan asap tembakau yang sudah memenuhi ruang makan ini, satu persatu kalimat yang keluar dari bibir Achmad Soebardjo dan Mohammad Hatta kutuliskan ke dalam selembar kertas putih di depanku.

Teks Proklamasi Indonesia diketik ulang oleh Sayuti Melik. Bertempat di sebuah rumah hibah dari Faradj bin Said bin Awadh Martak yang berada di Jalan Pegangsaan Timur 56, dihadiri antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Pada pukul 10.00 pembacaan proklamasi dilakukan, selanjutnya bendera Merah Putih yang sebelumnya kulihat di jahit oleh seorang Wanita yang tengah hamil tua itu dikibarkan tepat pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 tahun Masehi disamping Drs. Mohammad Hatta yang berdiri tepat disebelah kiriku.

*****

Setelah proses pembacaan teks Proklamasi dan pengibaran Bendera Pusaka selesai dilakukan, tiba-tiba saja ada satu kekuatan besar menarikku kembali ke pinggir Sungai, tempat di mana Aku dan Sang Ratu berdiri.

Di antara hembusan angin yang bertiup kencang, Aku berdiri tegak, di sebelah Sang Ratu dan Sunan Kalijaga di depanku.

"Apa yang engkau lihat" tanya Sunan Kalijaga sambil menatapku.

"Kulihat ada seorang Wanita yang tengah meneteskan air matanya sambil menjahit bendera Merah Putih di depannya. Bendera yang kelak akan menjadi simbol bagi kemerdekaan bangsanya.

Selanjutnya Aku melihat pembacaan teks Proklamasi dan pengibaran bendera Merah Putih untuk yang pertama kali nya di negara yang baru saja merdeka itu berlangsung dengan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Satu." jawabku sambil melihat ke arah Sunan Kalijaga dan Raden Ayu Setya Ninggrum di sebelahku.

"Apa yang engkau rasakan saat berada ditempat itu?" tanya Lelaki tua di depanku itu sambil turun dari atas batu pipih yang sedari tadi dia duduki.

"Di tahun 1945 Aku menyaksikan dan ikut merasakan suasana kebatinan orang-orang yang begitu antusias menyambut kemerdekaan dengan ucapan syukur serta semangat persatuan dimana-mana.

Di tahun 1945 Aku bisa melihat dan merasakan semangat kemerdekaan di negara itu dengan mempergunakan penglihatan dan pendengaran milik Sang Proklamator yang ternyata adalah diriku di masa lalu," kataku pelan.

Sesaat Aku kembali teringat pada sosok lelaki tampan berpeci hitam yang memakai jas putih keabu-abuan di dalam cermin besar yang selalu tersenyum penuh percaya diri di depanku.

"Tongkat Komando berbahan kayu ini bukan tongkat kayu biasa, seorang ulama karismatik asal Banjar yang telah mengikat tali persaudaraan dengan Soekarno, saat itu telah memasukan "Mustika Kalimosodo" ke dalam cemeti berwujud tongkat yang selalu dibawa kemana-mana oleh Sang Proklamator. Kekuatan ghaib yang berada di dalam Tongkat Komando ini berfungsi untuk mengendalikan orang-orang yang berada di sekeliling pemegang tongkat ini," Sunan Kalijaga berkata sambil memperlihatkan tongkat kayu yang berada di dalam genggaman tangannya itu kepadaku.

Bagaimana mungkin tongkat kayu yang di tahun 1945 itu kulihat masih berada di dalam genggaman tangan Sang Proklamator, tiba-tiba saja saat ini telah berada di dalam genggaman tangan Lelaki tua ini?

Aku terdiam, dihadapan Lelaki tua berwajah teduh ini Aku semakin sadar, bahwa jika Tuhan berkehendak maka tidak ada yang tidak mungkin dan semua itu bisa saja terjadi di dunia ini. 

Untuk segala sesuatu ada masanya dan untuk apapun di bawah langit ada waktunya.

Teringat ucapan Sang Waktu beberapa waktu yang lalu. Aku sadar bahwa sesungguhnya kehidupan anak manusia di dunia ini ibarat perjalanan panjang yang ujungnya entah berada dimana.

Ya Allah engkau adalah Tuhan seluruh alam. Engkau adalah Dzat pemilik bumi dan juga lautan. Di pergantian waktu, di suatu tempat yang Engkau ciptakan kematian tidak lagi mampu menyentuh kehidupan. Aku yang hina ini memohon ampunan. Ampunilah dosa-dosaku dan juga dosa-dosa para pendahuluku yang telah berjuang untuk kemerdekaan bangsa ini.

Di depan Makhluk-makhluk ciptaanmu, di hadapan Lelaki tua di depanku ini, Aku semakin sadar, bahwa sesungguhnya Aku ini hanyalah satu dari sekian banyak makhluk ciptaanmu yang begitu lemah di hadapan-Mu.

Tiada daya dan upaya tanpa pertolonganmu ya Allah..

Demi waktu yang telah Engkau ciptakan sebagai pengiring putaran roda-roda kehidupan, disuatu tempat yang tidak terjangkau gelapnya malam dan terangnya cahaya siang, Aku berdiri tegak menatap kehidupan.

Ya Allah engkau adalah Tuhan yang menggenggam waktu dan kehidupan. Padamu Sang pemilik kehidupan dan kematian. Padamu yang telah memperjalankanku menembus ruang dan waktu tanpa halangan, melintasi langit, bumi dan lautan serta membukakan 'hijab' dari tabir misteri kehidupan dan kematian di sepertiga malam. Kuserahkan hidup dan matiku hanya kepadamu Ya Rabb.

"Bawalah "Mustika Kalimosodo" ini ke masa depan, pergunakan Tongkat Komando milik Sang Proklamator ini untuk menengahi pertikaian antara dua kelompok besar yang di masa depan tengah bertarung hebat memperebutkan kursi kekuasaan. Pergilah, sebelum Negara besar yang bernama Indonesia itu hancur berantakan akibat perang saudara karena beda pilihan." Lelaki tua berwajah teduh di depanku itu tersenyum sambil menyodorkan tongkat kayu di tangannya ke arahku.

Aku tersentak, percakapan antara hatiku dan Sang Pemilik kehidupan terhenti saat mendengar Lelaki tua di depanku ini kembali berkata padaku. 

Walau sedikit ragu, tapi setelah melihat Wanita cantik yang mengenakan Kebaya pengantin berwarna hijau daun serta mengenakan Mahkota kecil di kepalanya itu menganggukan kepalanya sambil tersenyum ke arahku, segera kusambut uluran tangan Sunan Kalijaga yang memberikan Tongkat Komando milik Sang Proklamator itu kepadaku.

Catatan : Cerita ini hanya fiksi belaka, jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Artikel ini sudah tayang dalam versi lainnya di Secangkirkopibersama.com.


Bahan bacaan: 1, 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun