*****
Waktu kurasakan berlalu begitu cepat. Di tempat ini, perjalananku dari satu waktu ke waktu berikutnya bagaikan tengah menyibak tirai yang begitu tipis di depanku.
Saat ini, di antara kepulan asap tembakau dan cangkir-cangkir berisi kopi yang isinya sudah tak penuh lagi, sambil sesekali menghembuskan asap rokok merek State Ekspres 555, dari cermin besar di depanku, bisa kulihat dengan jelas bayangan tiga orang lelaki tengah berdiskusi, di dalam ruang makan milik Laksamana Tadashi.
Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukan pukul 03.00 dini hari.
Sambil meneguk sisa kopi dari cangkir yang berada di sebelah kananku, di antara kepulan asap tembakau yang sudah memenuhi ruang makan ini, satu persatu kalimat yang keluar dari bibir Achmad Soebardjo dan Mohammad Hatta kutuliskan ke dalam selembar kertas putih di depanku.
Teks Proklamasi Indonesia diketik ulang oleh Sayuti Melik. Bertempat di sebuah rumah hibah dari Faradj bin Said bin Awadh Martak yang berada di Jalan Pegangsaan Timur 56, dihadiri antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Pada pukul 10.00 pembacaan proklamasi dilakukan, selanjutnya bendera Merah Putih yang sebelumnya kulihat di jahit oleh seorang Wanita yang tengah hamil tua itu dikibarkan tepat pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 tahun Masehi disamping Drs. Mohammad Hatta yang berdiri tepat disebelah kiriku.
*****
Setelah proses pembacaan teks Proklamasi dan pengibaran Bendera Pusaka selesai dilakukan, tiba-tiba saja ada satu kekuatan besar menarikku kembali ke pinggir Sungai, tempat di mana Aku dan Sang Ratu berdiri.
Di antara hembusan angin yang bertiup kencang, Aku berdiri tegak, di sebelah Sang Ratu dan Sunan Kalijaga di depanku.
"Apa yang engkau lihat"Â tanya Sunan Kalijaga sambil menatapku.
"Kulihat ada seorang Wanita yang tengah meneteskan air matanya sambil menjahit bendera Merah Putih di depannya. Bendera yang kelak akan menjadi simbol bagi kemerdekaan bangsanya.