Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[ADSW] Pusaka Kalimosodo

23 Juni 2019   19:19 Diperbarui: 23 Juni 2019   20:18 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

<< Sebelumnya

Masih terkagum-kagum dengan pemandangan di luar kereta kencana, aku berpaling ke arah wanita cantik yang mengenakan kebaya pengantin berwarna hijau daun serta mengenakan mahkota kecil di kepalanya itu.

Kutatap wajah wanita cantik yang begitu mirip dengan wanita berkulit sawo matang yang mengenakan kerudung bergo panjang warna merah marun itu.

"Kita mau kemana?" tanyaku pada wanita cantik yang usianya sekitar 27 tahun di sampingku ini.

"Menjemput Pusaka Kalimosodo," jawab wanita cantik yang mengenakan kebaya pengantin berwarna hijau daun serta mengenakan mahkota kecil di kepalanya itu pelan, sambil tersenyum menatap kearahku.

"Pusaka Kalimosodo," gumamku, setengah bertanya sambil kembali menatap paras wanita cantik yang saat ini tengah menatap pantulan wajahnya sendiri di dalam cermin rias, yang sedang digenggam tangannya itu.

*****

Tak jauh dari tempat aku dan wanita cantik yang mengenakan kebaya pengantin berwarna hijau daun serta mengenakan mahkota kecil di kepalanya itu berdiri, di depan sana, tepatnya di atas batu pipih besar yang berada di bawah pohon besar di pinggir sungai, kulihat seorang lelaki memakai blangkon serta mengenakan baju lengan panjang yang terbuat dari bahan lurik dengan motif garis-garis panjang yang memiliki kerah tegak, kulihat tengah menyenandungkan tembang dalam bahasa Jawa.

"Siapa dia?" tanyaku pada wanita cantik yang saat ini tengah berdiri di sampingku, sambil melihat ke arah lelaki tua berusia sekitar 65 tahun yang tengah duduk di atas batu besar di bawah pohon besar di pinggir sungai itu.

"Namanya Joko Said," jawabnya pelan. 

"Dia adalah pencipta baju surjan atau baju takwa yang terkenal di kalangan masyarakat Jawa itu. Di dalam baju surjan terdapat filosofi keagamaan dan kehidupan, baju surjan ini, biasanya pada bagian lehernya terdapat tiga pasang biji kancing, enam biji kancing ini mewakili rukun iman dalam agama Islam. Dan memiliki dua kancing di bagian dada, masing-masing di sebelah kanan dan kiri yang mewakili dua kalimah syahadat, serta memiliki tiga kancing di bagian dalam dada (dekat perut) letaknya tertutup tidak terlihat. Tiga kancing ini adalah symbol nafsu yang harus di redam atau di tahan oleh manusia." Katanya lagi menyambung ucapannya, sambil terus berjalan mendekati lelaki yang kulihat tengah duduk di bawah pohon besar itu.

Saat ini aku dan wanita cantik, yang dulu pernah mengenalkan dirinya padaku bernama Raden Ayu Setia Ninggrum, tengah berada di pinggir sungai yang airnya begitu jernih dengan bebatuan yang terlihat jelas di dalamnya. 

Di antara suara air sungai, sayup-sayup aku coba simak kata demi kata dari tembang yang tengah di nyanyikan oleh lelaki tua di pinggir sungai itu.

Aku terus berjalan mengiringi langkah kaki wanita cantik yang mengenakan kebaya pengantin berwarna hijau daun serta mengenakan mahkota kecil di kepalanya itu. Sambil berjalan, sekali lagi kuperhatikan lelaki yang mengenakan blangkon, serta mengenakan baju lengan panjang yang terbuat dari bahan lurik dengan motif garis-garis panjang yang saat ini tengah menyenandungkan tembang dalam bahasa Jawa itu.

*****

"Assalaamu 'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh ya kanjeng Sunan." 

Kudengar wanita cantik yang mengenakan kebaya pengantin berwarna hijau daun itu, mengucapkan salam pada lelaki, yang tengah duduk di bawah pohon rindang di pinggir sungai.

"Wa 'alaikumus salam wa rahmatullahi wabarakatuh" 

Jawab lelaki yang tengah duduk di bawah pohon besar sambil menghentikan nyanyian tembangnya sambil berpaling ke arah aku dan sang Ratu  yang berdiri tidak jauh dari batu pipih besar yang sedang di dudukinya itu. 

Kutatap seraut wajah teduh yang sudah tidak terlihat begitu asing di mataku itu.

"Kek.." Secara spontan aku memanggil lelaki tua yang berwajah teduh itu dengan sebutan kakek. Lelaki berwajah teduh itu tertawa sambil melihat ke arahku dan wanita cantik yang mengenakan kebaya pengantin berwarna hijau daun yang berdiri di sampingku.

"Iyaa, dia adalah sahabat tuamu yang dulu pernah memberikan sehelai kain lusuh padamu, sebelum Sang Waktu mengantarkanmu pergi menemuiku di puncak Monas." 

Wanita cantik yang mengenakan kebaya pengantin berwarna hijau daun di sebelahku ini berkata, sambil tersenyum menatapku. 

Mengingat pertemuan terakhirku dengan lelaki tua itu bebarapa waktu yang lalu. Tiba-tiba bulu kudukku meremang berdiri. Bagaimana mungkin lelaki tua yang biasanya kutemui selalu mengenakan pakaian lusuh, dan saat itu tengah berada di dalam Warung Kopi di masa kini, saat ini bisa berada di masa lalu, di tempat beradanya para Wali Songo ini?

"Barusan sang Ratu berkata, kakek adalah pencipta dari baju surjan yang terkenal itu. Berarti kakek sebenarnya adalah Sunan Kali jaga, bukan Kelana Senja seperti yang aku kenal selama ini," kataku masih sedikit bingung.

Mengenai kakek tua ini silahkan baca juga: Aku dan Sang Waktu Bagian Tiga Belas

Masih sedikit bingung, aku kembali menatap lelaki berwajah teduh yang saat ini tengah tersenyum sambil menatapku dan Wanita cantik yang mengenakan kebaya pengantin berwarna hijau daun itu secara bergantian.

Jika lelaki tua berwajah teduh di depanku ini adalah Sunan Kali Jaga, berarti beliau adalah suami dari Nyi Rara Kidul, orang kepercayaan wanita cantik yang saat ini tengah berdiri di sampingku ini. Sebab menurut mitologi Jawa, Kanjeng Ratu Kidul merupakan ciptaan dari Dewa Kaping Telu yang mengisi alam kehidupan sebagai Dewi Padi (Dewi Sri) dan Dewi alam yang lain. Sedangkan Nyi Rara Kidul mulanya merupakan putri Kerajaan Sunda yang diusir ayahnya karena ulah ibu tirinya itu.

Tapi dalam perkembangannya, masyarakat cenderung menyamakan Nyi Rara Kidul dengan Kanjeng Ratu Kidul, meskipun dalam Kejawen, Nyi Rara Kidul adalah bawahan setia Kanjeng Ratu Kidul.

Dan hingga saat ini, tepatnya dari masa aku berasal, sebelum aku di bawa berkelana oleh Sang Waktu. kedudukan Nyi Rara Kidul sebagai Ratu Lelembut tanah Jawa menjadi motif populer dalam cerita rakyat dan mitologi, selain itu juga sering dihubungkan dengan kecantikan putri-putri Sunda dan Jawa pada masa itu.

Menurut kisah yang pernah kubaca, Sunan Kali Jaga pernah menikahi Nyi Rara Kidul saat terjadi peperangan antara Prabu Siliwangi dan Sunan Kalijaga yang kala itu datang menemui Prabu Siliwangi sebagai utusan dari Sunan Gunung Jati.

Saat itu terjadi benturan hebat antara dua kepercayaan yang sama-sama kuat di masyarakat, yaitu Islam dan Hindu. Inilah yang menyebabkan perang saudara terjadi antara Prabu Siliwangi yang terkenal sakti mandraguna itu dengan pasukan dari kerajaan Cirebon pimpinan Sunan Kali Jaga.

Dan Dewi Nawang Wulan, nama lain dari Nyi Rara Kidul adalah anak dari Prabu Siliwangi dari istri Keduanya, Ratu Palaga Inggris. 

Waktu itu atas petunjuk dari Allah SWT, Sunan Gunung Jati mendapatkan petunjuk agar menggunakan Tombak Karera Reksa untuk dapat mengalahkan kesaktian Prabu Siliwangi. 

Tombak Karera Reksa adalah sebuah tombak sakti milik Nyi Rara Kidul atau Dewi Nawang Wulan, yang menurut petunjuk yang di dapat oleh Sunan Gunung Jati dapat mengalahkan kesaktian Prabu Siliwangi.

Saat itu atas perintah dari gurunya, Sunan Kalijaga menemui Nyi Rara Kidul. Dan setelah Sunan Kali Jaga sampai di kediaman Nyi Rara kidul di Pantai Selatan. Singkat cerita, waktu itu atas perintah sang Guru, Sunan Kalijaga menikahi Nyi Rara Kidul yang kala itu meminta syarat agar di nikahi, dan setelah syarat itu di kabulkan oleh Sunan Kali Jaga, Nyi Rara Kidul meminta mahar tasbih Kecubung/wulung, yang datang dari laut Merah sebagai mahar pernikahan mereka itu nanti.

Di depan Nyi Rara Kidul, Sunan Gunung Jati meminta muridnya itu untuk memenuhi syarat yang di minta oleh Nyi Rara Kidul. 

Dan setelah mahar di setujui, Sunan Kalijaga pergi ke gunung Ciremai untuk melakukan tafakkur, serta minta petunjuk dan perlindungan pada Allah SWT. 

Dan setelah Tasbih Wulung/kecubung berhasil di dapatkankan, sesuai permintaan Nyi Rara Kidul, maka Sunan Gunung Jati segera menggelar upacara pernikahan antara Sunan Kalijaga dan Nyi Rara Kidul.

"Ada apakah gerangan wahai Kanjeng Ratu Kidul, hingga membuatmu datang menemuiku sendiri di tempat ini?" 

Lelaki tua berwajah teduh itu membuka percakapan dengan bertanya pada wanita cantik yang mengenakan kebaya pengantin berwarna hijau daun di sebelahku ini.

"Nusantara masa depan sedang berada di ambang kehancuran akibat terjadi perang saudara berkepanjangan. Pilpres yang gagal pada tahun 2019 yang lampau itu telah membuat Nusantara masa depan kembali mengulangi sejarah kelamnya, dimana pada masa lalu juga pernah di jajah hingga 3.5 abad lamanya, waktu itu Nusantara bisa di jajah oleh bangsa lain juga akibat masyarakat di dalamnya saling berperang antara satu dengan yang lainnya. 

Dan maksud dari kunjunganku ketempat ini adalah untuk meminjam mustika Kalimosodo yang aku tahu ada padamu, sebab aku tahu hanya mustika Kalimosodo itu yang mampu mendamaikan perang saudara di masa depan itu."  Jawab wanita cantik di sebelahku ini sambil tersenyum menatap lelaki berwajah teduh di depanku itu.

"Hemm.., Allah Maha Besar, Sembilan naga yang telah lama mencengkram Negara itu, ternyata pada Pilpres 2019 itu benar-benar telah melaksanakan niatnya untuk membuat kerusakan di Negara itu.." 

Terdengar suara yang tidak begitu jelas kudengar keluar dari bibir lelaki berwajah teduh di depanku itu, lelaki tua yang aku tahu selama ini adalah Kelana Senja sahabatku yang selalu berpakaian lusuh itu. 

Selanjutnya, kulihat dia kembali duduk di atas batu pipih besar, di bawah pohon besar yang begitu rindang, di antara suara gemericik air Sungai yang airnya terlihat begitu jernih, kembali kudengar dia melantunkan tembang dalam bahasa Jawa seperti yang kudengar dari kejauhan tadi.

"Rumekso ingsun laku nisto ngoyo woro

Kelawan mekak howo, howo kang dur angkoro

Senadyan setan gentayangan, tansah gawe rubeda

Hinggo pupusing jaman"

Sayup-sayup kudengar tembang Kidung Wahyu Kolosebo yang di nyanyikan oleh Sunan Kali jaga di atas batu besar di pinggir Sungai, yang jika kuartikan kurang lebih artinya seperti ini.

"Kujaga diri dari perbuatan nista dan sesuka hati

Dengan mengendalikan hawa, hawa nafsu angkara

Meski setan bergentayangan, selalu membuat gangguan

Sampai akhir zaman"

 

-Bersambung-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun