***
Semua itu berawal dari perselingkuhan mamaku dengan tetangga sebelah rumahku dulu. Bapakku yang saat itu hanyalah pegawai kantoran biasa, saat itu tidak mampu berbuat banyak untuk mempertahankan rumah tangganya dari kehancuran akibat kehadiran orang ketiga itu.Â
Saat itu, demi untuk kebaikan bersama, dan atas desakan keluarga besar mamaku, terutama nenekku, Â bapak memutuskan untuk membiarkan mamaku itu untuk menikahi lelaki selingkuhannya yang seorang pejabat itu.
Waktu itu; Gadis kecil sepertiku yang tidak tahu apa-apa tentang sisi gelap wanita yang biasa kupanggil dengan sebutan 'mama' harus ikut menanggung beban akibat perselingkuhannya dengan tetangga sebelah rumahku yang berujung pada perceraian kedua orang tuaku itu. Â Waktu itu, dunia seakan mau kiamat bagiku. Bukan hanya di lingkungan rumah, keluarga besar, bahkan teman-teman sekolahku pun, saat itu sering memanggilku dengan sebutan si anak Pelakor.
Semua kenangan pahit masa lalu itu, telah menjadikanku seorang gadis pendiam. Saat itu aku bahkan merasa tidak percaya diri ketika sedang berada di depan teman-teman, juga saudara-saudaraku.Â
Dan saat itu. Satu-satunya orang yang selalu tampil membelaku adalah saudara sepupu dari pihak mamaku.Â
Lambat laun, seiring berjalannya waktu, demi kebaikanku, oleh bapak dan ibu tiriku, aku di bawa mereka pindah keluar kota, di tempat bapakku saat itu memiliki kedudukan baru, dia terpilih menjadi orang nomor dua di kota itu.
Di kota baru itu, aku mencoba untuk menghapus semua kenangan buruk di masa masa laluku. Di tempat baru itu aku coba tutupi semua rasa duka, rasa luka dan rasa sakit akibat perceraian kedua orang tuaku itu. Aku tak bisa protes, aku ingin berteriak tapi tidak bisa. Aku hanya bisa diam, dan diam. Tanpa pernah sekalipun orang-orang yang berada di sekitarku tahu bahwa wanita lugu dan pendiam ini sebenarnya memiliki dua kepribadian yang terbentuk akibat kenangan suram di masa lalu.
Usiaku baru menginjak Sembilan belas tahun ketika mendapat tambahan gelar hajjah di depan namaku. Di saat gadis-gadis lain yang seusia denganku itu sedang asik mencari jati dirinya. Saat itu, tambahan gelar hajjah di depan namaku itu telah membuatku harus lebih pintar dalam menjaga sikap di banding gadis-gadis lain yang se usia denganku karena bagi orang-orang di daerahku. Bagaimanapun juga, gelar yang sudah terlanjur melekat di depan namaku itu adalah sebagai tauladan maupun contoh untuk sikap secara lahiriah dan batiniah dalam segi Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Perlahan-lahan gelar di depan namaku itu kembali memulihkan rasa percaya diriku. Hingga akhirnya keputusan yang telah di ambil oleh lelaki yang biasa kupanggil bapak itu kembali membawaku masuk ke alam yang jauh lebih gelap dari masa laluku.Â
Saat itu diriku merasa begitu tertekan. Aku merasa terjepit oleh keadaan. Saat dimana aku harus menentukan pilihan. Dimana aku di hadapankan pada dua pilihan; memilih bapak dan keluarga besarku atau memilih lelaki yang telah menjadi cinta pertamaku itu.
Dalam hening, aku sering menangis sendirian, bahkan terkadang aku mengumpat akan takdir Tuhan. "Tuhan...kenapa harus aku? Kenapa? Tidak bisakah sekali saja kau membuatku bahagia? Aku ingin bahagia Tuhan! Aku ingin bahagia seperti gadis-gadis yang lainnya di luar sana. Dulu, kebahagiaan masa kecilku telah kau renggut akibat perceraian kedua orang tuaku itu. Dan saat inipun kau hendak mengambil juga kebahagianku untuk bisa hidup bersama lelaki yang kucintai itu. Aku benci kau Tuhan..!"
Ketika itu, hatiku hancur! Aku menangis sendirian takala akhirnya aku harus mengikuti keinginan bapak dan keluarga besarku untuk menikah dengan lelaki yang menjadi pilihan mereka itu.Â
Lelaki itu adalah anak dari ibu kost di kota tempatku menimba ilmu kala itu. Pertimbangan sama-sama berasal dari keluarga yang terpandang di kota asalku lah yang akhirnya membuat keluarga besarku itu lebih memilih lelaki itu dari pada lelaki cinta pertamaku.
Dalam keadaan marah, kecewa dan juga kesedihan yang begitu mendalam itu. Aku berusaha untuk menerima lelaki yang tidak pernah aku cintai itu masuk ke dalam kehidupanku.Â
Menjelang pernikahan, aku masih berharap bahwa cinta pertamaku itu datang menculikku, saat itu tekatku sudah bulat, bahwa jika dia datang menculikku, maka aku akan nekat pergi dengannya, persetan dengan semuanya!
Hari-hari yang kujalani terasa begitu hampa. Dan jikapun sampai hari ini aku masih bertahan. Itu semua aku lakukan semata-mata karena aku tidak ingin di anggap sebagai anak yang durhaka pada kedua orang tua yang telah membesarkanku, aku tidak mau bapak terluka.
Sepuluh tahun lamanya, aku menjalani kehidupan berumah tangga bersama seorang lelaki yang tidak pernah aku cintai itu.
Di dalam kesendirianku, berulang kali aku bertanya pada diriku sendiri.
"Bahagiakah aku dengan perkawinan ini?"
Beban masa lalu dan juga patah hati akibat di paksa menikah dengan lelaki yang bukan menjadi pilihan hatiku itu, lambat laun membuatku semakin terlihat layu di mata suamiku. Jujur saja! Saat itu, satu-satunya yang membuatku masih tetap bersedia tinggal serumah dengan lelaki yang tidak pernah kucintai itu adalah karena rasa takut berdosa pada kedua orang tuaku. Meski dalam hati aku masih berharap bahwa lelaki cinta pertamaku akan datang menemuiku. Cintaku padanya tak pernah padam, ruang kosong itu hingga kini masih tersimpan untuknya.
Dan puncak dari semua pemberontakanku itu adalah ketika lelaki yang sudah sepuluh tahun lamanya menjadi suamiku itu memaki-maki dan menyebutku seorang pelacur. Saat itu dia merasa begitu cemburu ketika melihat aku di antar pulang kerumah oleh lelaki dari masa laluku itu.
Lelaki dari masa lalu itu adalah mantan pacar yang pernah menjadi cinta pertamaku dulu. Dan lelaki yang saat ini telah menjadi suamiku itu sadar betul bahwa dulu dia telah merebutku dari lelaki yang dia usir dengan kata-kata kasar itu. Dia begitu takut kehilanganku. Dan rasa takut kehilangan itu, tanpa sadar telah membuat akal sehatnya sendiri sudah tidak lagi terlihat sehat di mataku.
Ketakutan yang begitu besar akan kehilanganku itu telah membuat lelaki yang sudah sepuluh tahun menikahiku itu memanggil seorang dukun untuk datang ke rumahku. Saat itu dia berpikir, bahwa lelaki dari masa lalu itu telah mengguna-gunaiku, sehingga aku tidak bisa melupakan lelaki itu dari dalam ingatanku. Dan kebodohanku saat itu adalah ketika aku begitu menurut pada lelaki yang telah menjadi suamiku itu. Rasa takut selalu membuatku menuruti semua perintahnya padaku. Walaupun aku tahu, perintahnya itu terkadang sangat tidak masuk akal buatku.
Dan aku tidak menyangka, bahwa kejujuranku saat itu telah menjadi malapetaka buatku. Dulu aku adalah wanita lugu yang selalu memberitahukan apapun kegiatanku ketika sedang berada di belakang suamiku itu. Dan kata-kata pelacur yang keluar dari bibirnya di kala dia sedang marah itu betul-betul telah melukai hati dan perasaanku hingga saat ini.Â
Dalam diam aku coba berontak. Di dalam kamar, di atas bantal kutumpahkan semua rasa sedih dan kekecewaan hatiku pada lelaki yang sudah sepuluh tahun lamanya menjadi suamiku itu.
Di depan cermin besar, di hadapanku. Aku sering bertanya pada sesosok wanita yang sudah mendapat tambahan gelar hajjah di depan namanya itu. Sesosok wajah yang saat itu juga tengah menatapku dari dalam cermin besar di depanku, "Betulkah aku seorang pelacur seperti dugaannya itu? Tuhan..Aku benci kau! Aku benci lelaki yang telah menyebut dan memanggilku dengan sebutan pelacur itu. Jika memang menurutnya aku adalah seorang pelacur. Maka aku akan menjadi seorang pelacur seperti keinginannya itu!"
Semakin lama aku bertanya, "Siapa Aku" semakin jauh pula aku masuk ke dalam dunia yang selama ini terlihat begitu hina di mataku itu. Tambahan gelar hajjah  di depan namaku semenjak usiaku masih Sembilan belas tahun itu tanpa kusadari telah menjadikanku merasa lebih baik dari wanita-wanita lain yang saat itu kulihat masih mengumbar aurat di dalam kesehariannya itu. Dan di mataku, wanita-wanita yang masih suka mengumbar aurat itu, tak lebih hanyalah sekelompok wanita murahan yang kehadiran mereka menurutku hanya akan mendatangkan maksiat di manapun mereka berada saat itu.
Dan sekarang! Siapa sangka? lelaki yang selama ini begitu kuturuti karena keyakinanku; bahwa ridho suami adalah kunci Surga bagi seorang istri, ternyata telah memandang hina dan menyebutku seorang pelacur. Hatiku hancur! Aku tidak menyangka bahwa kata-kata itu akan keluar dari mulut lelaki yang di dalam kepasrahanku itu, aku tengah belajar untuk menerimanya, demi Surga yang ingin kugapai bersama ridho-nya itu.
Masih jelas di dalam ingatanku, saat itu. Sambil memanggilku dengan sebutan pelacur di depan lelaki yang saat itu baru saja mengantarkanku pulang ke rumahku dari tempatku mengajar itu. Kala itu dia langsung mengusir lelaki yang pernah menjadi cinta pertamaku itu begitu saja tanpa mau mendengarkan penjelasanku, juga penjelasan lelaki yang mengantarkan aku pulang itu terlebih dahulu.
Semakin lama aku bertanya, "Siapa Aku?" dendam kesumatku semakin menyala. Aku bosan dengan semua keadaan ini! Aku muak dengan semua kepalsuan ini. Aku ingin meng-akhiri semua sandiwara ini. Aku benci membohongi diri sendiri, dengan selalu mengatakan bahwa; "Aku bahagia dan baik-baik saja saat ini".
Tapi seperti gadis kecil di masa laluku, saat ini pun aku hanyalah seorang wanita lemah yang hanya mampu diam, tanpa sedikitpun punya keberanian untuk mengungkapkan ketidak sukaanku itu pada lelaki yang sudah menyebutku sebagai pelacur itu. Dan akhirnya aku hanya mampu diam, sambil terus merutuki diri sendiri dan semua keadaan ini. Dan lagi-lagi, saat itu aku hanya mampu menyalahkan Tuhan, kenapa Dia hanya diam dan membiarkanku sendirian, di saat aku betul-betul sedang membutuhkan pertolonganNya?
Tujuh tahun telah berlalu, setelah kata-kata pelacur itu terucap dari bibir lelaki yang sudah memberikanku dua buah hati itu. Tapi kebencian di dalam hatiku ini telah berubah seperti  api dalam sekam. Dan api kebencian itu perlahan-lahan mulai membakar hati dan pikiranku.
Ketika masa diklat untuk menjadi menjadi seorang Pegawai Negeri. Api dalam sekam itu telah berhasil membakar hati dan pikiranku.
Di dalam kamar penginapan lelaki yang terlihat begitu sopan di depan peserta diklat. Saat itu aku betul-betul telah menjadi seorang pelacur di depannya. Saat itu, sambil mengingat ucapan kata pelacur dari suamiku itu, aku turuti semua kemauan pembimbingku itu untuk melakukan Seks oral di dalam kamar tidurnya.Â
Di saat calon-calon Pegawai Negeri yang lainnya sedang melakukan kegiatan di luar ruangan. Siapa sangka, kata-kata pelacur yang pernah terucap dari bibir lelaki yang aku anggap suami itu, seperti menjadi cemeti dari kuda betina binal yang selama ini terkurung di dalam diriku hingga saat ini.
Walau tidak sempat terjadi persetubuhan. Karena saat itu aku masih di hantui oleh rasa takut di ketahui oleh rekan-rekan sependidikan calon pegawai yang sudah terlanjur memanggilku dengan sebutan ibu hajjah. Tapi pengalaman liar pertamaku bersama pembimbing itu telah melecut sedikit keberanian di dalam hatiku, semenjak kejadian itu, aku semakin penasaran dan bertambah liar.
Dan puncaknya adalah ketika 11 tahun yang lalu, aku kembali bertemu dengan saudara sepupuku yang hampir 30 tahun lamanya tidak pernah bertemu itu, dimasa kecilku dulu, dia anak kecil yang selalu menjagaku dari gangguan teman-teman dan saudara-saudara yang selalu memanggilku dengan sebutan si anak Pelakor.Â
Di bahunya, saat itu kutumpahkan semua tangis yang selama ini kutahan sendirian, saat itu, kutumpahkan semua rasa kesal dan ketidak bahagiaan hubungan rumah tanggaku itu. Saat itu, dia memelukku dengan kasih. Dan jujur saja, aku tidak pernah merasa sedamai itu sebelumnya.
Pertemuan yang tidak di sangka-sangka itu terjadi ketika aku sedang belajar menjadi seorang pelacur, dan komunikasi yang awalnya hanya sebagai saudara itu berubah menjadi rasa cinta berbalut nafsu. Dan siang itu, tak lama setelah aku menumpahkan semua rasa kesal di hatiku, ketidak berdayaanku, ketidak bahagiaanku dan semua rasa sakit yang aku alami akibat kata-kata Pelacur itu. Akhirnya, siang itu aku menangis sesegukan di dalam kamar di salah satu Wisma yang berada di kota tempat tinggalku itu.Â
Sepupuku yang dari masa kecilku dulu itu selalu berusaha menjagaku, siang itu berhasil menyetubuhiku di dalam kamar Wisma yang telah di pesannya. Dan siang itu, di samping tubuh lelaki yang baru saja menyetubuhiku itu, aku menangis sesegukan. Siang itu, ku tumpahkan air mata di samping lelaki pertama yang berhasil menyetubuhiku selain suamiku itu. Aku menangis bukan karena merasa berdosa, apa lagi merasa bersalah kepada lelaki yang telah memberikanku dua orang anak itu. Saat itu, aku menangis karena akhinya aku tahu, ternyata betul kata lelaki itu; ternyata betul, aku adalah seorang pelacur!Â
Sambil mengenakan pakaian, aku kembali mengumpat di dalam hati. "Persetan dengan kau Tuhan! Aku bosan menjadi wanita baik-baik yang selalu teraniaya. Persetan denganmu 'A'. Selama ini aku selalu menjaga kehormatanku untukmu, demi Surga yang kuharapkan bisa ku gapai dengan hidup bersamamu. Tapi apa yang kudapatkan dari semua pengorbananku itu? Di matamu, aku hanya seorang pelacur. Dan mulai saat ini kau boleh memanggilku dengan sebutan itu!"
Dua tahun aku jalani hubungan cinta segitiga dengan sepupu yang berjanji akan menikahiku itu, dan sudah tidak terhitung berapa kali aku melakukan zina dengan lelaki yang berjanji akan menceraikan istrinya dan akan menikahiku itu. Dan kapanpun dia mau, aku pun selalu melayaninya seperti layaknya aku melayani suamiku sendiri.
Dan cinta berbungkus nafsu itu semakin lama semakin menggelapkan kedua mataku. Saat itu, bukan saja sepupuku yang selalu datang ke kotaku untuk menuntaskan rasa cintanya itu padaku, tapi aku pun sudah beberapa kali menginap di Wisma, di kota tempat tinggal sepupuku itu demi untuk melampiaskan nafsu birahi-ku bersama sepupuku itu.
Dan yang terakhir adalah ketika suamiku sedang tugas di luar kota. Saat itu aku mengundang sepupuku itu untuk datang kerumahku. Saat itu aku sudah tidak perduli lagi dengan panggilan ibu hajjah yang sudah terlanjur melekat di depan namaku itu. Saat itu, sepupuku yang datang kerumahku bersama teman lelakinya itu, aku ajak tidur di dalam kamar anak gadisku. Â Dan temannya itu tidur di kamar anak lelakiku, pas di sebelah kamar tidur, dimana aku dan sepupuku itu melampiaskan semua nafsu binatang-ku itu bersamanya. Sementara anak gadis dan anak lelakiku, saat itu aku suruh tidur di dalam kamar tidurku.
Di dalam kamar anak gadisku, malam itu aku sudah tidak perduli dengan semuanya. Yang aku tahu. Malam itu aku ingin menghabiskan sisa malam itu bersamanya. Aku tidak ingin kehilangannya. Aku sudah tidak lagi perduli dengan semua keadaan di sekelilingku. Aku tidak perduli pada kedua anakku, teman sepupuku dan juga dua anak kost yang tinggal di kamar atas rumah besarku. Bahkan saat itu, aku begitu ingin ada yang memergoki perbuatanku ketika sedang melakukan hubungan badan dengan sepupuku itu. Malam itu, aku bahkan berharap agar lelaki yang sudah menyebutku sebagai pelacur itu pulang, dan memergokiku tengah di tiduri oleh sepupu kandungku itu di dalam kamar anak gadisku.
Tapi lagi-lagi aku hanya mampu mengumpat di dalam diam, aku sadar, hidup, jodoh dan maut semuanya memang menjadi rahasia yang berada di dalam genggaman Tuhan.Â
Setelah kejadian di dalam kamar anak gadisku itu, perlahan-lahan sepupuku yang dulu begitu ingin menikahiku itu memutuskan untuk meng-akhiri semua hubungannya denganku, ternyata dia laki-laki pengecut yang takut dengan ancaman istrinya. Dan lelaki pengecut itu memutuskan hubungan kami melalui pesan singkat. Tanpa pernah berniat untuk menemuiku. Aku hancur untuk yang kedua kalinya, aku dendam, dan aku menjadi semakin liar dan binal.
Hatiku hancur, dalam diam aku kembali memaki Tuhan. Hatiku berontak. Tidak terima dengan takdir Tuhan. Saat itu aku sudah tidak lagi percaya akan cinta. Hatiku telah terlanjur patah arang. Atas nama cinta, dahulu semuanya telah aku korbankan pada orang-orang yang selalu mengatakan demi cinta.
-Bersambung-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H