Dalam hening, aku sering menangis sendirian, bahkan terkadang aku mengumpat akan takdir Tuhan. "Tuhan...kenapa harus aku? Kenapa? Tidak bisakah sekali saja kau membuatku bahagia? Aku ingin bahagia Tuhan! Aku ingin bahagia seperti gadis-gadis yang lainnya di luar sana. Dulu, kebahagiaan masa kecilku telah kau renggut akibat perceraian kedua orang tuaku itu. Dan saat inipun kau hendak mengambil juga kebahagianku untuk bisa hidup bersama lelaki yang kucintai itu. Aku benci kau Tuhan..!"
Ketika itu, hatiku hancur! Aku menangis sendirian takala akhirnya aku harus mengikuti keinginan bapak dan keluarga besarku untuk menikah dengan lelaki yang menjadi pilihan mereka itu.Â
Lelaki itu adalah anak dari ibu kost di kota tempatku menimba ilmu kala itu. Pertimbangan sama-sama berasal dari keluarga yang terpandang di kota asalku lah yang akhirnya membuat keluarga besarku itu lebih memilih lelaki itu dari pada lelaki cinta pertamaku.
Dalam keadaan marah, kecewa dan juga kesedihan yang begitu mendalam itu. Aku berusaha untuk menerima lelaki yang tidak pernah aku cintai itu masuk ke dalam kehidupanku.Â
Menjelang pernikahan, aku masih berharap bahwa cinta pertamaku itu datang menculikku, saat itu tekatku sudah bulat, bahwa jika dia datang menculikku, maka aku akan nekat pergi dengannya, persetan dengan semuanya!
Hari-hari yang kujalani terasa begitu hampa. Dan jikapun sampai hari ini aku masih bertahan. Itu semua aku lakukan semata-mata karena aku tidak ingin di anggap sebagai anak yang durhaka pada kedua orang tua yang telah membesarkanku, aku tidak mau bapak terluka.
Sepuluh tahun lamanya, aku menjalani kehidupan berumah tangga bersama seorang lelaki yang tidak pernah aku cintai itu.
Di dalam kesendirianku, berulang kali aku bertanya pada diriku sendiri.
"Bahagiakah aku dengan perkawinan ini?"
Beban masa lalu dan juga patah hati akibat di paksa menikah dengan lelaki yang bukan menjadi pilihan hatiku itu, lambat laun membuatku semakin terlihat layu di mata suamiku. Jujur saja! Saat itu, satu-satunya yang membuatku masih tetap bersedia tinggal serumah dengan lelaki yang tidak pernah kucintai itu adalah karena rasa takut berdosa pada kedua orang tuaku. Meski dalam hati aku masih berharap bahwa lelaki cinta pertamaku akan datang menemuiku. Cintaku padanya tak pernah padam, ruang kosong itu hingga kini masih tersimpan untuknya.
Dan puncak dari semua pemberontakanku itu adalah ketika lelaki yang sudah sepuluh tahun lamanya menjadi suamiku itu memaki-maki dan menyebutku seorang pelacur. Saat itu dia merasa begitu cemburu ketika melihat aku di antar pulang kerumah oleh lelaki dari masa laluku itu.