"Menurutmu dia siapa?" tanyanya lagi padaku.
"Dia ciptaan Tuhan, dan juga hamba Tuhan sama sepertiku," kataku sambil menatapnya.
"Panggil dia kemari," katanya lagi padaku sambil menunjuk ke arah sosok  yang tengah duduk bersimpuh di puncak monas itu.
"Aku harus memanggil apa padanya? Engkau tadi mengatakan dia memiliki banyak nama," kataku lagi pada Sang Waktu, karena aku ingat Sang Waktu mengatakan, bahwa sosok  yang tengah duduk bersimpuh di puncak monas itu memiliki banyak nama.
"Panggilah dia dengan nama yang engkau yakini selama ini bahwa itu adalah namanya," kata Sang Waktu lagi tanpa menoleh ke arahku.
"Bagaimana cara aku memanggilnya dari sini?" tanyaku balik. "Puncak monas itu begitu jauh dari sini. "
Sang Waktu tersenyum menatapku, "Kalau engkau memanggilnya dengan mulutmu, mungkin tidak akan terdengar olehnya dari sana."
"Lantas aku harus memanggilnya pakai apa?" tanyaku lagi masih sedikit bingung. Karena kalau memakai handphone, aku tidak yakin  yang kulihat tengah duduk bersimpuh di puncak monas itu sedang memegang handphone. Lagipula, aku tidak memiliki nomor handphone-nya saat ini.
"Panggil dia dengan hati dan rasamu," kata Sang Waktu.
"Bagaimana caranya?" tanyaku bingung.
"Aku tidak tahu," jawabnya enteng seperti tanpa beban dan tidak merasa bersalah sedikit pun. Dia yang menyuruh aku memanggil perempuan itu malah bilang tidak tahu bagaimana cara memanggil dari tempat ini.