Saat ini akupun merasakan hal yang sama. Langit tertutup kabut asap. Hanya saja, saat ini asap yang menutupi sinar matahari bukan berasal dari kebakaran hutan dan lahan. Tapi berasal dari sisa-sisa bangunan dan kendaraan yang masih terbakar akibat perang berkepanjangan.
"Lihat kek! Lihat apa yang sedang terjadi saat ini. Ini semua adalah akibat ulah para elit politik yang haus jabatan kala itu!" kata-katanya terputus oleh isak tangis yang sepertinya sudah tidak terbendung lagi.
"Kenapa generasi kakek dulu mewariskan permusuhan dan peperangan pada kami? Saat ini yang kutahu bekas negara besar itu telah menjadi 300 negara bagian yang sampai saat ini masih terus berperang antara satu dengan yang lainnya." katanya lagi.
Kutatap anak muda di depanku. Mataku menyapu ke sekeliling bekas bangunan yang saat ini sebagian besar telah rata dengan tanah. Puing-puing bangunan berserakan dimana-mana.
Aku berjalan menuju salah satu sudut bangunan yang sepertinya adalah bekas jendela. Di depan sisa-sisa daun jendela yang masih ada sisa kacanya itu aku berdiri. Kulihat pantulan bayangan Sang Waktu dan tubuhku sendiri. Tanpa sadar air mataku menitik dengan sendirinya takala ingat bahwa negara besar itu saat ini sudah tidak ada lagi.
Cerita ini adalah salah satu bagian dari cerita Aku dan Sang Waktu yang diikut sertakan dalam rangka mengikuti Event Cerpen RTC Duka Indonesiaku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H