"Apa benar ini dulunya adalah salah satu wilayah negara Indonesia?" tanyaku pada sekelompok anak muda yang saat ini tengah berada di depanku.
"Kata orang-orang tua kami dulunya memang ini adalah bekas wilayah dari suatu negara besar yang bernama Indonesia. Tapi saat ini negara besar itu sudah tidak ada lagi. Menurut para tetua kami, dulunya perang antar suku dan golongan yang pada awalnya mulanya berawal dari media sosial lambat laun telah menimbulkan bibit-bibit kebencian di dunia nyata.
Perang besar yang terjadi pada waktu itu telah menghancurkan negara besar yang bernama Indonesia itu menjadi beberapa negara bagian.
Dan masih menurut para tetua kami, ternyata bibit-bibit kebencian yang semula berawal dari media sosial itu tidak cukup hanya membuat negara besar itu terpecah menjadi beberapa bagian saja.
Pertikaian antar golongan yang masih belum terselesaikan masih meninggalkan konflik berkepanjangan hingga saat ini. Mereka yang dulunya, kata para orang tua kami, adalah saudara sebangsa dan setanah air kami itu saat ini masih terus memerangi kami.
Saat ini kami berada dalam dua pilihan, terus berperang untuk mempertahankan sisa-sisa peradaban kelompok Suku, Agama, Ras dan dan Golongan (SARA) kami ini, atau kami semua akan dibinasakan oleh orang-orang luar yang bukan berasal dari kelompok Suku, Agama, Ras dan Golongan kami ini."
Aku terdiam mendengarkan penjelasan salah seorang anak muda di depanku ini. Padahal aku ingat betul bahwa pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin yang diusung oleh Partai PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Hanura. Partai PKPI, Partai PSI dan Partai Perindo, baru akan melangsungkan debat Capres pada 17 Januari 2019 ini melawan pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang diusung oleh Partai Gerindra, Partai PKS, Partai PAN, Partai Demokrat dan Partai Berkarya.
"Kakek dari mana?" tanya salah seorang anak muda menggunakan bahasa daerah yang cukup kumengerti.
"Kakek?" aku terkejut mendengar ucapan salah seorang anak muda yang kulihat sepertinya usianya saat ini tidak terlalu jauh di bawahku. Tidak ingin berlama-lama dalam situasi yang serba membingungkan ini, aku kembali bertanya sebelum menjawab pertanyaannya barusan.
"Sekarang tahun berapa?" tanyaku pada anak muda yang memanggilku kakek barusan. Mataku berkeliling menatap wajah mereka satu persatu.
"Sekarang tahun 2050," jawabnya sedikit heran dengan pertanyaanku barusan. Aku kaget mendengar jawaban anak muda di depanku ini. Dan seperti tidak percaya aku melihat ke salah satu anak muda di sampingnya. Dia mengganggukan kepala tanda membenarkan ucapan temannya barusan.
Karena masih setengah tidak percaya dengan apa yang barusan kudengar, tanpa sadar aku memasukan tanganku ke dalam salah satu kantong celanaku, aku ingat kalau disitu ada handphone. Segera kukeluarkan, kulihat jam dan tanggal disitu.
Ternyata memang benar. Saat ini, di handphone yang setelan waktunya selalu kuseting otomatis itu saat ini menunjukkan pukul 16:00 WIB, tanggal 9 Agustus 2050.
"Kakek dari mana?" tanya anak muda di depanku itu makin penasaran. Melihat aku memegang benda yang menurutnya saat ini sudah tidak diproduksi lagi.
"Dari Indonesia," kataku sedikit terbata.
"Dari mana kek?" tanya anak muda di depanku ini seperti tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya.
Kuserahkan handphone di tanganku. Di mana pada layar handphone-ku saat ini masih menyimpan salah satu foto pasangan capres 2019 dengan latar bendera merah putih di belakangnya.
"Ini foto siapa?" tanyanya seraya menunjuk foto pasangan capres-cawapres pada pemilu 2019 yang ada di layar handphone-ku itu.
"Itu adalah salah satu capres pada pemilu tahun 2019 yang lalu," kataku sambil menatapnya.
"Jadi kakek berasal dari masa lalu?" tanya anak muda di depanku ini. Tiba-tiba saja dia menangis sambil memelukku.
"Iya.." jawabku pelan.
Di ujung sana kembali terdengar suara letusan senjata api. Asap hitam membumbung tinggi di angkasa. Jika dulu aku pernah merasakan pekatnya kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang pernah terjadi pada tahun 2015.
Saat ini akupun merasakan hal yang sama. Langit tertutup kabut asap. Hanya saja, saat ini asap yang menutupi sinar matahari bukan berasal dari kebakaran hutan dan lahan. Tapi berasal dari sisa-sisa bangunan dan kendaraan yang masih terbakar akibat perang berkepanjangan.
"Lihat kek! Lihat apa yang sedang terjadi saat ini. Ini semua adalah akibat ulah para elit politik yang haus jabatan kala itu!" kata-katanya terputus oleh isak tangis yang sepertinya sudah tidak terbendung lagi.
"Kenapa generasi kakek dulu mewariskan permusuhan dan peperangan pada kami? Saat ini yang kutahu bekas negara besar itu telah menjadi 300 negara bagian yang sampai saat ini masih terus berperang antara satu dengan yang lainnya." katanya lagi.
Kutatap anak muda di depanku. Mataku menyapu ke sekeliling bekas bangunan yang saat ini sebagian besar telah rata dengan tanah. Puing-puing bangunan berserakan dimana-mana.
Aku berjalan menuju salah satu sudut bangunan yang sepertinya adalah bekas jendela. Di depan sisa-sisa daun jendela yang masih ada sisa kacanya itu aku berdiri. Kulihat pantulan bayangan Sang Waktu dan tubuhku sendiri. Tanpa sadar air mataku menitik dengan sendirinya takala ingat bahwa negara besar itu saat ini sudah tidak ada lagi.
Cerita ini adalah salah satu bagian dari cerita Aku dan Sang Waktu yang diikut sertakan dalam rangka mengikuti Event Cerpen RTC Duka Indonesiaku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H