Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pohon Kehidupan

21 Juli 2018   21:53 Diperbarui: 4 Februari 2019   16:00 2321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

Kami berhenti di sebuah rumah yang bangunan utamanya berbentuk joglo limasan kuno. Warung Kopi Klotok ini berada di Jalan Kaliurang Km. 16, Pakembinangun, Pakem, Sleman, DIY dekat areal persawahan namun masih dekat dengan permukiman penduduk.

Kami masuk kedalam Waroeng Kopi Klotok. Ruangannya cukup luas, terdapat beberapa ornamen klasik semacam toples, ada juga radio kuno yang menjadi penghias.

Menurut pak Mario Teduh (bukan nama yang sebenarnya) Kopi klotok ini menjadi favorit karena memiliki rasa pahit yang kas. Rasa kopi ini tentunya berbeda dari kopi yang hanya diseduh dengan air panas, walaupun bubuk kopi yang digunakan sama. Memasak kopi hingga mendidih tentunya menambah aroma kopi semakin kuat.

Dan ternyata di dalam ruangan sudah penuh. Kami langsung saja ikut mengantri di belakang pengunjung lainnya. Dan setelah tadi sempat diskusi sebentar, kami membuat tim dadakan untuk membagi peranan. Dalam situasi yang begitu ramai ini, kalau kami memang mau duduk makan bersama memang mesti membagi peranan. Ada yang mengambil nasi, sayur dan lainnya, lalu sebagaian keliling mencari tempat duduk.

Ornamen di dinding Warung Kopi Klotok ini dihiasi beberapa tulisan artis dan pejabat yang pernah berkunjung ke tempat ini, seperti yang paling baru aku lihat adalah tulisan tangan Sri Mulyani.

Dokpri
Dokpri
Rata-rata yang datang berombongan. Sebagian pengunjung duduk di kursi meja makan yang sudah di sediakan, dan sebagian lagi makan dan minum sambil duduk lesehan di atas tikar. Suasananya tidak seperti rumah makan pada umumnya. Suasa disini  terasa begitu nyaman, aku merasa seperti sedang berada di kampungku sendiri. Aku ingat, di mana dulu ketika ada tetangga yang sedang melakukan hajatan pesta atau kendurian, kami biasa duduk-duduk lesehan seperti ini. Selepas gotong-royong membantu tuan rumah yang mempunyai hajatan, biasanya ketika ber-istirahat kami di suguhi makanan dan minuman, dan sambil duduk lesehan di atas tikar kami menyantap makanan bersama-sama.

Dan menurutku justru ini adalah salah satu daya tarik Waroeng Kopi Klotok ini. Tadi pak Mario Teduh sempat berbicara pada kami sambil melihat ke arah kerumunan orang-orang yang lalu lalang di depan kami,

“Pernah gak liat rumah makan seperti ini? Lihat tempatnya, lihat para pengunjungnya.” katanya padaku. Aku cuma menggelengkan kepala, karena jujur saja aku memang baru sekali ini merasakan makan di rumah makan dengan suasana dan tempat seperti ini.

Akhirnya kami sepakat gotong-royong membawa pesanan kami dari dapur. Ada yang membawa nasi, ada yang membawa piring buat kami berenam, ada yang membawa sayur beserta lauk pauknya.

Setelah semua pesanannya komplit, kami meletakannya disalah satu meja kosong yang cukup untuk kami duduk berenam. Kenapa menjadi berenam? Tadi salah satu teman kami yang juga sama-sama berasal dari Pekanbaru menelpon mau ikut bergabung dengan kami disini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun