Permendag Nomor 25 Tahun 2019 pada Pasal 37 ayat 1 berbunyi Importir Terdaftar Minuman Beralkohol (IT-MB), Distributor dan Sub Distributor Minuman beralkohol memiliki kewajiban melaporkan pengadaan dan realisasi peredaran Minuman Beralkohol kepada Dirjen PDN melalui Direktur Logistik dan Sarana Distribusi yang ditembuskan kepada Dirjen PKTN melalui Direktur Pengawasan Barang Beredar dan Jasa, Kepala Dinas Provinsi setempat dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat.
Sedangkan pada ayat 2 berbunyi Pengusaha TBB yang menjual minuman beralkohol wajib melaporkan realiasasi penjualan Minuman Beralkohol kepada Gubernur melalui Kepala Dinas Provinsi dengan tembusan Dirjen PDN, Dirjen PKTN dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat.
Pada ayat ke 3 di tegaskan penyampaian laporan-laporan tersebut dilaksanakan pada setiap triwulan tahun kalender yang secara spesifik disebutkan Triwulan I disampaikan pada 31 Maret, triwulan II disampaikan tanggal 30 Juni, triwulan III disampaikan 30 september dan triwulan IV disampaikan 31 Desember.
Pertanyaannya adalah dengan begitu ketatnya regulasi mengatur baik pada aspek pengadaan melalui Produksi dalam negeri atau impor melalui importir terdaftar minuman beralkohol (IT-MB) maupun peredarannya melalui Distributor, Sub Distributor, Pengecer dan Penjual langsung yang ketat bahkan jumlah peredarannya wajib tercatat dan terlaporkan, apakah laporan itu telah dilaporkan oleh para pengusaha yang terkait pengadaan dan peredaran minuman beralkohol?  apakah sudah dilakukan penindakan dan pengendalian terhadap pelanggaran peredaran minuman keras oleh  aparatur negara ? apakah aparatur negara sudah melakukan audit terhadap anomali angka produksi yang cukup besar dan tidak sesuai dengan jumlah ijin produksi saat perusahaan itu didirikan?
Bila pengawasan dan kontrol tidak dilakukan oleh aparatur negara terkait maka pertumbuhan produksi dan konsumsi serta peredaran miras di Banten akan meningkat dan itu akan berdampak pada dampak sosial seperti kriminalitas, kesehatan dan ekonomi masyarakat.
Dalam hal penindakan terhadap pelanggaran perederan minuman keras sebetulnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pengaturan tindak pidana menjual minuman keras dalam KUHP diatur  Pasal 300 ayat (1) angka 1, 537 dan 538. Kepolisian diberikan kewenangan melakukan penindakan, penyelidikan terhadap pelanggaran ijin edar tersebut namun pertanyaannya apakah itu sudah dilakukan ? sehingga pengendalian peredaran minuman keras di Provinsi Banten dapat terkendalikan.
5. Faktor Lemahnya Kendali Masyarakat
Faktor kelima ini menjadi faktor yang turut mendukung berkembangnya industri miras di Provinsi Banten, lemahnya kendali dan kepedulian masyarakat terhadap dampak buruk peredaran minuman keras menjadi faktor yang menopang perusahaan minuman beralkohol mendapatkan pasar dengan mudah.
Sikap yang cenderung membiarkan dan tidak ada ketegasan melakukan pelarangan (Permissive) dari masyarakat membuat produk miras beredar dengan mudah, lemahnya penegakan norma agama, norma sosial di tengah masyarakat menyebabkan peningkatan angka konsumsi minuman keras bahkan sudah menjangkau anak-anak sekolah dan tidak adanya pelarangan dari masyarakat menyebabkan munculnya keberanian segelintir orang untuk turut serta mendistribusikan produk miras di warung dan toko kelontongan sehingga memudahkan semua orang mendapatkan akses terhadap minuman beralkohol.
Disamping itu masih rendahnya keterlibatan  tokoh masyarakat dalam melakukan kendali atas berkembangnya produksi dan peredaran miras di Banten  juga masih minimnya literasi soal dampak minuman beralkohol dari para akademisi menyebabkan masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk melakukan kendali terhadap peredaran minuman beralkohol.
6. Faktor Urbanisasi dan Kota Industri