Ada yang kecewa, tapi banyak pula yang menyambut baik cover baru dengan menonjolkan warna biru. Sebab biru tua yang dipilih dianggap mirip dengan warna "biru resisten" yang melambangkan perlawanan. Ini mengingatkan pada warna biru "peringatan darurat" yang beberapa waktu lalu menggembarkan Indonesia.
Sebagai karya yang mencerahkan, Tetralogi Buru memang kental dengan muatan pesan-pesan kebangkitan dan perlawanan. Baik perlawanan terhadap diskriminasi, feodalisme, kolonialisme, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, hingga perlawanan terhadap peradilan yang buruk. Semua itu diangkat dan diserukan dalam Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.
Lepas dari pro dan kontra cover baru Tetralogi Buru, masyarakat memiliki kebebasan untuk mengingat Pramoedya Ananta Toer dengan cara apa pun. Seperti halnya karya-karya Pramoedya yang menyerukan pembebasan dari belenggu-belenggu yang membatasi hidup manusia.Â
Merayakan Seabad Pramoedya tak mesti dengan mengambil dan memiliki cover terbarunya nanti. Menyambut yang baru dengan cover biru memang akan istimewa.
Namun, memeluk yang sudah ada dengan cover lama tidak akan mengurangi nilai penghargaan dan penghayatan terhadap warisan pemikiran Pramoedya.Â
Banyak cover, banyak cara, banyak pilihan, banyak pendapat, banyak kebijaksanaan. Itulah yang namanya "perayaan".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI