Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Yang Tercampakkan Setelah Pandemi Berlalu

20 Januari 2025   07:35 Diperbarui: 20 Januari 2025   18:51 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepeda statis dan lampu ring di sudut ruangan (dok. pribadi).

Tidak bersepeda saya pada Minggu pagi kemarin. Bukan karena sudah bosan atau malas menggowes roda dua. Namun, sengaja saya ingin kembali merasakan gowes tanpa perlu keluar rumah. Tetap menunggangi "sepeda", tapi tak menyusuri jalanan.

Sepeda statis warna putih di pojok ruangan seperti memanggil-manggil sejak beberapa waktu lalu. Seolah benda itu tiba-tiba bernyawa dan berseru: "Hei, kau sudah lupa denganku? Apakah karena pandemi sudah berlalu sehingga kau mencampakkan aku? Tidak ingatkah dulu kau begitu menghargai aku. Hampir setiap hari menyapaku. Kita bersama melalui hari-hari pembatasan sosial yang membosankan itu. Sekarang masih ingatkah kau kepadaku? Lihat, aku masih ada di sini".

Sepeda Statis dan Peralatan Olahraga

Saya tidak melupakan sepeda statis tersebut. Keberadaannya di pojok ruangan saya sadari sungguh. Namun, tidak dipungkiri bahwa semenjak pandemi covid-19 berakhir saya sudah jarang menjamah peranti olahraga tersebut. 

Bahkan, saat status pandemi belum resmi dicabut, tapi aktivitas sehari-hari telah berangsur normal saya telah kembali memilih sepeda beroda dua. Semakin hari semakin sering bersepeda pulang dan pergi. Dengan demikian kebutuhan olahraga sudah terakomodir menggunakan sepeda. 

Berbeda dengan dulu saat pandemi Covid-19 sedang menggila. Pembatasan sosial membuat opsi olahraga yang "aman" hanya bisa dilakukan di dalam rumah tanpa beramai-ramai. Sepeda statis menjadi jalan tengah bagi mereka yang ingin berolahraga sambil tetap bisa merasakan sensasi gowes tanpa keluar rumah.

Pandemi pun berakhir. Kini benda tersebut nyaris seperti namanya, "statis", diam karena didiamkan.

Sepeda statis yang kini hanya
Sepeda statis yang kini hanya "didiamkan" di ruangan (dok.pribadi).

Pasti bukan hanya saya seorang yang mengalami hal demikian. Orang-orang yang pada awal pandemi keranjingan olahraga hingga rela membeli sepeda mahal dan perlengkapannya, sebagian di antaranya kini memarkir sepedanya di gudang atau garasi tanpa rutin lagi mengayuhnya.

Tidak sedikit yang menjual sepedanya. Mereka yang dulu membeli barbel untuk berolahraga di rumah agar imunitasnya meningkat, kemungkinan juga telah mencampakkan barbelnya.

Beberapa benda seperti peralatan olahraga yang banyak dibeli semasa pandemi memang tak lagi dilirik dengan antusiasme yang sama seperti kala itu. 

Barangkali karena kesadaran untuk berolahraga memudar seiring lenyapnya pandemi. Atau telah menemukan pilihan olahraga lain yang menuruti tren atau kenyamanan tertentu. 

Seperti orang-orang yang dulu membeli sepeda statis, barbel, treadmill atau walking-pad sekarang telah kembali berjalan dan berlari di taman-taman kota.

Lampu Ring dan Peralatan Daring

Tak hanya peralatan olahraga yang tercampakkan. Berlalunya pandemi juga membuat lampu ring dan tripod yang dulu selalu standby menyertai aktivitas daring kini juga semakin tak dipedulikan, kecuali mungkin oleh para penjual daring yang setiap hari melakukan "live" di aplikasi.

Padahal, saat pandemi benda-benda seperti lampu ring, tripod, dan microphone seolah wajib dimiliki oleh orang-orang yang bekerja dari rumah.

Keharusan mengikuti rapat, seminar, kuliah, diskusi, atau membuat video secara layak dan sempurna membuat orang-orang merasa perlu untuk membekali diri dengan aneka peralatan tersebut. Di marketplace banyak pula ditawarkan perlengkapan "paket pandemi" itu dengan pilihan macam produk dan harga. 

Lampu ring dan tripod, pernah menjadi peralatan
Lampu ring dan tripod, pernah menjadi peralatan "wajib" untuk WFH saat pandemi (dok. pribadi).

Setelah pandemi berakhir, beberapa orang masih tetap menggunakan lampu ring, tripod, dan mic untuk kegiatan daring. Namun, frekuensinya tak lagi sesering dulu. Sebab aktivitas daring tak lagi menjadi prioritas. Semua aktivitas penting kembali dilakukan di kantor, kelas, dan pertemuan-pertemuan langsung. 

Banyak orang pun tak lagi merasa harus menggunakan lampu ring saat melakukan aktivitas daring. Asal penampilan rapi dan pencahayaan ruangan dianggap terang, sudah cukup layak untuk mengikuti rapat atau pertemuan daring.

Maka tak heran kini peralatan seperti tripod dan lampu ring lebih banyak menganggur di sudut ruangan. Menemani benda-benda lain yang hanya diam tanpa banyak disentuh pemiliknya lagi.

Alat Cukur Elektrik

Senasib dengan sepeda statis, lampu ring dan tripod, alat cukur elektrik yang dulu saya beli kini juga tercampakkan. Terakhir kali memakainya, pandemi masih mengancam.

Setelah pandemi melonggar, berakhir, dan kehidupan normal kembali, alat cukur tersebut "menganggur". Pergi ke pangkas rambut saya rasakan lebih praktis dan efektif untuk mendapatkan potongan rambut yang rapi.

Memang alat cukur elektrik itu dulu dibeli lebih karena kondisi yang memaksa. Pada awal pandemi hingga puncak penularan varian delta hampir semua tempat usaha tutup, termasuk pangkas rambut.

Di Yogyakarta sebenarnya sempat ada fenomena pangkas rambut panggilan, yakni para pemilik usaha pangkas rambut yang jemput bola mendatangi konsumen. Mereka menerima panggilan lewat whatsapp dan menetapkan tarif yang ditambah dengan ongkos menuju rumah pelanggan.

Saya sempat mencoba layanan tersebut, tapi pada hari dan jam yang telah disepakati orang yang saya tunggu untuk memangkas rambut tak kunjung muncul. Beberapa jam kemudian ia mengabari dan menawarkan penjadwalan ulang. Saya menolak dan setelah itu memutuskan untuk membeli alat cukur elektrik.

Namun, apa mau dikata saya tak terampil menggunakannya. Setelah dipakai sekali, alat cukur elektrik tersebut saya masukkan kembali ke dalam kardusnya. Kini saya tak bisa menemukannya lagi. Entah di mana dulu saya menyimpannya.

Masker Kain

Masker menjadi barang langka dan mahal pada awal pandemi Covid-19. Kondisi itu membuat penggunaan masker kain menjadi andalan. Meski efektivitasnya tak sebaik masker medis, menggunakan masker kain mampu mengurangi risiko penyebaran dan penularan Covid-19.

Memasuki tahun kedua pandemi, masker medis kembali tersedia di pasaran dengan harga yang wajar. Masyarakat pun mulai melepas masker kain dan menggantinya dengan masker medis.

Meski sempat muncul tren masker kain dengan desain dan corak yang lebih kekinian, secara umum masyarakat tak lagi tertarik untuk menggunakan masker kain. 

Seiring waktu hingga pandemi usai, masker kain benar-benar tersingkirkan. Hanya sedikit orang yang sekarang terlihat masih menggunakannya. 

Kebanyakan orang tak peduli lagi pada masker kain yang dulu pernah menjaga keselamatan dan kesehatannya. Telah lupa di mana terakhir kali mereka meletakkan masker kainnya sesaat sebelum menggantinya dengan masker medis. Barangkali masker kain itu telah lama terbuang bersama benar-benda tak terpakai lainnya.

Dua masker kain pertama saya saat pandemi Covid-19. Hingga kini masih ada dan tersimpan baik (dok. pribadi).
Dua masker kain pertama saya saat pandemi Covid-19. Hingga kini masih ada dan tersimpan baik (dok. pribadi).

Walau demikian, saya masih menyimpan dengan baik dua buah masker kain pertama saya pada awal pandemi. Kedua masker itu adalah bagian dari puluhan masker kain yang dulu saya beli untuk dibagikan kepada beberapa orang dan pekerja di sekitar kawasan kampus UGM, seperti pedagang kaki lima, petugas sampah, hingga pengemudi ojek daring.

Dulu saya bergantian menggunakan kedua masker berwarna biru dan abu-abu ini. Kadang digunakan secara tunggal, kadang untuk melapisi masker medis. Sekarang meski tak lagi menggunakannya, kedua masker tersebut masih tersimpan dalam kondisi baik karena saya rutin mencuci dan membersihkannya.

Begitulah nasib beberapa benda yang selama ribuan hari menjadi saksi bagaimana dunia melalui masa penuh cekaman, kesulitan, kekhawatiran, dan kedukaan. Benda-benda yang menyertai banyak orang yang berjuang melewati masa-masa sulit pandemi Covid-19.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun