Sebut saja warung A dan B. Kedua warung padang tersebu berdekatan letaknya. Hanya terpisah kurang dari 1 km. Warung A memajang sertifikat lisensi ormas di bagian sudut kiri atas pada kaca depan warung. Sedangkan di warung B sertifikat ormas ditempel di sudut kanan atas pada kaca depannya.
Saya memesan pada dua hari yang berbeda. Dari kedua warung saya memilih menu yang sama, yakni nasi dengan lauk rendang sapi.
Di warung A saya mendapatkan nasi yang agak pulen, daging rendang yang agak tebal, dan sedikit sayur gulai nangka dan daun singkong rebus. Tak ketinggalan kuah dan sambal hijau. Semua itu dibungkus dengan alas daun pisang dan kertas. Sementara di warung B saya mendapatkan nasi yang lebih berderai, daging rendang yang lebih tipis, tapi dengan sayur gulai nangka dan daun singkong rebus yang lebih banyak. Sudah termasuk kuah dan sambal hijau. Semuanya dibungkus dengan kertas tanpa alas daun pisang.
Porsi dan harga nasi padang dengan lauk rendang di kedua warung tersebut tidak berbeda. Namun, soal rasa lain ternyata. Rendang dari warung A jauh lebih nikmat dibanding dari warung B. Kuah dari warung A juga memiliki rasa yang lebih kaya dibanding dari warung B yang cenderung hanya menimbulkan sensasi pedas dan menyengat.Â
Membandingkan secara sederhana nasi padang dan rendang dari kedua warung berlisensi tersebut, saya mengambil kesimpulan bahwa sertifikat lisensi yang dikeluarkan oleh ormas tidak dapat mencerminkan dengan jelas kualitas rasa dan otentisitas seperti yang diklaim oleh ormas. Selain sebagai tempelan di kaca warung padang, nampaknya stiker dan sertifikat semacam itu tak punya arti signifikan.
Untungnya sejauh ini tidak terdengar adanya lisensi gudeg, lisensi rawon, lisensi bakso, lisensi seblak, lisensi mendoan, dan lisensi-lisensi lainnya. Jangan sampai muncul ormas -ormas yang merasa paling mempunyai kuasa atas warisan kuliner nusantara.
Sudah sewajarnya hidangan-hidangan nikmat dari setiap daerah dirayakan dan dimuliakan bukan dengan cara-cara arogan. Bagi saya, nasi padang lebih sedap dinikmati tanpa "bumbu ormas" dan stiker tempelan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H